Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

Timnas "Garuda Bule", Jangan Biarkan Seperti Annelies dan Elisa

Beberapa hari belakangan saya mencoba membaca ulang salah satu karya termasyhur Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Sudah lumayan lama sejak pertama kali membacanya beberapa tahun silam saat kuliah.   Walau bukan koleksi favorit nomor satu, kisah Minke dan Annelies telah memberikan salah satu pengalaman membaca paling kaya dan mendalam bagi saya.   Timnas Indonesia (foto: pssi.org). Sejujurnya saya menyukai Bumi Manusia karena sosok Annelies. Itu sebabnya saya sangat antusias saat membaca sepertiga bagian awal cerita Bumi Manusia. Bukan berarti dua pertiga isi lainnya tidak mengesankan. Namun, pada sepertiga awal itulah sosok Annelies bisa dijumpai dengan penggambaran yang kuat dan hidup.   Annelies lahir dari rahim seorang ibu yang pribumi. Berayahkan orang Eropa. Fakta bahwa ibunya, Nyai Ontosoroh, hanya seorang gundik tak membuat Annelies tumbuh sebagai gadis yang rendah diri. Keistimewaan sebagai keturunan Eropa melekat padanya. Didikan yang kuat dari Nyai Ontosoroh menjadikan Ann

Mengatasi Doktrin Film G30S-PKI, Mengatasi Ketidaktahuan Sejarah

Terjadi setiap tahun. Menjelang, saat maupun setelah 30 September tiba. Ramai orang membincangkan film pemberontakan PKI atau G30S-PKI. Masih sering pula film tersebut digunakan sebagai media propaganda untuk mendegradasi sosok tertentu sambil mengagungkan sosok lain.   Sastra dan non-sastra seputar sejarah September 1965 (dok.pribadi). Meski setelah orde baru runtuh dan terungkap fakta-fakta yang meluruskan sejarah G30S-PKI, pandangan sebagian masyarakat seolah tak beranjak dari narasi yang disodorkan dalam film itu. Pengetahuan publik tentang peristiwa PKI tahun 1965 terpaku seputar penculikan serta pembunuhan para jenderal, usaha mengganti Pancasila, dan kepahlawanan Soeharto sebagai penumpas PKI.   Peristiwa G30S-PKI memang nyata sebagai salah satu tragedi terkelam dalam sejarah Indonesia. Namun, pengetahuan masyarakat seolah berhenti pada jalan cerita filmnya. Terbatasnya wawasan sebagian masyarakat Indonesia mengenai peristiwa 1965 disebabkan karena selama puluhan tahun film G30S

Raja Jawa dan Kekuatan Tanah Kuburan

Membaca beberapa karya sastra dan mengingat lagi sejumlah novel sejarah yang pernah dibaca, membuat saya tidak terlalu terkejut dengan geger politik dan demokrasi di Indonesia hari ini. Memang dinamika politik melaju dengan cara dan kecepatan yang mengejutkan. Namun, mengikuti pola atau intrik penyalahgunaan kekuasaan dan penghancuran demokrasi, rasanya seperti sedang membaca ulang tulisan-tulisan para pujangga dan sastrawan.   Presiden Jokowi berbusana Raja Keraton Surakarta (shutterstock.com via kompas.com) P ara pujangga sastra dan penulis sejarah telah sejak lama menaruh perhatian. Seolah sedang memperingatkan, karya-karya mereka mengungkap wawasan seputar pola dan perilaku kekuasaan.   Para pujangga, penulis novel, maupun kritikus sejarah itu tidak membual. Meski karya mereka berupa fiksi sejarah, isinya bukan khayalan. Mereka berpikir dan menulis berdasarkan perenungan, pengamatan, pengalaman, serta penelitian. Itu sebabnya karya-karya mereka abadi. Buah pemikiran mereka kembali

Roman yang Merawat Ingatan, Sastra yang Membangkitkan Pengorbanan untuk Bangsa

Sudah 79 tahun Indonesia merdeka. Kembali upacara peringatan HUT RI digelar. Syukuran dan renungan pada 16 Agustus malam masih diadakan. Aneka lomba meriah di mana-mana sepanjang bulan. Pekik “merdeka!” diteriakkan bersahut-sahutan di sepanjang jalan saat karnaval. Roman-roman perjuangan, merawat ingatan sejarah (dok.pribadi). Namun, semua perayaan tahunan itu seringkali konteksnya selesai ketika upacara ditutup, lomba diakhiri, dan syukuran disudahi. Setelah itu seolah “kewajiban” kita selesai. Seakan merawat warisan para pejuang dan pendiri bangsa telah tuntas ditunaikan. Sementara kenyataan lain dalam kehidupan menunjukkan terus pudarnya ingatan bangsa ini pada pengorbanan pejuang dan bagaimana kemerdekaan itu direbut serta dipertahankan. Banyak generasi muda yang tak mengenali siapa Soekarno, Hatta, Jenderal Sudirman dan sebagainya. Tidak sedikit pula yang merasa tidak perlu untuk mengetahui dengan cara apa dan bagaimana merah putih akhirnya bisa dikibarkan. Ingatan kita  terlalu p