Ini bukan tentang tanda bahaya tutupnya toko buku. Bukan tentang buku yang diobral cuci gudang karena tidak laku. Mungkin ini misi mulia dari penerbit, toko, dan penulis agar masyarakat Indonesia tidak melupakan pengalaman traumatik bangsanya.
Diskon "tidak biasa" buku Namaku Alam (dok. pribadi). |
Sesuatu yang menarik saya jumpai dan amati dari toko resmi Gramedia di Tokopedia. Sejak November hingga saat tulisan ini dibuat pada Minggu, 22 Desember 2024, Gramedia rutin dan bergantian memberi diskon untuk sejumlah judul buku.
Dari beberapa buku tersebut, ada 3 yang selalu mendapat potongan harga berkisar 30-50%. Buku-buku itu ialah “Pulang”, “Laut Bercerita”, dan “Namaku Alam”. Ketiganya merupakan karya penulis ternama Leila S. Chudori atau Bu Leila.
Di sini tidak akan diulas isi dan cerita ketiga buku tersebut. Siapapun bisa mencermati resensi, review atau ulasan tentang Laut Bercerita, Pulang, dan Namaku Alam dengan menjelajahi internet, membuka forum goodreads, gramedia.com, blog, dan lain sebagainya.
Bisa dipastikan ketiga buku itu mendapat diskon besar bukan karena tidak laris. Entah sudah berapa belas atau puluh kali buku-buku tersebut dicetak ulang.
Toko Gramedia sebagai jaringan distribusi dan KPG selaku penerbit rasanya juga tidak memilih secara acak buku-buku yang hendak didiskon. Kalau salah satu pertimbangannya ialah best seller memang masuk akal. Sebab buku-buku yang mendapat diskon sepanjang November hingga Desember memang kategori buku-buku laris dari berbagai genre. Termasuk nonfiksi, buku pengembangan diri, serta fiksi sejarah seperti Laut Bercerita, Pulang, dan Namaku Alam.
Khusus buku-buku Bu Leila saya menangkap ada maksud atau misi mulia yang dititipkan. Entah oleh penerbit, toko buku, penulisnya, atau malah semua pihak itu memiliki perhatian yang sama sehingga perlu memberi potongan harga spesial untuk Laut Bercerita, Pulang, dan Namaku Alam. Harapannya buku-buku itu semakin banyak sampai ke tangan dan mata masyarakat Indonesia. Agar bertambah orang-orang yang menangkap cerita dan pengetahuan di dalamnya di tengah pontang-panting menjalani hidup sebagai rakyat yang semakin diperas oleh beban pajak dan pungutan.
Memori Kolektif
Lantas apa manfaatnya membaca Laut Bercerita, Pulang, dan Namaku Alam? Jawaban singkatnya ialah buku-buku semacam itu telah mengabadikan dan menjaga memori kolektif masyarakat Indonesia.
Bukan ingatan orang per orang yang diakumulasikan, memori kolektif ialah pengalaman selektif yang dimiliki suatu masyarakat atau bangsa yang berguna untuk mengidentifikasi dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan bersama.
Pulang juga didiskon (dok. pribadi). |
Memori kolektif bukan sekadar instrumen sosial dan kebudayaan. Besarnya pengaruh memori kolektif bagi masyarakat dan bangsa membuatnya sering dijadikan sebagai intrumen politik oleh rezim penguasa di mana pun berada.
Mengeksploitasi memori kolektif memberi jalan dan kekuatan yang efektif bagi tegaknya suatu rezim. Beberapa negara di bawah kekuasaan yang nyaris absolut menunjukkan bagaimana memori kolektif yang dipadukan dengan propaganda berhasil menyingkirkan sistem demokrasi.
Salah satu metodenya ialah dengan menyerukan terus menerus memori negatif tentang kegagalan demokrasi masa lalu yang membuat politik dan ekonomi tidak stabil sehingga rakyat menderita. Melalui mesin propaganda yang disokong oleh media dan internet, rezim yang mengeksploitasi memori kolektif semacam itu berhasil meyakinkan masyarakat bahwa diperlukan sistem kekuasaan lain untuk menggantikan demokrasi yang traumatik.
Bagaimana jika masyarakat tidak memiliki memori kolektif yang signifikan tentang kegagalan atau pengalaman buruk demokrasi? Sebaliknya, memori kolektif yang ada justru berupa catatan sejarah tentang trauma kekuasaan yang absolut dan otoriter.
Caranya ialah dengan pengalihan sejarah. Rezim yang berkuasa dengan berbagai upaya berbiaya mahal akan memproduksi pengalaman-pengalaman baru sebagai “sejarah baru” untuk menandingi memori kolektif masyarakat.
Tanda Bahaya
Indonesia meski sudah menempuhi era demokrasi selama lebih dari 25 tahun terhitung sejak reformasi dan penggulingan orde baru pada 1998, nyatanya belum lepas dari bayang-bayang kembalinya rezim yang antidemokrasi. Bahkan, tanda-tandanya nampak sejak beberapa tahun silam dan kembali menguat saat ini.
Upaya memanipulasi memori kolektif terus ditempuh. Mengeksplotasi kelemahan sistem demokrasi dengan alasan berbiaya mahal dan tidak efisien berulang kali didengungkan. Harapannya masyarakat bisa diyakinkan bahwa demokrasi mendatangkan banyak kerugian.
Pada era yang lalu, upaya semacam itu dicoba oleh sejumlah pihak termasuk pembantu Presiden Jokowi lewat wacana penghapusan pilkada atau pemilihan langsung serta perpanjangan masa jabatan presiden. Kini pada era Presiden Prabowo gagasan menghilangkan pemilihan langsung oleh rakyat dihidupkan lagi. Bahkan, upayanya lebih serius karena pertama-tama didengungkan oleh Presiden Prabowo sendiri, kemudian disambut dan diamini oleh anggota DPR serta sejumlah menteri.
Gagasan kepala daerah dipilih oleh DPRD atau ditunjuk oleh presiden merupakan upaya memusatkan kekuasan sekaligus mengurangi kontrol dan partisipasi masyarakat. Secara bertahap kedaulatan di tangan rakyat diambil alih oleh penguasa yang juga mengendalikan semua perangkat negara di bawah kekuasaanya. Maka argumen bahwa pemilihan oleh DPRD sama-sama demokratis tidak akan seperti yang diucapkan.
Argumen bahwa pemilihan langsung berbiaya mahal lebih nampak jelas sebagai bagian propaganda untuk memanipulasi memori kolektif. Seolah-olah masyarakat Indonesia memiliki trauma yang amat besar terhadap pilkada dan demokrasi secara umum. Padahal, pengalaman traumatik terbesar dalam memori kolektif masyarakat justru timbul karena sistem pemerintahan antidemokrasi seperti dijalankan oleh rezim orde baru yang otoriter.
Pada saat yang sama, untuk menandingi memori kolektif yang bisa membangktikan kesadaran masyarakat, penguasa melakukan rekayasa sosial dengan menciptakan pengalaman-pengalaman baru seperti makan siang gratis dan aneka bantuan. Investasi berbiaya mahal seperti ini lazim digunakan oleh rezim penguasa di negara-negara otokrasi untuk mencegah perlawanan oleh masyarakat yang lapar. Padahal yang menciptakan kelaparan di negara-negara otokrasi ialah penguasa itu sendiri.
Laut Bercerita, Pulang, dan Namaku Alam (dok. pribadi). |
Dengan memahami gejala yang sedang menguat di Indonesia seperti itulah maka diskon buku Laut Bercerita, Pulang, dan Namaku Alam bisa dimaknai lebih dalam. Yakni, sebagai upaya untuk melakukan “recall” terhadap memori kolektif masyarakat.
Memori kolektif yang terabadikan dalam bentuk cerita dan pengetahuan seperti di dalam buku-buku tersebut penting di-recall agar masyarakat bisa menangkap adanya tanda bahaya yang sedang berusaha merampas kedaulatan dari tangan rakyat dengan berbagai cara dan alasan.
Diskon yang diberikan oleh Toko Gramedia untuk Laut Bercerita, Pulang, dan Namaku Alam bukan rayuan belanja yang berbunyi: “Ayo beli buku ini selagi diskon”.
Melainkan sebuah alarm tanda bahaya yang berseru: “Ayo baca! Ingat selalu pengalaman bangsamu. Bacalah dan jangan mau dimanipulasi. Ambil sekarang karena tidak ada yang tahu apakah buku-buku seperti ini masih bisa bebas dicetak dan diedarkan di masa mendatang!”
Komentar
Posting Komentar