"Dengan selembar kertas dan sebuah pena, seseorang bisa bicara pada dunia. Lewat sebuah buku, suatu bangsa bisa bersuara dan berseru" .
Maka dari itu sering terjadi di mana-mana, pada zaman dulu maupun kini, pelarangan dan pemusnahan buku-buku. Penguasa sering ketakutan dan membenci buku. Konon, orang-orang besar dan berkuasa tidak menyukai buku bukan karena mereka malas, tapi karena takut. Mereka juga takut masyarakat akan ikut-ikutan membaca buku dan menjadi terpelajar.
Anak Semua Bangsa (dok.pribadi). |
Di Indonesia hal itu masih dijumpai hingga sekarang. Era pelarangan buku secara resmi oleh negara memang telah berlalu. Tapi ketakutan-ketakutan terhadap buku masih kentara. Razia buku, pembubaran diskusi, pelarangan bedah buku beberapa kali tersiar beritanya.
Bagi suatu bangsa dan masyarakat, buku adalah sarana kebangkitan dan tanda peradaban. Namun, bagi orang-orang yang selalu memupuk nafsu berkuasa, buku adalah ancaman.
Itu sebabnya dulu buku-buku Pramoedya Ananta Toer dilarang. Alasan yang digunakan oleh rezim orde baru menyebut karya-karya Pram mengandung ajaran komunisme sebagaimana penulisnya dituduh sebagai simpatisan partai komunis.
Akan tetapi sesungguhnya pelarangan buku-buku Pramoedya, terutama Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca didasarkan pada ketidaksenangan penguasa terhadap padatnya pengetahuan yang termuat dalam karya-karya tersebut. Pengetahuan yang jika sampai dipahami oleh masyarakat luas akan mengancam kemapanan orang-orang berkuasa yang dengan kekuasaannya selama bertahun-tahun mengeruk banyak keuntungan dari ketidakberdayaan dan kebodohan rakyat.
Dari keempat buku tersebut, “Anak Semua Bangsa" boleh jadi yang paling ditakuti dan dibenci oleh orang-orang berkuasa. Memang “Bumi Manusia” yang paling populer dan diamini sebagai karya teragung Pramoedya. Namun, jika membaca lengkap Tetralogi Buru, akan dimengerti bahwa ada satu di antaranya yang mengandung begitu banyak “alergen” bagi penguasa. Buku ini bisa segera menimbulkan reaksi alergi bagi para penguasa dan pembesar yang hipersensitivitas. Mata, telinga, dan kulit orang-orang yang berkuasa tidak nyaman dengan tulisan-tulisan yang tercetak di dalamnya.
Anak Semua Bangsa mengungkap modus-modus rekayasa sosial dan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa. Bersamaan dengan itu ditunjukkan bagaimana cara masyarakat bangkit mengatasi belenggu penindasan penguasa.
Pokok yang disinggung dalam Anak Semua Bangsa memang soal bangkitnya benih kesadaran perlawanan pribumi terhadap kolonialisme Belanda di atas bumi Hindia. Walau demikian, kolonialisme Belanda digunakan juga sebagai simbol oleh Pramoedya untuk menyindir dan mengkritik orang-orang yang berkuasa di Indonesia.
Membaca Anak Semua Bangsa seperti sedang ditunjukkan bahwa cara-cara kolonial terdahulu merupakan prototip yang dilanjutkan dan dikembangkan oleh para pembesar negeri setelah merdeka untuk menindas rakyat dan bangsanya sendiri. Cara kolonialisme menaklukan dan memperdaya pribumi ditiru oleh para penguasa di era modern. Dalam hal ini perkataan Nyai Ontosoroh terbukti benar, bahwa ketika zaman modern telah tiba, manusia-manusianya tetap sama.
Mari sedikit membedah kedalaman Anak Semua Bangsa yang membuatnya dibenci dan ditakuti penguasa.
Menjadi Korup Bersama
Perjumpaannya dengan seorang pemuda dari negeri Tiongkok memberi pengetahuan dan kesadaran baru bagi Minke tentang bagaimana kekuasaan yang korup bisa langgeng dan terus memimpin. Yakni dengan menaklukkan orang-orang pandai dan mengajaknya ke dalam kekuasaan. Sementara gayung bersambut, banyak orang pandai dan ahli yang “genit” mencari perhatian agar bisa turut serta menumpang kereta mewah kekuasaan.
Anak Semua Bangsa (dok.pribadi). |
Memang golongan-golongan muda yang pandai merupakan lawan yang tangguh bagi penguasa. Tapi mari renungkan dialog Minke dengan sahabatnya dari Tiongkok ini: “Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh, ikut juga jadi bodoh”.
Bukankah fenomena pada masa penjajahan tersebut masih berlanjut hingga sekarang? Masih terus kita saksikan “simbiosis” antara penguasa dan golongan pandai. Generasi yang lebih muda masuk dalam lingkar kekuasaan dengan dalih “akan memperbaiki dari dalam”. Sesampainya di dalam ternyata mereka melepas pakaian untuk berganti jubah sehingga menjadi sama dengan generasi tua yang korup.
Kekuasaan membuat orang-orang pandai menjadi bodoh. Dipimpin penguasa korup, para ahli bisa ikut menjadi korup. Akhirnya secara bersama-sama para ahli dan orang-orang pandai itu akan menyokong kekuasaan yang korup.
Persekongkolan Penguasa dengan Media dan Pengadilan
Sebuah peristiwa telah mengubah pandangan Minke terhadap koran tempatnya biasa menyumbang tulisan. Koran yang dalam kisah “Bumi Manusia” dipuja oleh Minke habisan-habisan, pada “Anak Semua Bangsa” berubah menjadi koran yang sangat dibencinya.
Minke mengetahui sebuah tulisannya telah diubah oleh redaksi sehingga saat diedarkan isinya jauh menyimpang dari kebenaran yang mulanya ditulis oleh Minke. Berita yang telah dimanipulasi tersebut akhirnya mencelakakan sahabatnya.
Lewat bantuan seorang sahabat lainnya, Minke mendapat wawasan bahwa koran tersebut sebenarnya koran kolonial yang mengabdi pada pabrik gula. Apa pun akan dilakukan oleh koran tersebut untuk mendukung kepentingan kolonial dan pabrik gula. Tulisan dan berita yang mengungkap penderitaan pribumi akibat kolonialisme dan pabrik gula tidak diloloskan. Sebaliknya justru bisa dimanipulasi untuk berganti menyerang rakyat biasa.
Anak Semua Bangsa yang terbit pertama kali pada 1980 sudah memprediksi perilaku media di era modern sekarang. Jika dulu koran bersekongkol dengan penguasa kolonial dan pabrik gula, kini kecenderungan serupa juga nampak. Yakni media-media yang membelot dari kepentingan rakyat untuk berselingkuh dengan penguasa dan pemilik modal.
Orang-orang berkuasa pada era sekarang juga rajin mendekati media untuk memperteguh kepentingannya. Suatu yang buruk dari penguasa bisa diberitakan sebagai “kebaikan” dengan rekayasa media. Sebaliknya, kebenaran yang berasal dari pengalaman rakyat dibatasi penyiarannya karena bisa mengganggu kebenaran versi penguasa.
Anak Semua Bangsa (dok.pribadi). |
Persekongkolan penguasa tak hanya dengan media. Anak Semua Bangsa juga menjabarkan persekongkolan serupa yang melibatkan perangkat hukum dan pengadilan. Tak henti-hentinya Minke dan Nyai Ontosoroh harus melawan pengadilan di mana jaksa dan hakimnya kompak menertawakan pribumi.
Orang-orang berkuasa mengubah ruang pengadilan menjadi panggung untuk menonton ketidakberdayaan pribumi. Jaksa dan hakim suka mengalihkan perkara ke masalah lain yang bisa lebih memberatkan pribumi. Dengan cara demikian pribumi ditakdirkan selalu kalah dan tak akan bisa menang melawan kepentingan kolonial.
Perangai pengadilan yang semacam itu terus terjadi pada era sekarang. Pengadilan bukan lagi tempat rakyat mencari keadilan. Sebaliknya justru menjadi arena yang mempertontonkan kekalahan demi kekalahan rakyat kecil. Kadang dijumpai dengan sangat terang orang-orang yang berkuasa dan para pihak yang bersekongkol tidak memiliki rasa malu untuk memperlihatkannya di hadapan masyarakat.
Hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah pada era sekarang merupakan kelanjutan dari peradilan kolonial seperti yang dialami oleh Nyai Ontosoroh dan Minke. Oleh karena itu perlu terus diingat ajaran Nyai Ontosoroh berikut: “Jangankan koran, Nak. Pengadilan dan hukum pun bisa dan boleh dipergunakan oleh penjahat-penjahat untuk melaksanakan maksudnya”.
Menggunakan Kekuatan Aparat dan Polisi
Saat berkunjung ke tempat kelahiran Nyai Ontosoroh, Minke tidak sengaja bertemu dengan keluarga petani yang mengalami intimidasi. Pertemuan itu memberi pengetahuan baru bagi Minke tentang kesengsaraan para petani dan pemilik lahan akibat kesewenang-wenangan pabrik gula yang mendapat dukungan pemerintah kolonial dan pejabat pribumi setempat.
Para petani dan pemilik lahan dipaksa menyewakan lahan mereka kepada pabrik gula. Aparat dikerahkan untuk mengintimidasi petani dan pemilik lahan yang menolak.
Setelah tanahnya diberikan, para petani dan pemilik lahan ternyata menerima sewa yang jauh lebih kecil. Pabrik gula juga menggunakan lahan tersebut lebih lama dari masa sewa yang telah disepakati. Tak ada kompensasi kepada petani dan pemilik lahan. Mereka ketakutan dan tak berdaya menghadapi persekongkolan antara pengusaha gula, pemerintah kolonial dan pejabat pribumi lokal.
Anak Semua Bangsa (dok.pribadi). |
Praktik penjajahan atas lahan milik rakyat dan petani semacam itu masih berlangsung di era modern sekarang. Modus yang digunakan pun tidak banyak berubah. Atas nama kelancaran investasi, penguasa menggelar karpet merah untuk investor. Aparat, baik militer dan polisi dikerahkan untuk memberi “rasa aman” bagi pengusaha.
Berbagai konflik lahan yang melibatkan petani lokal dan masyarakat adat mempertontonkan bagaimana penguasa dan aparat lebih berpihak pada pengusaha. Proyek-proyek pemerintah yang tak kalah ambisius juga mengorbankan masyarakat lokal. Ambil contoh food estate di Merauke, pemerintah mengerahkan banyak tentara seolah masyarakat lokal merupakan hama pengganggu.
Zaman memang telah berganti. Tapi tabiat penguasa, pejabat dan aparatnya ternyata tetap sama. Seperti kata Minke: “Polisi lebih dekat dengan pejabat daripada petani”.
Membodohkan Masyarakat
Minke menyebut dirinya sebagai anak semua bangsa karena wawasan dan kesadarannya dibentuk lewat pertemuan-pertemuannya dengan orang-orang dari bangsa lain. Termasuk wawasan mengapa bangsanya selama ratusan tahun dikuasai kolonial, sementara bangsa-bangsa lain mampu bangkit.
Sebagai golongan terpelajar, Minke akhirnya menyadari bahwa pengajaran yang diterimanya telah diarahkan untuk mendukung kepentingan kolonial. Hanya sedikit pribumi yang bisa mencicipi sekolah seperti dirinya. Sebab penguasa kolonial tidak menginnginkan terlalu banyak muncul golongan terpelajar di tanah jajahannya.
Banyaknya golongan terpelajar akan membangkitkan kesadaran suatu bangsa tentang masa depan. Rakyat yang terpelajar merupakan ancaman bagi kepentingan kolonial.
Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh seorang kawan kepada Minke: “Gubermen di sini sangat pelit memberikan pendidikan dan pengajaran pada pribumi. Ilmu dan pengetahuan dijual semahal-mahalnya”
Begitulah cara menaklukan suatu bangsa. Yakni dengan membatasi pendidikan dan pengajaran agar rakyat tetap bodoh. Kebodohan membuat rakyat rendah diri dan takut. Ketidaktahuan membuat rakyat patuh membungkuk pada kehendak penguasa.
Adakah cara-cara demikian kita jumpai pada era sekarang? Masyarakat di negara yang sudah merdeka ternyata masih sulit mengakses pendidikan yang berkualitas. Bahkan, seorang pejabat dengan penuh keyakinan berkata bahwa pendidikan tinggi hanya kebutuhan tersier.
Biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau. Kualitas dan aksesnya tidak merata. Sistem pendidikan dan pengajaran dibuat tidak mantap. Guru dan pengajar pun diperlakukan sebagai golongan yang kurang dihargai.
Kondisi demikian terus menerus dibiarkan. Seperti tidak ada kehendak dan langkah nyata untuk memperbaiki. Barangkali benar dari dulu hingga sekarang rakyat yang terpelajar adalah ancaman bagi orang-orang yang ingin berkuasa.
Lalu bagaimana agar rakyat bisa bangkit? Ketika persengkokolan penguasa, pengusaha, hukum dan aparat terlalu kuat, masihkah ada cara rakyat melawan?
Nyai Ontosoroh dan Minke menunjukkan bahwa saat rakyat merasa sudah tidak punya kekuatan untuk melawan, masih ada satu yang dimiliki, yakni mulut untuk bicara. Maksudnya “bicara” tidak hanya ucapan lisan, tapi juga tulisan. Itu sebabnya sahabat-sahabat Minke juga mendorong Minke untuk terus menulis.
Anak Semua Bangsa (dok.pribadi). |
Bicara dengan lisan dan tulisan adalah upaya melawan dan membela hak-hak. Seorang yang bicara dan menulis mungkin dianggap terlalu sedikit. Tapi ucapan dan tulisan dari seorang bisa didengar dan dibaca oleh seorang lainnya, lalu diikuti oleh seorang berikutnya, dan seterusnya hingga satu bangsa ikut mendengar dan membaca. Sekali suatu bangsa bangkit bicara dan menulis, kekuatannya tidak akan bisa dilawan lagi.
Komentar
Posting Komentar