Minggu pagi (6/9/2020) sembari bersepeda saya sempatkan membagikan masker kepada sembarang orang yang di jalan. Tentu saja tidak semua yang tak bermasker saya hampiri. Semampunya saja karena tujuan bersepeda sambil melakukan
sesuatu mengingat masih banyak orang yang meremehkan pandemi Covid-19.
Membagikan masker kepada masyarakat (dok. pri). |
Di sepanjang rute yang saya tempuh pagi itu, beberapa kali saya berhenti untuk menghampiri pengayuh becak, petugas parkir, petugas kebersihan, hingga penjual makanan. Merekalah yang saat itu saya jumpai tidak menggunakan masker.
Kepada setiap orang yang saya berikan masker, tak lupa saya titipkan pesan agar selanjutnya mereka selalu menggunakan alat pelindung tersebut. “Pakai masker terus ya, Pak. Biar bapak tetap sehat jadi bisa terus jualan”.
Begitulah yang saya sampaikan kepada seorang penjual makanan. Saat menerima masker yang saya berikan ia berkata lupa maskernya tertinggal di rumah.
Begitupun saat saya menghampiri seorang penjual lainnya yang usianya jauh lebih muda. Sebelum saya sampai di gerobak tempatnya berjualan, ia sudah lebih dulu berjalan mendekat. Rupanya maksud saya telah ditebak olehnya. Mungkin karena melihat saya membawa masker di tangan. Ia pun langsung menggunakan masker yang saya berikan.
Bukan tanpa harapan kami membagikan masker sambil menitipkan pesan kepada beberapa orang pagi itu. Harapannya mereka akan lebih peduli pada diri sendiri. Selanjutnya mereka bisa menularkan kesadaran yang sama tentang pentingnya menggunakan masker ke orang-orang terdekat.
Bagi saya itu harapan yang wajar. Menggunakan masker semestinya bukan sesuatu yang rumit. Bermasker tidak membutuhkan pengorbanan luar biasa dari pemakainya. Semudah mencantolkan tali ke telinga.
Namun, harapan tersebut ternyata tidak selaras dengan apa yang tampak keesokan hari dan hari-hari berikutnya. Saya melihat lagi dua penjual itu dengan kondisi tanpa masker. Entah apa alasan mereka kali ini. Apakah jika saya menanyakan alasannya mereka akan menjawab lagi dengan “ketinggalan di rumah”?
Tak pasti pula apakah beberapa orang lainnya yang pada Minggu pagi kami berikan masker akhirnya menjadi lebih disiplin atau kembali menjadi orang-orang bandel yang “lupa” menggunakan masker.
Realitas-realitas di atas membuat kepala saya dijejali banyak pertanyaan yang sulit terjawab. Apa sulitnya menggunakan masker? Adakah kerugian besar yang ditanggung seseorang dengan menutup mulut dan hidungnya demi keselamatan bersama? Begitu beratkah beban untuk mencantolkan tali masker ke telinga sampai membuat orang berulang kali lupa dan memilih meninggalkan masker mereka di rumah? Bagaimana pula sebenarnya masyarakat kita memandang masker di tengah pandemi Covid-19?
Tentang kegunaan masker sudah sangat banyak penjelasannya. Rasanya hampir semua orang sudah tahu melalui siaran TV, radio, spanduk, serta lewat omongan dari mulut ke mulut. Enam bulan lamanya gelontoran kalimat himbauan dan anjuran untuk menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan bertebaran di tengah masyarakat. Rasanya tak mungkin jika itu tak terserap ke dalam benak masyarakat.
Semestinya hari ini tak ada lagi alasan untuk tak menggunakan masker. Dulu saat masker bedah langka dan harganya melonjak gila-gilaan, orang wajar menjadikannya sebagai alasan untuk sulit menggunakan masker. Begitupula pada masa awal sosialisasi penggunakan masker kain sebagai pengganti masker bedah, tidak semua orang langsung bisa mendapatkannya.
Sekarang saat masker bedah sudah mudah didapatkan dengan harga terjangkau, masker kain gampang diperoleh, dan pembagian masker gratis banyak dilakukan oleh sejumlah pihak, alasan apalagi yang membuat orang enggan untuk menggunakan masker?
Tampaknya “kultur keselamatan” yang belum terbangun secara benar menjadi sebab banyak masyarakat abai dengan penggunaan masker. Dengan kata lain masalah utamanya bukan ada atau tidak masker serta mahal atau murahnya harga masker. Melainkan pada sikap dan mental masyarakat yang kultur keselamatannya bersifat reaktif.
Kultur keselamatan yang hanya bersifat reaktif membuat masyarakat kurang menganggap penting makna pencegahan. Tindakan mencegah dianggap merepotkan karena seringkali harus membuat orang melakukan sesuatu di luar kebiasaan, pengalaman, dan keyakinannya.
Ini terasa dalam konteks masker. Bagi banyak orang masker adalah hal yang sangat baru. Belum ada pengalaman hidup mereka yang memberitahu bahwa masker bisa menyelamatkan nyawa.
Pengalaman hidup sangat penting karena menjadi sumber dorongan internal. Jika dorongan internalnya kuat, kesadaran untuk menggunakan masker akan mudah terbentuk karena motivasinya berasal dari dalam diri sendiri.
Kini orang-orang yang selama hidupnya tak pernah menjadikan masker sebagai bagian dari kebiasaan tiba-tiba diharuskan untuk menggunakannya. Banyak orang kemudian menggunakan masker hanya karena ingin terlihat patuh pada aturan. Itu pun jika aturannya ditegakkan.
Adanya aturan memang bisa merekayasa kesadaran suatu masyarakat. Semakin merata dan tinggi tingkat pengetahuan masyarakat, target aturan bisa lebih mudah dicapai.
Masalahnya masyarakat Indonesia sangat bervariasi. Pada setiap level masyarakat pemahaman tentang masker bisa berbeda-beda. Sebagian masyarakat sulit memahami bahwa masker adalah “obat Covid-19 yang sebenarnya”. Bagaimana mungkin sepotong kain bisa menyelamatkan nyawa?
Itu sebabnya meski himbauan dan informasi tentang protokol kesehatan telah dijelaskan selama setengah tahun, target perilaku sadar masker masih lamban terbentuk. Ditambah ketiadaan pengalaman hidup karena informasi dan pengetahuan deskriptif saja tidak cukup tanpa pengalaman yang menyertai.
Konsekuensinya ialah meningkatkan stimulus baik secara kuantitas maupun kualitas. Masyarakat harus terus menerus didorong untuk menggunakan masker. Berbagai cara perlu ditempuh agar masyarakat mau menggunakan masker. Salah satunya dengan membagikan masker.
Namun, cara demikian membutuhkan waktu yang lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Oleh karena itu, kualitas stimulus juga perlu ditingkatkan untuk mempercepat injeksi kesadaran.
Caranya dengan melakukan intervensi aturan secara tegas dan berulang-ulang. Bukan saatnya lagi memberi hukuman yang hanya berupa gimmick menyanyikan lagu, menggunakan rompi dan membuat surat pernyataan.
Selama ini kata “humanis” cenderung direpresentasikan sebagai toleransi terhadap pelanggaran lewat penegakan aturan yang lemah. Padahal, dalam kerangka kultur keselamatan di tengah pandemi, “humanis” mestinya dikembalikan pada esensi utamanya yaitu memperjuangkan kepentingan sesama umat manusia untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.
Memastikan setiap orang menggunakan masker merupakan representasi dari sikap humanis yang sebenarnya karena dengan masker orang bukan saja melindungi kesehatannya sendiri, tapi juga sedang berjuang menyelamatkan hidup orang lain.
Komentar
Posting Komentar