Langsung ke konten utama

Seabad Pramoedya Ananta Toer: Memeluk yang Lama, Menyambut yang Baru

Hari ini, 6 Februari 2025, seabad sudah Pramoedya Ananta Toer mencatatkan namanya. Dan sebuah kabar baik meluncur beberapa waktu lalu. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Lentera Dipantara memastikan bahwa 4 karya besar Pramoedya Ananta Toer akan hadir kembali pada 19 Februari 2025.


Arus Balik, Anak Semua Bangsa, Gadis Pantai (dok.pribadi).


Tetralogi Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca bisa kembali didapatkan di toko-toko buku. Dimiiki oleh masyarakat dan pecinta buku yang menginginkan buah pikiran Pram tetap lestari memberi pencerahan bagi khalayak.


Sebenarnya terbit ulangnya buku-buku Pram sudah dibocorkan sejak pertengahan 2024. Mendekati Desember 2024 tanda-tandanya semakin nyata. Pramoedya Ananta Toer Foundation melalui unggahan dan story di instagram menyebut karya-karya Pram akan dicetak lagi dan diterbitkan secara bertahap sepanjang 2025. Dimulai dari Tetralogi Buru, menyusul kemudian buku-buku Pramoedya lainnya. Termasuk beberapa tulisan Pram yang belum sempat diterbitkan.


Desain cover baru Tetralogi Buru (dok. pribadi).

Bukan tanpa maksud. Penerbitan ulang karya-karya tersebut merupakan bagian dari perayaan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer. Seabad Pram dinilai menjadi momentum dan tonggak yang tepat untuk menghadirkan lagi Bumi Manusia dan judul-judul lainnya ke tengah masyarakat Indonesia. 


Apalagi sejak terakhir kali diterbitkan pada 2019, Tetralogi Buru semakin langka. Sementara itu banyak pihak menganggap buku-buku Pram sangat relevan untuk merefleksikan kondisi Indonesia sekarang yang dijangkiti sejumlah persoalan. 


Antusiasme mengiringi kabar kembalinya buku-buku Pramoedya. Mereka yang belum sempat melengkapi Tetralogi Buru tidak sabar lagi untuk mendapatkan kepingan yang kurang. Sementara penggemar yang telah menamatkan 4 buku tersebut bersemangat untuk menyertakan edisi khusus Seabad Pram ke dalam koleksi pribadinya. 


Begitu pula masyarakat yang belum sempat membaca satu pun buku-buku Pram, tapi telah membaca review dan ulasannya, tak sabar meraba langsung cover Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. 


dok. pribadi.


Walau demikian, pengumuman penerbitan ulang Tetralogi Buru sempat membuat opini publik terbelah. Di media sosial, terutama Instagram dan X, sejumlah netizen merasa kecewa dengan desain cover Tetralogi Buru yang berlatar warna biru dan hanya menampilkan tulisan. Tidak ada lagi citra lukisan dan sosok wajah-wajah manusia seperti yang menghiasi cover-cover edisi terdahulu.


Beberapa orang menganggap cover baru Tetralogi Buru monoton dan tidak kreatif. Ada yang menilai cover tersebut terlalu sederhana untuk karya agung Pramoedya. Bahkan, ada yang melempar tuduhan bahwa penerbit hanya menunggangi perayaan Seabad Pram untuk sekedar menjual buku-buku Pram, tapi malas menggarap rupa fisik bukunya.  


Mereka yang berpendapat demikian barangkali sudah terlanjur cinta dengan cover lama buku-buku Pram. Lukisan wajah orang, pemandangan, dan suasana zaman lampau yang membungkus karya-karya Pram terdahulu memang khas dan menarik.


dok. pribadi.


Namun, mereka barangkali juga belum menyimak latar belakang terpilihnya cover biru. Penerbit Lentera Dipantara menjelaskan biru adalah warna favorit Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, penggunaan warna biru sebagai bungkus utama merupakan amanat dan harapan dari keluarga Pramoedya Ananta Toer untuk ditonjolkan dalam edisi terbaru Tetralogi Buru. Begitu pula pilihan untuk menghiasi cover hanya dengan tulisan tanpa lukisan merupakan hasil kesepakatan sejumlah pihak. 


Sebenarnya bukan kali pertama Tetralogi Buru diterbitkan dengan rupa cover yang hanya menonjolkan tulisan tanpa gambar. Cetakan awal Bumi Manusia dan kawan-kawannya yang terbit pada 1980 hanya terbungkus cover putih. Di atasnya tertera judul, nama Pramoedya, nama penerbit, dan keterangan Roman Karya Pulau Buru. 


Maka Tetralogi Buru dengan cover baru yang akan terbit ulang sebentar lagi seperti hendak mengingat lagi kelahiran pertamanya. Ditambah beberapa karakter khusus, edisi Seabad Pramoedya Ananta Toer rasanya sengaja dipoles dengan rupa sangat berbeda sebagai bentuk perayaan istimewa sekaligus penanda zaman.


dok. pribadi.


Ada yang kecewa, tapi banyak pula
yang menyambut baik cover baru dengan menonjolkan warna biru. Sebab biru tua yang dipilih dianggap mirip dengan warna “biru resisten” yang melambangkan perlawanan. Ini mengingatkan pada warna biru “peringatan darurat” yang beberapa waktu lalu menggembarkan Indonesia.


Sebagai karya yang mencerahkan, Tetralogi Buru memang kental dengan muatan pesan-pesan kebangkitan dan perlawanan. Baik perlawanan terhadap diskriminasi, feodalisme, kolonialisme, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga perlawanan terhadap peradilan yang buruk. Semua itu diangkat dan diserukan dalam Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.


Lepas dari pro dan kontra cover baru Tetralogi Buru, masyarakat memiliki kebebasan untuk mengingat Pramoedya Ananta Toer dengan cara apa pun. Seperti halnya karya-karya Pramoedya yang menyerukan pembebasan dari belenggu-belenggu yang membatasi hidup manusia. 


dok. pribadi.

Merayakan Seabad Pramoedya tak mesti dengan mengambil dan memiliki cover terbarunya nanti. Menyambut yang baru dengan cover biru memang akan istimewa. Namun, memeluk yang sudah ada dengan cover lama tidak akan mengurangi nilai penghargaan dan penghayatan terhadap warisan pemikiran Pramoedya. 


Banyak cover, banyak cara, banyak pilihan, banyak pendapat, banyak kebijaksanan. Itulah yang namanya “perayaan”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu...

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan...

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk...