Sesuatu yang ditunggu akhirnya datang juga. Kamis sore kemarin sebuah paket saya dapati tergeletak di atas keset di muka pintu. Terbungkus kertas coklat berlapis lakban di setiap pinggirannya.
Isinya buku Pramoedya Ananta Toer edisi peringatan seabad yang saya pesan secara daring beberapa minggu lalu. Saya memesan empat judul, tapi sengaja dari toko-toko yang berbeda termasuk Gramedia dan Togamas.
Buku yang saya pesan dari Gramedia tiba lebih dulu. Malam harinya paket saya buka dan beginilah wujud buku yang dicetak ulang khusus untuk memperingati 100 tahun sang penulis besar.
Biru yang Bijaksana
Sebelumnya telah diumumkan bahwa tetralogi Buru akan kembali dengan cover yang seragam berlatar warna biru benderang. Melihat bocoran desainnya, banyak orang mengidentikannya dengan “biru resisten” simbol perlawanan sekaligus biru “peringatan darurat”.
Namun, biru yang hadir ternyata lebih tua. Semua sisi cover, termasuk sisi dalamnya berlapis biru yang sama.
Biru yang kalem ini kuat melambangkan kebijaksanaan, ketenangan dan kedalaman pikiran. Biru yang lebih bijaksana serta penuh ketenangan juga mengandung makna keberanian menampilkan kebenaran yang didahului dengan perenungan. Itu selaras dengan karya-karya Pramoedya, terutama tetralogi Buru yang mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi masyarakat dan realitas bangsa secara lebih mendalam.
Kondisi dan realitas yang dimaksud bukan hanya mengacu pada masa lampau seperti latar cerita Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Melainkan juga kondisi dan realitas saat ini dan mungkin juga masa depan.
Luasan warna biru yang melingkupi semua sisi cover ibarat keluasan hati untuk membuka dialog-dialog dan pemikiran baru. Harapannya benih-benih kebijaksanaan bisa tumbuh lebih subur dalam sanubari setiap orang setelah membacanya.
Sederhana, tapi Tidak Biasa
Cover yang relatif sederhana tanpa banyak ilustrasi dan gambar merefleksikan maksud untuk lebih menonjolkan pesan dan gagasan yang diwariskan Pramoedya. Itu sebabnya “Pramoedya Ananta Toer” ditulis dengan warna putih yang kontras dengan biru dan dicetak menonjol terhadap permukaan cover. Kemudian di bawah tulisan tersebut dicantumkan judul bukunya.
Sabuk kertas berwarna abu-abu melingkari bagian bawah buku. Bagian depan sabuk yang bisa dilepas dari cover tersebut memuat penanda tulisan “Seabad Pramoedya Ananta Toer 1925-2025”. Penanda lain berupa foto Pramoedya Ananta Toer.
Sementara sabuk bagian belakang memuat kutipan yang diambil dari setiap buku tetralogi Buru. Informasi lain seperti harga dan barcode juga terdapat pada bagian belakang sabuk.
Saat sabuk dilepas, wujud cover seluruhnya akan nampak. Cover belakang paling menarik perhatian karena nyaris polos. Ini boleh dikatakan tidak biasa karena umumnya cover belakang buku-buku di Indonesia menjadi ruang untuk menuliskan sinopsis pendek atau informasi-informasi lain tentang buku tersebut. Akan tetapi tidak demikian dengan buku Pramoedya kali ini. Hanya ada sebaris tulisan “Sumbangan Indonesia untuk Dunia” yang dicetak kecil di sisi bawah cover belakang. Tulisan seperti itu ditemui juga pada cover Tetralogi Buru edisi terdahulu.
Selain sabuk, buku ini juga disertai sebuah pembatas buku berwarna biru. Lumayan berguna bagi pembaca yang membutuhkan penanda untuk mengingatkan sejauh mana telah dan akan melanjutkan bacaannya.
Dibandingkan dengan buku-buku Pramoedya terdahulu, kertas cover edisi kali lebih tipis. Dilihat dari samping ketebalan covernya nyaris tersamar oleh kertas-kertas yang menjadi halaman pengisi buku.
Cover yang tipis memang membuat buku yang tebal ini terkesan kurang kokoh. Namun, kekurangan tersebut bisa dikompromikan dengan teksturnya yang jika diraba tidak terkesan seadanya. Jika digaruk dengan ujung cari akan didapati sensasi ASMR yang renyah. Sepintas cover buku demikian mengingatkan saya pada kitab-kitab kuliah dari penerbit luar negeri yang tersimpan di perpustakaan kampus.
Sesuatu yang kurang justru pada bagian samping atau punggung buku. Pada bagian ini identitas buku, terutama nama Pramoedya Ananta Toer tercetak terlalu kecil. Saat buku diletakkan di rak atau meja, bagian punggung akan menjadi penunjuk agar buku mudah ditemukan. Sayangnya tulisan yang tercetak terlalu kecil membuat buku ini kurang bisa dikenali jika diletakkan di rak atau dilihat dari kejauhan.
Walau demikian hadirnya kembali buku-buku Pramoedya Ananta Toer terutama Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langka, dan Rumah Kaca ini layak disambut dan disyukuri. Di tengah keadaan masyarakat dan bangsa yang penuh cobaan, serta dalam kondisi kekurangan pemimpin teladan yang melanda Indonesia sekarang, buku-buku Pramoedya hadir pada saat yang “tepat”.
Cover mungkin bisa membuat orang jadi suka atau tidak suka pada sebuah buku. Namun, warisan Pramoedya Ananta Toer yang sangat berharga jelas tidak bisa diukur sekadar dari covernya. Gagasan dan pencerahan yang dibawa oleh Pram sama sekali tidak berkurang meski covernya tipis dan sederhana.
Wajah baru buku Pramoedya Ananta Toer mungkin sengaja didandani seperti ini untuk kembali mengingatkan kita kepada esensi “jangan menilai buku hanya dari covernya”. Kali ini Pramoedya hadir dengan wajah kalem. Namun siapapun yang membaca pasti telah dan akan mengerti betapa isinya penuh “dar der dor”.
Jika ada waktu dan kesempatan membaca, bacalah. Jika ada kemampuan untuk mengambil, ambilah buku-buku Pramoedya Ananta Toer.
Komentar
Posting Komentar