“Tak ada negara dan tentara. Tak ada Gereja dan pemimpin agama”.
Begitulah cerita yang Maria peroleh dari almarhum suami dan anaknya yang telah berada di surga. Lewat mimpi Maria bertemu dengan kedua orang terkasihnya yang meninggal karena ditabrak tank tentara. Suami dan anaknya mengabarkan bahwa di surga tak ada negara, tentara, gereja, serta pemimpin agama.
![]() |
Orang-orang Oetimu (dok. pribadi). |
Maria hanya satu dari banyak nama yang tertuang dalam “Orang-orang Oetimu” karya Felix K. Nesi. Tak ada tokoh paling utama dalam buku setebal 220 halaman ini. Baik Maria, Sersan Ipi, Am Siki, Silvy, maupun Romo Yosef masing-masing menguak kemunafikan manusia. Dalam kecerdasan, kesucian, dan kepahlawanan, manusia-manusia ternyata makhluk yang bergelimang dosa.
Suatu ketika usai melalui hari-hari berkabung, Maria kembali keluar rumah untuk pergi ke gereja, membeli koran, dan berbelanja makanan. Namun, di sebuah jembatan di atas sungai yang kering ia berhenti dan melompat. Tubuhnya hancur.
Maria takkan bersatu dengan suami dan anaknya di surga. Sebab orang yang bunuh diri berarti mengikuti jalan iblis dan akan masuk ke dalam neraka. Begitulah keyakinan Romo Yosef, seorang pastor muda yang diam-diam menyimpan hubungan terlarangnya dengan Maria. Orang yang setiap hari mengenakan jubah suci dan melayani umat di gereja rupanya tak semulia isi khotbahnya. Romo Yosef rapi menyembunyikan skandalnya.
Saat pindah ke sebuah daerah terpencil untuk mengelola sebuah sekolah, orang-orang melihatnya sebagai pastor yang penuh pengabdian dan pengorbanan. Sebab jarang ada pastor muda yang bersedia dikirim ke tempat yang jauh dan minim fasilitas. Banyak pastor dan calon pastor memilih berada di kota untuk bertugas di lingkungan gereja yang “basah”. Namun, Romo Yosef dianggap berbeda karena bersedia menjalankan misi di tempat yang “kering”.
Padahal Romo Yosef sengaja menyingkir ke tempat yang jauh agar orang-orang tak mengetahui hubungan terlarangnya dengan Maria. Ia tak ingin menanggung malu jika suatu hari skandal tersebut terungkap.
Di tempat yang baru, Romo Yosef dihormati sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin sekolah. Ia berhasil membangun reputasi sekolah yang semula terlantar menjadi sekolah unggulan. Fasilitas dan mutu pendidikan di sekolah tersebut terus berkembang. Salah satunya berkat sumbangan-sumbangan donatur.
Namun, hal itu membuat misi pendidikan yang semestinya melayani masyarakat mengalami pergeseran. Seiring nama sekolah yang semakin terkenal, biaya pendidikannya pun semakin mahal. Banyak anak dari keluarga miskin terpaksa berhenti sekolah karena tak mampu lagi membayar biaya.
Di rumah kepastoran, Romo Yosef mempekerjakan seorang siswi bernama Silvy untuk mengurus ruang baca. Kecerdasan Silvy bukan hanya di atas rata-rata para murid lainnya, tapi juga mengungguli beberapa guru yang nampak bodoh.
Dengan Silvy, Romo Yosef kembali terlibat skandal. Hubungan terlarang mereka membuat Silvy hamil. Wanita itu kemudian pergi tanpa seorang pun tahu keberadaannya.
Pada suatu pertemuan dengan para warga sekolah, orang tua murid dan jamaat, Romo Yosef bersumpah atas nama Yesus bahwa dirinya tak pernah menyentuh Silvy. Melalui khotbah yang mengutip kisah-kisah orang suci, Romo Yosef berhasil meyakinkan mereka bahwa ada orang lain yang diam-diam menghamili Silvy. Romo Yosef pun meminta orang itu mengaku dan bertanggung jawab.
Silvy rupanya kembali ke tempat pamannya. Di sana ia berjumpa dengan Sersan Ipi, seorang polisi muda. Bagi Silvy, Sersan Ipi adalah lelaki yang tepat untuk dinikahinya sebelum perutnya membesar dan kehamilannya diketahui banyak orang.
Begitu pula Sersan Ipi segera jatuh cinta pada Silvy tanpa pernah tahu bahwa pujaan hatinya telah berhubungan dengan pria lain. Di mata Sersan Ipi, Silvy adalah wanita yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya.
Sebagai seorang polisi di daerah terpencil, Sersan Ipi tak hanya disegani karena wajah dan seragamnya. Hal lain yang membuatnya berwibawa ialah karena sejak kecil ia diasuh oleh Am Siki, tokoh setempat yang dikenal memiliki kesaktian layaknya pendekar.
Di sisi lain sebagian orang mengetahui bagaimana Sersan Ipi kerap mencegat truk-truk yang melintas dan meminta sejumlah uang kepada para sopir. Dengan uang yang didapat, Sersan Ipi bersama polisi-polisi lainnya sering pergi ke kota untuk bersenang-senang, termasuk mengunjungi tempat pelacuran.
Sersan Ipi tak segan memukul anak-anak muda setempat tanpa diketahui pasti alasannya. Oleh karenanya beberapa penduduk menganggap polisi adalah orang-orang kasar yang suka memukul. Sementara tentara dipandang lebih baik. Padahal, tentara-tentara yang bertugas di tempat itu pun serupa perilakunya. Beberapa tentara suka meminta jatah wanita lokal. Kendaraan-kendaraan militer sering menabrak mati penduduk, lalu pemimpin mereka datang ke acara pemakaman menyampaikan pidato tanpa rasa bersalah. Seolah-olah penduduk yang tewas terlindas kendaraan tentara telah berkorban demi bangsa dan negara.
![]() |
Orang-orang Oetimu (dok. pribadi). |
Selain polisi dan tentara yang suka bertingkah sesuka hati, para pejabat yang diutus negara juga mempertontonkan perilaku yang suka mengatur. Misalnya, atas nama pembangunan manusia yang lebih beradab, para pejabat meminta penduduk berhenti mengkonsumsi pangan lokal seperti singkong dan umbi-umbian. Menurut para pejabat, singkong tidak mengandung banyak gizi. Sedangkan makanan yang kurang bergizi akan membuat masyarakat bodoh. Oleh karena itu, penduduk harus memakan nasi yang lebih bergizi.
Para pejabat tersebut seolah membawa niat baik dari negara untuk memajukan daerah. Anjuran mereka seakan-akan cerminan kepedulian negara terhadap urusan perut penduduk. Namun, di balik semua itu para pejabat secara semena-mena mengambil tanah adat dan membuat sertifikat tanah atas nama mereka sendiri. Sabana diubah menjadi kebun-kebun yang hasilnya masuk ke kantong pribadi pejabat.
***
Begitulah “Orang-orang Oetimu” memperlihatkan parade kemunafikan orang-orang yang membungkus dirinya dalam jubah pemimpin agama, seragam polisi dan tentara, serta baju safari pejabat.
“Orang-orang Oetimu” berusaha mendekonstruksi pengkultuskan sosok seperti pemimpin agama, aparat, dan pejabat. Pengkultusan yang membuat masyarakat berhenti berpikir dan bertindak kritis. Masyarakat enggan mempertanyakan lebih jauh meski sering merasakan ada yang tak benar dengan sikap pemimpin agama, perilaku aparat, dan ucapan pejabat.
“Orang-orang Oetimu” juga memuntahkan kritik kepada penggunaan kata-kata: “tidak ada manusia yang sempurna dan semua manusia melakukan dosa”. Perkataan tersebut sering diajarkan oleh pemimpin agama dalam khotbah-khotbahnya. Kerap pula dikutip oleh aparat dan pejabat saat berpidato.
Sayangya semua itu dikutip bukan sebagai pengantar taubat. Melainkan untuk memoles diri sekaligus menormalisasi perilaku menyimpang.
Pemimpin agama yang melakukan tindakan amoral bisa leluasa berdalih: “tidak ada manusia yang sempurna”. Polisi dan tentara yang gemar melakukan pungli dan memukul orang akan dimaklumi dengan: “semua manusia pasti melakukan kesalahan”. Sementara pejabat yang korup akan lolos dari tanggung jawab dengan mengatakan: “tidak ada manusia yang tidak berbuat salah”.
Begitulah parade kemunafikan berlangsung. Maka ucapan suami dan anak Maria yang menyebut tak ada negara, tentara, pemimpin gereja, dan agama di surga pantas direnungkan secara mendalam.
Barangkali bukan bermakna bahwa di surga semua orang menjadi sama dan sederajat. Justru akibat kemunafikannya, para pejabat negara, tentara, polisi, dan pemimpin-pemimpin agama menjadi golongan yang paling kecil kemungkinannya berada di surga kelak.
Komentar
Posting Komentar