Langsung ke konten utama

Timnas "Garuda Bule", Jangan Biarkan Seperti Annelies dan Elisa

Beberapa hari belakangan saya mencoba membaca ulang salah satu karya termasyhur Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Sudah lumayan lama sejak pertama kali membacanya beberapa tahun silam saat kuliah. 


Walau bukan koleksi favorit nomor satu, kisah Minke dan Annelies telah memberikan salah satu pengalaman membaca paling kaya dan mendalam bagi saya. 


Timnas Indonesia (foto: pssi.org).

Sejujurnya saya menyukai Bumi Manusia karena sosok Annelies. Itu sebabnya saya sangat antusias saat membaca sepertiga bagian awal cerita Bumi Manusia. Bukan berarti dua pertiga isi lainnya tidak mengesankan. Namun, pada sepertiga awal itulah sosok Annelies bisa dijumpai dengan penggambaran yang kuat dan hidup. 


Annelies lahir dari rahim seorang ibu yang pribumi. Berayahkan orang Eropa. Fakta bahwa ibunya, Nyai Ontosoroh, hanya seorang gundik tak membuat Annelies tumbuh sebagai gadis yang rendah diri. Keistimewaan sebagai keturunan Eropa melekat padanya. Didikan yang kuat dari Nyai Ontosoroh menjadikan Annelies yang meskipun nampak kekanak-kanakkan dan jarang bergaul, tapi memiliki keteguhan dan kepandaian tersendiri.


Tumbuh dalam dekapan kasih sayang seorang ibu pribumi membuat Annelies tak canggung berinteraksi dengan rakyat biasa. Sehari-hari ia menjadi pengawas bagi para pekerja pribumi. Annelies berusaha belajar bahasa Jawa meski sering tersiksa saat mempraktikkannya. Dalam beberapa kesempatan ia berdadan dengan kebaya meski sehari-hari mengenakan gaun.


Dibanding menempatkan diri sebagai orang Eropa atau indo, Annelies suka menganggap dirinya sebagai anak pribumi karena dilahirkan oleh wanita pribumi. Keyakinan itu semakin kuat ketika Minke hadir dalam hidupnya. Annelies segera menyukai dan menerima Minke yang seorang pribumi. Bagi Annelies, Minke akan menyempurnakan hidup dan jati dirinya. 


Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (dok. pribadi).

Memang takdir pada akhirnya memilihkan jalan tersendiri bagi Annelies. Walau demikian, upaya Annelies untuk meleburkan jati dirinya dalam pilihan-pilihan hidupnya bersama pribumi merupakan sketsa kehidupan yang istimewa.


Kisah Annelies dalam Bumi Manusia mengingatkan saya dengan romansa kehidupan Elisa, tokoh utama dalam Keberangkatan karya Nh. Dini.


Elisa seorang gadis keturunan Belanda yang memutuskan bertahan di Indonesia saat seluruh keluarganya kembali ke benua biru. Bagi Elisa, ia hanya mengenal Indonesia sebagai tanah airnya. Sebab ia lahir dan tumbuh di Indonesia. Udara yang menghidupinya merupakan udara Indonesia. Sebagaimana atap yang menaunginya adalah langit dari bumi Indonesia.


Walau lika-liku hidup sempat membukakan tabir tentang asal-usul orang tua kandungnya, Elisa tetap merasa sepenuhnya sebagai orang Indonesia. 


Elisa senantiasa menjalani hari sambil meneguhkan ke-Indonesiaannya. Bekerja sebagai pramugari, ia bergaul akrab dengan teman-temannya yang masih sering menganggapnya sebagai gadis indo. Berbagai hal tentang Indonesia ia hayati, seperti membaca buku tentang kebudayaan Jawa. Dalam bergaul, Elisa juga menuruti adab sopan santun ketimuran.


Pertemuannya dengan seorang pemuda Jawa mempertebal keyakinan Elisa tentang jati dirinya sebagai orang Indonesia. Saat sang pemuda pujaan hati melamarnya, Elisa merasa hidupnya sebagai orang Indonesia akan sempurna. Tidak lagi ia akan dipandang sebagai warga keturunan. Sebab ia akan menjadi istri seorang laki-laki Jawa. 


Namun, saat harapan dan keyakinan itu nampak makin nyata, Elisa dibuat patah hati yang amat dalam. Sang kekasih berkhianat dan menikahi wanita lain.


Elisa berusaha tabah menerima kepahitan hidup tersebut. Meski dipalu kecewa dan lara, perlahan ia bangkit menghadapi kenyataan. Pelajaran hidup telah dipetiknya. Kenangan itu disimpannya. 


Elisa melangkah kembali. Ia mengambil keputusan besar untuk menyusul keluarganya. Elisa meninggalkan Indonesia. Meninggalkan tanah air yang dicintai dan yang semula ingin ditinggali seumur hidupnya. 


Keberangkatan karya Nh. Dini (dok. pribadi).

Annelies dan Elisa, keduanya mempelihatkan bahwa pencarian tanah air dan peneguhan jati diri bagi seorang manusia seringkali merupakan perjalanan hidup yang bernestapa. Pengorbanan menjadi seorang Indonesia perlu ditempuh melalui aneka cobaan dan ujian yang bergulir seiring waktu. Meski ujung pencarian dan semua pengorbanan berupa ketidakpastian, cinta yang besar telah menorehkan nama Indonesia dalam hati mereka.


Kurang lebih seperti itu pula pencarian tanah air dan peneguhan jati diri yang terjadi pada sejumlah pemain keturunan dalam tubuh timnas sepakbola Indonesia. Walau sebagian dari mereka mengaku bahwa memilih Indonesia bukan sesuatu yang sulit, pada dasarnya kita tidak pernah tahu dan merasakan yang sebenarnya dalam perjalanan mereka menemukan tanah air Indonesia.


Beberapa dari mereka memang memiliki ayah atau ibu orang Indonesia. Ada pula yang berkakek dan nenek orang Indonesia. Semua itu memudahkan proses administrasinya. Namun, perjalanan pencarian tanah air dan peneguhan jati diri yang terjadi dalam hati setiap pemain tersebut pasti tidak sama lajunya. Apalagi, sebagian dari mereka tidak  pernah menginjak Indonesia sebelumnya. Nama Indonesia hanya diwariskan lewat berita, cerita, obrolan, maupun foto lama dari album kenangan orang tua, kakek atau nenek. 


Tak dimungkiri bahwa banyak pemain keturunan tersebut ditumbuhkan dengan ajaran-ajaran warisan Indonesia. Mereka berasal dari rumah-rumah keluarga Eropa yang meja makannya masih sering menghidangkan nasi goreng, soto, atau lemper. 


Walau demikian Para pemain keturunan itu menemukan tanah air Indonesia melalui cara yang tidak sama. Peneguhan jati diri ke-Indonesiaan mereka lalui dalam bentuk pengalaman bating masing-masing. 


Berganti paspor bukan urusan sulit karena mereka difasiltasi pejabat dan didukung pemerintah. Namun, menemukan Indonesia dalam sanubari merupakan pergulatan hidup yang hanya bisa dirasai oleh mereka sendiri.


Dalam banyak hal, Annelies dan Elisa lebih mudah menemukan Indonesia sebagai tanah airnya karena bumi inilah yang mereka injak dan lihat pertama kali sejak membuka mata sebagai anak manusia. Peneguhan jati diri ke-Indonesiaan oleh Annelies dan Elisa, meski sama-sama berujung nestapa, tapi ditempuh dalam kedekatan fisik yang erat.


Berbeda dengan para pemain keturunan yang jarak mereka dengan Indonesia terpaut dua benua. Waktu yang memisahkan mereka dengan bumi Indonesia sejauh siang dan malam.


Oleh karenanya saat mereka bisa menemukan tanah airnya adalah Indonesia, hal tersebut merupakan satu kemenangan besar dalam hidup mereka. Menemukan dalam raga mereka ada jati diri dan jiwa sebagai orang Indonesia merupakan buah pencarian yang mereka pilih sendiri jalannya. 


Para pemain keturunan di timnas sepakbola Indonesia menyadari bahwa mereka masih perlu untuk terus meneguhkan jati diri ke-Indonesiaan dalam jiwa dan raga masing-masing. Nama Indonesia yang telah kuncup dan tumbuh dalam sanubari perlu selalu dirawat kesuburannya.


Oleh karena itu mereka selalu antusias ketika datang panggilan untuk membela timnas. Rasa cinta dan bahagia menjenguk tanah air Indonesia membuat mereka rela menempuh jarak siang dan malam antara dua benua. Pada saat itu mereka sesungguhnya tidak sekadar bertanding. Mereka pulang untuk menjenguk tanah air yang sebelumnya hanya mereka ketahui dari berita, cerita, dan foto kenangan orang tua. 


Berbicara dengan bahasa Indonesia butuh waktu bagi mereka. Membiasakan dengan hidangan lokal juga bukan perkara satu dua hari. Namun tidak dengan itu identitas Indonesia dibentuk. 


Bagi para pemain pemain keturunan, setiap menit pertandingan yang mereka jalani di atas lapangan merupakan peneguhan jati diri sebagai anak bangsa Indonesia. Setiap kali mengenakan seragam garuda, semakin yakin bahwa mereka telah menemukan tanah airnya.


Sayangnya, selalu ada yang memandang para pemain keturunan dengan tatapan benci. Mereka dicurigai hanya menjadikan Indonesia sebagai pelampiasan hobi menendang dan mengejar bola. 


Seolah tanah dan air ini hanya boleh dicintai oleh “pribumi”. Seakan garuda hanya boleh dirawat oleh anak kampung sendiri. Sedangkan mereka yang pulang sesekali itu tidak dianggap sebagai anak bangsa Indonesia. 


Mereka hanya “Garuda Bule”. Begitu kata seorang jurnalis senior dalam sebuah acara TV beberapa waktu lalu. Anak bangsa Indonesia dihakimi sebagai orang asing yang tak berhak membal tanah airnya sendiri.


Timnas "Garuda Bule"? (foto: pssi.org).

Jangan sampai nestapa Annelies dan Elisa terulang menimpa para “Garuda Bule”. Jangan membuat mereka patah hati karena jati dirinya sebagai orang Indonesia dianggap hanya “buatan”. 


Jangan membuat mereka patah hati, merasa terusir karena tak dikehendaki. Padahal, baru saja mereka menemukan tanah airnya, Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk