Langsung ke konten utama

Jejak Langkah: Penjajahan di Hindia Dulu, Kesewenang-wenangan di Indonesia Sekarang

Dengan penguasa yang sewenang-wenang, pemerintah berubah menjadi organisasi kriminal.


“Lihat, betapa sudah cerah Hindia…”. Begitu sesumbar Gubernur Jenderal penguasa Hindia Belanda suatu kali. Politik Etik dijanjikannya hendak membawa negeri Hindia menuju masa depan yang cerah. Lewat pendidikan manusia-manusia Hindia akan semakin berilmu dan beradab. Dengan irigasi pendapatan negara akan bertambah. Melalui emigrasi akan dibuka perkebunan-perkebunan baru.

Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer (dok.pribadi).

Namun, Minke segera mengetahui bahwa Politik Etik hanya manis kata-kata.  Bangsanya justru akan semakin gelap karena pendidikan hanya mencetak priyayi-priyayi yang tunduk dan bekerja pada kehendak pemerintah dan penguasa. Penduduk Hindia Belanda kebanyakan tetap dibiarkan tertinggal dan terasing dari kemajuan ilmu pengetahuan. Sedangkan pertanian dan perkebunan tak lain adalah penindasan dan perampasan hak-hak petani serta pemilik tanah. 


Bahkan, ketika Gubernur Jenderal berganti dari Van Heutsz ke Idenburg, watak penguasa tak jauh berbeda. Di mana-mana penguasa selalu ingin merentangkan kekuasaannya sebesar mungkin. Sekali seorang penguasa mendapatkan keinginannya, ia akan melanjutkan pada ambisi-ambisi lain yang lebih besar. Seolah sudah menjadi watak alami kekuasan yang tak pernah puas, penindasan dilakukan dengan melangkahi hukum.


Penguasa Hindia Belanda menumpukan kekuasaannya pada kekuatan perang dan pengerahan militer. Dianggapnya hanya dengan kekuatan militer, ketertiban dan keutuhan negara dapat terjaga. 


Begitulah Gubernur Jenderal penguasa Hindia memiliki hak dan wewenang untuk berbuat lebih di luar ketentuan hukum. Dan setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. Dengan penguasa yang sewenang-sewenang, pemerintah berubah menjadi organisasi kriminal.


Berorganisasi

Keprihatinan pada kondisi bangsanya serta kebencian pada watak dan perilaku penguasa mendorong Minke menempuh upaya-upaya. Ada yang gagal, ada pula yang berhasil meski lamban lajunya. Semua dilakukan untuk memajukan bangsanya dan membebaskan rakyat dari penjara ketertinggalan.


Dengan dorongan dan pencerahan dari beberapa orang penyokong Minke memulai langkah dengan membentuk organisasi. Turut dipengaruhi oleh mekarnya nasionalisme di Tiongkok, serta upaya serupa yang telah ditempuh lebih dulu oleh golongan Arab, sebuah persyerikatan priyayi didirikannya. 


Jiwanya meletup-letup, optimisme membumbung tinggi melihat banyaknya anggota yang bergabung. Sayangnya, Minke salah perhitungan. Organisasi yang berisikan para priyayi tersebut tak cukup progresif untuk bisa didorong memajukan bangsanya. 


Sebab para priyayi itu tidak lain adalah pegawai pemerintah yang mengabdi pada penguasa Hindia. Mereka telah merasa cukup dengan gaji dan memilih untuk bertindak aman. Tak ada kemauan lebih untuk memajukan rakyat sebangsanya yang masih tertinggal dan tertindas. 


Terlebih lagi watak para priyayi yang mementingkan jabatan untuk diwariskan kepada keturunannya sendiri. Para priyayi tidak rela jika anak dan saudaranya gagal mendapatkan jabatan karena kelak harus bersaing dengan rakyat biasa.


Jejak Langkah (dok.pribadi).

Organisasi pertama yang dibentuk Minke itu pun perlahan layu dan rontok dengan sendirinya. Namun, langkahnya tak surut. Sebuah organisasi kembali didirikannya karena hanya organisasi yang bisa mengubah kumpulan orang-orang lemah menjadi raksasa.


Kali ini upayanya lebih berhasil. Menggunakan perdagangan dan Islam sebagai perekat, organisasi tersebut berkembang pesat. Nama Minke semakin dikenal luas. Jaringan organisasinya pun menjamah banyak daerah, termasuk luar Jawa.


Langkah-langkah maju tersebut mengusik ketenteraman penguasa. Apalagi Minke juga menerbitkan koran harian untuk menyebarluaskan apa yang dialami oleh rakyat Hindia.


Koran

Sebelum menerbitkan koran harian, langkah Minke diawali dengan mencetak majalah yang menitikberatkan pada literasi hukum dan peraturan Hindia Belanda. Baginya, rakyat perlu mengetahui aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan mereka.


Saat Minke merasa penerbitan majalah akan membuat rakyat terbuka wawasannya, ia disadarkan oleh orang-orang terdekatnya bahwa majalahnya telah dimanfaatkan oleh penguasa untuk membuat rakyat tunduk pada peraturan yang menindas. Tanpa disadari sebelumnya oleh Minke, majalah tersebut justru melayani kepentingan penguasa.


Minke lalu menerbitkan koran harian. Siapapun bisa mengadukan ketidakadilan yang dialami untuk dimuat sebagai berita. Lewat koran harian, Minke menyediakan konsultasi hukum bagi rakyat yang menjadi korban ketidakadilan. Maka koran tersebut laksana corong berisik yang membuat kesewenang-wenangan penguasa dan pejabat tersebar luas.  Melalui berita dan tulisan di koran, tak ada kejahatan yang takkan malu pada penglihatan dunia


Sementara pada masa itu banyak koran dan majalah telah tunduk pada pemerintah Hindia Belanda. Koran-koran dan majalah memilih cara aman. Mereka tidak menerbitkan berita jika isinya menyinggung penguasa Hindia Belanda. 


Sepak terjang Minke dan koran hariannya membuat penguasa terganggu. Berulangkali teror dan surat kaleng diterima oleh Minke. Berbagai ancaman itu dirancang oleh beberapa pejabat polisi yang menyewa kelompok preman.


Jejak Langkah (dok. pribadi).

Gubernur Jenderal penguasa Hindia pun memanggil Minke untuk menekankan agar Minke perlu lebih bijak dan mengendalikan pengaruhnya. Pada saat yang sama, langkah-langkah Minke dihambat dengan beragam cara seperti percetakan yang menolak untuk mencetak koran hingga dipersulit saat membeli kertas.


Selain mengendalikan koran dan majalah, penguasa Hindia Belanda juga menyusupkan orang-orangnya ke dalam organisasi-organisasi. Pada suatu pemilihan, penguasa berupaya agar para anggota memilih orang-orang tersebut sebagai pemimpin organisasi.


Boikot

Nyala organisasi terus dijaga oleh Minke. Pasang surut, penyimpangan, dan perpecahan yang berulang kali terjadi dalam tubuh organisasi dianggapnya sebagai ujian yang menempa kekukuhan. Kobar perlawanan melalui koran pun tak berhenti. Walau koran dan kantor Minke sempat disegel, dengan segenap daya ia berusaha tetap menerbitkan korannya.


Di antara dua langkah untuk membebaskan bangsanya tersebut, Minke diam-diam menyiapkan senjata lainnya, yakni boikot. Pemahamannya tentang boikot diilhami oleh keberhasilan organisasi pedagang Tionghoa ketika memboikot perusahaan-perusahaan Eropa yang berafiliasi dengan penguasa. Para pedagang Tionghoa bersatu untuk tidak membeli bahan baku dari perusahaan-perusahaan Eropa. Dalam waktu yang tak lama, perusahaan-perusahaan Eropa itu pun gulung tikar.


Pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok kecil rakyat di daerah juga menginspirasi Minke. Kelompok rakyat itu berhenti membayar pajak dan tidak melaporkan pekerjaan-pekerjaan ke penguasa lokal. Cara tersebut ternyata cukup ampuh untuk merepotkan penguasa.


Jejak Langkah (dok.pribadi).


Walau demikian, Minke menganggap boikot yang lebih besar dan luas belum bisa dilaksanakan. Rakyat Hindia perlu disiapkan terlebih dahulu. Unsur pemersatu yang mengikat bangsa-bangsa di Hindia perlu disepakati. Organisasi-organisasi harus disempurnakan dan diperluas bentangan sayapnya.


Minke tak sempat menuntaskan masa-masa penting persiapan tersebut. Suatu tindakan di luar hukum yang dilakukan oleh polisi merenggut kebebasan Minke justru saat ia hendak melangkah menjangkau dunia di luar Hindia.


Hindia Dulu, Indonesia Sekarang

Mengupas Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer mau tidak mau membuat kita melongok apa yang terjadi dan sedang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.


Minke sepenuhnya benar bahwa setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. Pramoedya secara akurat meringkas watak alami kekuasaan baik dulu maupun nanti yang tak pernah berubah. Bahwa menumpukkan kekuasaan pada kekuatan milier adalah pembuka jalan bagi berlangsungnya kesewenangan-sewenangan.


Gejala tersebut sekarang nampak melalui revisi UU TNI yang merestui tentara untuk menjangkau lebih luas lini kehidupan sipil. Tugas yang bertambah berarti penambahan wewenang. Dan wewenang yang bertambah disertai pula penambahan hak. Dan hak yang berlebihan adalah penindasan.


Juga janji Gubernur Jenderal tentang masa depan Hindia yang akan cerah dengan politik etik. Itu serupa dengan Indonesia Emas yang dikampanyekan beberapa tahun terakhir. Kenyataannya tak ada jalan menjanjikan yang dibangun untuk menuju keemasan dan kecerahan itu. Sebaliknya, suatu lintasan tanpa penerang diadakan untuk membawa Indonesia terperosok mundur ke belakang.


Upaya Gubernur Jenderal Hindia untuk menguasai dan mengendalikan organisasi dengan menyusupkan orang-orangnya serupa dengan “cawe-cawe” pada masa kini. Presiden yang mengendorse menterinya untuk menjadi pemimpin partai. Presiden  yang memberi dukungan kepada orang kepercayaannya agar terpilih dalam pilkada. Semua itu merupakan reduplikasi dari perilaku penguasa kolonial.


Begitu pula watak para priyayi yang tak rela anak keturunannya bersaing dengan rakyat jelata dalam mendapatkan jabatan. Itu serupa dengan nepotisme yang semakin lumrah terjadi Indonesia sekarang. Nepotisme yang disuburkan dalam bentuk pewarisan dan penerusan jabatan dari ayah ke anak atau menantu. Dari paman ke keponakan dan seterusnya.


Teror, kekerasan, dan surat kaleng yang diterima oleh Minke dan korannya juga seperti pengiriman kepala babi yang baru saja dialami oleh jurnalis sebuah media besar tanah air. 


Begitu pula pemanggilan Minke oleh Gubernur Jenderal yang mengharap agar Minke “lebih bijak dan mengendalikan pengaruhnya”. Bukankah itu sebangun dengan pertemuan para pemimpin redaksi media dengan presiden beberapa waktu lalu?


Bedanya, Minke tetap teguh dengan pendirian dan korannya. Sementara para pemimpin redaksi itu entah apa yang terjadi setelah diundang oleh presiden. Kebetulan atau tidak, gerakan mahasiswa dan protes rakyat menjadi lebih senyap beritanya di media. Bahkan, ada sebuah media yang nampak secara sistematis menggembosi suara mahasiswa dengan membikin framing buruk.


Untungnya, rakyat tak buntu. Beberapa diaspora berinisiatif membuat rilis pers dalam berbagai bahasa untuk disebarkan ke berbagai media asing di luar negeri. Harapannya dunia menjadi tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia. Upaya tersebut merupakan adaptasi dan aktualisasi dari pandangan dalam Jejak Langkah bahwa tidak ada kejahatan yang takkan malu dan tersipu pada penglihatan dunia.


Jejak Langkah (dok. pribadi).

Lalu apakah semua upaya dan suara dari mahasiswa dan rakyat dalam mengoreksi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa dan pejabat  saat ini akhirnya juga akan menyerah seperti halnya Minke dipaksa mengakhiri langkah-langkahnya?


Jangan sampai itu terjadi. Paling tidak Pramoedya Ananta Toer dan Minke telah mewariskan pengetahuan sekaligus menunjukkan dengan contoh sebaik-sebaiknya bahwa untuk membebaskan bangsa dari penindasan diperlukan tiga keberanian. Yakni, keberanian berpikir, keberanian bertindak, dan keberanian menanggung risiko atas tindakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu...

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan...

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk...