Buku bekas bukan barang sembarangan. Setiap mendapat buku bekas dan lawas, saya menanti penuh penasaran. Warisan kenangan apa yang akan saya dapatkan?
"Pada Sebuah Kapal" karya Nh. Dini. Buku lawas ini sudah berumur hampir 50 tahun (dok.pribadi). |
Saya sedang sangat senang memandangi sebuah buku. Hanya memandangi tanpa membaca isinya. Sebab cerita di dalamnya sudah lama saya lahap. Meski dari cover yang berbeda, tapi sama judulnya.
Buku yang saya maksud ialah Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini yang merupakan edisi klasik. Yakni yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun 1973-1979.
Sudah tentu kenampakkannya penuh dengan kelawasan. Cover, kertas halaman, dan cetakan-cetakan di atasnya bernuansa jadul. Ilustrasi covernya unik sekali. Seperti goresan cat air yang membentuk wujud tertentu serupa wanita dan layar sebuah kapal.
Aroma kertasnya menyengat seolah telah memerangkap banyak debu, udara dan kelembaban yang melingkunginya selama 50 tahun. Sedangkan pada jilid yang menyatukan lembaran-lembaran kertasnya dijumpai untaian benang halus. Pertanda bahwa buku ini tidak hanya direkatkan dengan lem, tapi dijalin pula dengan jelujur-jelujur sederhana.
Saya mendapatkan buku ini secara tak sengaja pada Juni lalu dari seorang penjual buku bekas di Malang. Itu menjadi salah satu hari keberuntungan saya. Mendapatkan buku klasik berusia puluhan tahun, bercover lawas, dari penulis favorit dan dengan harga yang lebih menonjolkan kebaikan hati sang penjual. Tanpa saya tawar si penjual mempersilakan saya mengambilnya dengan ganti uang yang cuma seharga semangkuk bakso. Apalagi namanya kalau bukan keberuntungan atau rezeki?
Stempel dan tulisan pada buku lawas warisan perpustakaan sekolah/kampus (dok.pribadi). |
Dan memang inilah yang membuat saya senang membeli buku bekas. Selain harganya murah, saya bisa ikut andil kecil dalam langkah mengurangi sampah.
Membeli buku bekas dan lawas juga kerap mempertemukan saya pada pecinta dan kolektor buku yang ketelatenannya merawat buku membuat saya kagum. Beberapa kali saya dapatkan buku-buku berusia puluhan tahun yang masih baik kondisinya. Utuh halamannya meski kekurangan di sana-sini seperti sampul dan jilid yang melapuk tidak bisa dicegah.
Memilih buku bekas menuntun saya pada pertemuan-pertemuan tak terduga di mana buku-buku lawas dan langka itu seolah sedang menanti untuk ditemukan oleh pemilik barunya. Ambil contoh Pada Sebuah Kapal yang saya ceritakan di atas. Edisi lawas buku tersebutsudah tidak diterbitkan lagi. Mencarinya pun tidak mudah. Pecinta Nh. Dini yang memilikinya kemungkinan besar tidak akan melepasnya begitu saja meski ada yang datang menawarnya.
Oleh karenanya, meski Pada Sebuah Kapal telah diterbitkan ulang untuk kesekian kalinya pada Februari 2023, saya belum tertarik untuk membelinya. Sebab saya sudah terlanjur bahagia dengan memiliki dua edisi klasiknya.
Lain dari itu semua, ada satu alasan lagi mengapa saya senang jika mendapatkan buku bekas. Asalkan kondisinya masih relatif baik dan bisa saya maklumi, buku bekas dan lawas punya nilai khusus yang asyik untuk dinikmati. Yakni, kenangan-kenangan yang terabadikan di dalamnya.
Begitu sering saya membeli buku bekas dan lawas lalu menemui coretan-coretan di cover maupun halamannya. Entah coretan itu berasal dari pensil, bolpoin, atau spidol, saya tidak serta merta ingin menghapus atau menutupi coretan-coretan itu.
Jenis coretan tertentu akan saya hapus atau samarkan. Namun, banyak pula coretan yang saya biarkan menghiasi buku-buku itu. Sebab dari coretan-coretan tersebut saya mendapat warisan kenangan.
Puluhan tahun usia buku memungkinkannya dibaca oleh banyak orang. Dimiliki secara bergantian dari pemilik pertama lalu berpindah tangan ke pemilik-pemilik berikutnya melalui jual beli, barter, peminjaman, atau bahkan warisan.
Buku bekas dan kenangan dari pembaca dan pemilik lawas (dok.pribadi). |
Saya senang membayangkan bagaimana sebuah buku bekas dan lawas menempuhi takdirnya. Misal, ketika saya dapati coretan nama dan tanda tangan orang tertentu yang dibubuhi tanggal, itu saya nikmati sebagai gerbang menuju lorong waktu. Saya bayangkan betapa bahagianya orang itu pada masa dahulu ketika berhasil memiliki buku tersebut sehingga antusias menuliskan nama dan tanda tangannya dengan rapi di sana. Kadang saya suka bertanya dalam hati: “orang ini bagaimana kabarnya sekarang?”.
Kemudian jika pada halaman yang berbeda dijumpai goresan nama lainnya, saya bayangkan bahwa nama itu merupakan pemilik berikutnya. Mungkin pemilik pertama telah menjualnya ke sebuah kios buku bekas. Kemudian buku itu berpindah tangan. Begitu seterusnya hingga pada setiap lembar halamannya tertinggal jejak jari jemari orang-orang terdahulu yang tidak saling kenal, tapi terhubungkan dengan satu buku yang sama.
Adanya kenangan yang terekam pada buku bekas dan lawas membuat saya semakin menikmati bacaan. Dengan kenangan itu, buku yang saya pegang tak sekadar kumpulan kertas berisi tulisan. Melainkan sebuah warisan yang diteruskan.
Beberapa buku bekas yang saya dapatkan membawa kenangan berupa cap perpustakaan sekolah atau universitas. Mudah untuk menebaknya bahwa buku itu dulunya merupakan penghuni rak bacaan sekolah. Dengan alasan tertentu, buku-buku itu dikeluarkan dari perpustakaan dan dijual. Setuju atau tidak dengan praktik pembersihan koleksi perpustakaan seperti ini, tetap ada sisi positifnya. Sebab daripada buku-buku dibakar, dirajang, atau dibiarkan lapuk dimakan kelembaban, lebih baik dipindahtangankan kepada orang yang masih mau merawat dan memilikinya.
Buku-buku lawas bekas perpustakaan hampir bisa dipastikan telah dijamah oleh banyak tangan. Apalagi jika bukunya merupakan bacaan wajib yang sering dijadikan sumber tugas dalam pelajaran-pelajaran.
Yang tertinggal di halaman belakang buku lawas (dok.pribadi). |
Layaknya buku perpustakaan sekolah, kadang kartu baca masih menempel di halaman belakang. Dari kartu itulah saya angan saya membayangkan kapan pertama kali buku itu dicatat sebagai inventaris perpustakaan, siapa yang pernah meminjamnya, kapan buku itu dipinjam dan dikembalikan.
Saya membayangkan demikian sebab dulu saya pun melakukan hal yang sama ketika bersekolah. Setiap mendapatkan tugas pelajaran yang mengharuskan saya meminjam buku di perpustakaan, salah satu yang tak boleh dilupakan ialah mengisi kartu baca sebagai bukti peminjaman dan pengembalian buku.
Nostalgia kenakalan waktu sekolah pun bangkit kembali dari buku bekas dan lawas. Menemukan coretan-coretan nama, saya bayangkan bahwa nama-nama itu merupakan kelompok belajar yang mendapatkan tugas untuk membaca buku yang sama. Satu buku diperuntukkan untuk beberapa murid.
Sungguh saya pun pernah menempuhi periode seperti itu dulu. Mencoreti buku perpustakaan dengan tulisan-tulisan random. Menggarisi kalimat-kalimat penting yang berisi sajak, majas, ungkapan, atau jawaban dari pertanyaan yang diberikan guru.
Hal-hal demikian membuat saya sering termenung lama ketika memegang buku bekas dan lawas. Sering saat sedang membaca pikiran saya berbelok pada kenangan yang tiba-tiba muncul dan mengajak saya berkelana jauh ke belakang. Saya menganggap itu bukan gangguan, justru selingan yang mengasyikkan.
Buku lawas dari Toko Buku Gramedia seharga Rp1750 (dok.pribadi). |
Sama mengasyikkannya ketika pada buku bekas yang lawas saya dapati label harga yang masih menempel. Ada buku dari tahun 1991 yang saya miliki berlabel harga Rp5500. Buku dari tahun yang lebih lawas berlabel harga Rp1750. Bahkan, buku-buku bertahun 1970-an saya dapatkan dengan label harga senilai ratusan rupiah.
Tentu untuk ukuran sekarang harga-harga tersebut tergolong rendah dan murah. Namun, berbeda ceritanya dengan puluhan tahun silam. Mari bayangkan untuk membeli sebuah buku seharga Rp1750, seseorang pada 1977 perlu menempuh prihatin dengan cara menyisihkan uang jajan seperti kita sekarang menyisihkan uang saku harian untuk menonton konser.
Mengingat zaman dulu, mengumpulkan uang Rp1750 boleh jadi lebih perlu usaha keras. Lalu saat uang telah terkumpul, orang itu berusaha pergi ke tempat buku-buku biasa dijual.
Harga buku tahun 1970-an (dok.pribadi).
Dulu buku tidak hanya dijual di toko-toko buku. Pedagang asongan di terminal bus dan kios-kios di sekitar stasiun kereta juga sering menjajakan buku-buku bacaan. Maka boleh jadi uang itu akhirnya dibelanjakan di terminal atau stasiun. Sebab tidak semua kota pada zaman dulu punya toko buku. Akan tetapi hampir semua kota punya terminal.
Romantika mengumpulkan uang dan membeli buku semacam itu sangat nikmat untuk dibayangkan. Oleh karenanya saya senang jika pada buku bekas dan lawas yang saya beli masih tertera label harga atau nama toko tempat buku tersebut bermula pada puluhan tahun lalu.
Tempelan itu tidak saya anggap sebagai kotoran yang perlu dihilangkan. Melainkan sebagai warisan kenangan dari masa lalu. Masa ketika saya belum lahir, tapi buku itu sudah menjadi karya yang dibaca banyak orang. Masa saat buku itu memulai perjalanan panjangnya melintasi waktu sampai akhirnya tiba di tangan saya.
Apa kabarnya Heru Prasetyo sekarang? (dok.pribadi). |
Pada sebuah buku bekas yang lawas saya bukan hanya bisa membaca. Tapi juga menikmati kenangannya. Kini setiap mendapatkan sebuah buku bekas dan lawas, saya antusias menanti warisan kenangan apa yang akan saya temukan di dalamnya.
Mungkin juga akan tiba giliran saya nanti untuk mewariskan kenangan lewat buku-buku itu.
Komentar
Posting Komentar