-Orang Indonesia sangat mahir dalam membuat dekorasi pernikahan ala Kayangan. Dibanding China, dunia fashion di Indonesia lebih maju. Sedangkan di Jakarta sering sekali terjadi demonstrasi dan banyak massa sewaan-
Itulah sebagian kesan pertama yang ditangkap oleh Yunyun Dou, seorang wartawan dan reporter China Central Television (CCTV) saat menjejak Jakarta untuk memulai tugasnya di Indonesia. Ia merupakan jurnalis CCTV pertama yang ditugaskan di Indonesia sejak 2010 hingga 2015.
Kesan tersebut serta pengalaman-pengalaman tak terlupakan yang dirasakannya saat bertugas di Indonesia ada dalam buku berjudul “Indonesia Wo Ai Ni”. Awalnya buku ini ditulis dalam bahasa Mandarin karena ditujukan untuk masyarakat negeri tirai bambu. Dengan bantuan sejumlah pihak, catatan-catatan tersebut disusun ulang hingga tersaji versi Bahasa Indonesia.
Perjalanan meliput berita ke banyak daerah di Indonesia membuat Yunyun Dou takjub pada negeri ini. Ia membuktikan bahwa Indonesia tidak semuram dan selusuh seperti yang sering diberitakan oleh media-media di China. Pemberitaan mengenai Indonesia di negaranya didominasi soal bencana alam, terutama gempa bumi, tsunami dan gunung meletus. Selama di Indonesia ia pun beberapa kali meliput kejadian bencana. Namun, Indonesia ternyata jauh lebih menarik.
Di mata Yunyun Dou Indonesia memiliki banyak sisi wajah yang positif untuk disampaikan kepada dunia selain kejadian bencana. Buku ini sendiri ditulis sebagai bagian dari keinginan membagikan laporan pandangan matanya tentang keistimewaan dan keindahan Indonesia kepada masyarakat luar, terutama kepada warga China.
Blusukan
Bertugas di negara kepulauan yang besar membuat Yunyun Dou harus “blusukan” saat meliput kejadian. Tak hanya menjejak Jakarta, ia juga mendatangi Aceh hingga Papua.
Dari perjalanannya menjelajah Indonesia, mengamati serta berinteraksi dengan masyarakat dan sejumlah pejabat di Indonesia, Yunyun Dou menangkap banyak kesan tentang Indonesia. Saat tiba di Jakarta ia segera terkesan dengan keramahan orang Indonesia yang mudah tersenyum.
Di hotel tempatnya menginap ia selalu dilayani dengan baik dan hangat oleh para pegawai hotel meski ia tidak memberi uang tip. Padahal, sebelum berangkat ia mendengar bahwa Indonesia adalah “negara tip”. Memang di kemudian hari ia menjumpai kebiasaan memberi uang di daerah-daerah tertentu. Pemberian itu ia sebut sebagai uang untuk melewati “barikade”.
Keramahan orang Indonesia semakin terasa saat Idulfitri yang disebutnya sebagai pentas keramahan skala nasional. Tradisi open house dan menjamu para tamu yang dilakukan masyarakat negeri ini sangat berkesan baginya.
Orang Indonesia sangat “lentur” dalam hal waktu seolah sangat menikmati hidup. Di matanya orang Indonesia termasuk yang paling bahagia dan tabah di dunia. Padahal tidak sedikit kesulitan yang harus dihadapi.
Di Jakarta Yunyun Dou merasakan pengalaman dikepung banjir sampai mobilnya tidak bisa bergerak sama sekali. Ia juga pernah tertahan semalaman dalam kemacetan parah. Menariknya saat membuat berita tentang kemacetan tersebut, Kedutaan Besar China di Jakarta meneleponnya dan memberi tahu bahwa kemacetan di Jakarta bukanlah berita yang istimewa.
Meski diupah rendah, para pekerja di Indonesia tetap bisa bekerja sesuai standar. Namun, ia juga menemukan tingginya tekanan hidup di kota metropolitan Jakarta. Ia meliput dan mengikuti seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan swalayan. Wanita itu tinggal di kawasan kumuh yang didiami oleh banyak pengemis. Sore hari setelah bekerja di swalayan, wanita itu ikut mengemis demi bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Realitas tersebut sangat kontras dengan kebiasaan dan perilaku orang-orang kaya di Jakarta. Yunyun Dou sering menjumpai pesta pernikahan super megah bergaya Barat digelar di hotel-hotel berbintang. Ia pun bisa menandai adanya pesta pernikahan orang kaya di Jakarta melalui deretan karangan bunga dan area parkir hotel yang penuh dengan mobil-mobil mewah.
Jika Jakarta merupakan kota metropolitan yang besar, maka Surabaya bagi Yunyun Dou adalah kota modern yang terus bergerak maju dengan tingkat pendidikan warganya yang tinggi. Dibanding Jakarta, Surabaya lebih arif dalam mengembangkan kotanya. Masih banyak bangunan bersejarah yang dirawat dengan baik di Surabaya. Banyak pula taman dan pepohonan yang membuat wajah Surabaya memiliki kemiripan dengan Singapura.
Yunyun Dou sangat terkesan dengan kuatnya akulturasi budaya China dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat berkunjung ke Semarang dan Solo. Beberapa kali ia menjumpai tradisi-tradisi yang sudah langka di negeri China justru masih dijalankan oleh masyarakat Tionghoa peranakan di Indonesia.
Pengalaman itu ditambah pengalaman-pengalaman lain seperti mengikuti kemeriahan Imlek di Indonesia memberi Yunyun Dou sebuah jawaban penting tentang stigma mengenai Indonesia. Banyak orang di China menganggap Indonesia adalah negara yang anti-China. Pandangan itu dilatarbelakangi fakta sejarah bahwa pada masa orde baru rezim Soeharto melarang segala bentuk ekspresi kebudayaan China di Indonesia. Namun, kondisi Indonesia saat ini sudah berubah.
Budaya Indonesia tidak hanya beragam, tapi juga sangat unik. Di Sumatera Barat ia menjumpai bahwa kebudayaan Minang memiliki kemiripan dengan kebudayaan salah satu suku di Yunnan, China. Sementara Bali mampu mempertahankan nilai-nilai Hindu dan budayanya yang sangat menonjol meski terus menerus dibanjiri orang dari banyak negara.
Belasan kali berkunjung ke Bali untuk meliput forum ASEAN, APEC, dan sebagainya membuka mata Yunyun Dou betapa mahirnya Indonesia dalam menyelenggarakan acara-acara bertaraf internasional. Di Bali ia melihat peran penting Indonesia di panggung dunia semakin strategis dan diakui.
Bertahun-tahun tinggal di Indonesia telah memberi kesempatan Yunyun Dou menjelajahi alam khatulistiwa. Gunung-gunung membuatnya takjub karena pengalaman pertama melihat gunung dari dekat didapatnya di negeri ini.
Saat berkunjung ke tempat terpencil Tambling ia mengamati langsung kawasan penyelamatan Harimau Sumatera. Sementara di Pulau Komodo, ia melakukan perjalanan penuh kewaspadaan demi bisa melihat kadal karnivora berdarah dingin. Tugas meliput berita juga mengantar Yunyun Dou sampai ke pedalaman Papua. Akan tetapi untuk bisa mengambil foto dan video di Papua, suku-suku lokal memintanya membayar sejumlah uang yang tidak sedikit.
Jokowi Bintang Politik Baru
Selain kesan tentang masyarakat, budaya dan alam Indonesia yang sangat indah, Yunyun Dou juga mengamati sosok Presiden Joko Widodo. Ia menyebut Jokowi sebagai “bintang politik” baru Indonesia.
Gaya kepemimpinan Jokowi sangat menarik karena menampilkan keseimbangan Jawa yang elegan. Dalam diri Jokowi terlihat keramahan yang terjaga serta terpancar kecerdasan dan kerja keras seorang pemimpin. Menurut Yunyun Dou Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi telah menjelma sebagai seorang gadis mempesona yang membuat banyak pihak tertarik.
Dalam melaksanakan pemikirannya Jokowi sering bermain halus. Gaya ini dibawanya ke dalam level pergaulan internasional. Salah satu yang dicatat oleh Yunyun Dou adalah tentang keputusan Pemerintah Indonesia soal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Jokowi berlaku cerdik dan bijak saat memutuskan menerima penawaran China tanpa membuat Jepang tersinggung. Sebelum keputusan diambil, Pemerintah Indonesia meminta China dan Jepang untuk memperbaiki penawaran dan meningkatkan standar. Strategi “mengulur waktu" ini memberi kesempatan kepada Jokowi untuk menangani tekanan sekaligus berdiskusi dengan banyak pihak.
***
Sebagai seorang jurnalis Yunyun Dou menulis buku ini dengan gaya bertutur yang mengalir, lugas dan menarik. Membaca buku ini seperti sedang mendengarkannya bercerita secara langsung. Beberapa cerita seperti kisah perjalanan seorang pelancong. Padahal, pengalaman-pengalaman itu merupakan bagian dari tugas profesionalnya saat berburu berita.
Dari cerita-ceritanya tergambar kejujuran Yunyun Dou tanpa kepura-puraan tentang Indonesia. Perasaannya yang mendalam terhadap Indonesia tertuang dalam buku ini.
Terlihat pula kegigihan dan keteguhannya dalam menjalankan tugas meliput berita ke daerah-daerah dengan melewati berbagai kesulitan dan rintangan. Ini membuktikan bahwa Yunyun Dou adalah seorang profesional yang bekerja dengan sepenuh hati. Keteguhan hatinya menjalankan tugas akhirnya membuatnya jatuh cinta pada Indonesia.
Keistimewaan lain buku ini adalah salah satu kata pengantarnya yang ditulis oleh Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi juga menerima versi pertama buku ini secara langsung di Istana Bogor.
Meski demikian, tidak berarti buku ini tanpa kekurangan. Terasa mengganjal saat membaca cerita tentang Yogyakarta yang terkesan disajikan ala kadarnya. Cerita tersebut menjadi yang paling singkat di antara cerita-cerita lain dalam buku ini. Yunyun Dou hanya menuliskan sedikit tentang Yogyakarta dan pengalamannya meliput erupsi Gunung Merapi.
Tidak ada yang istimewa dengan cerita pengalamannya saat mengunjungi Yogyakarta. Padahal, ia mengaku Yogyakarta adalah tempat yang istimema baginya karena pencarian sebagian jati dirinya terjadi di Yogyakarta. Sayang sekali hal itu tidak terungkap dalam buku ini. Di sisi lain ia terlalu banyak membahas tentang APEC, WTO, dan ASEAN saat mengisahkan tentang Bali.
Namun, kekurangan-kekurangan tersebut tidak mengurangi sisi menarik buku ini. Di tengah langkanya referensi tentang Indonesia masa kini yang ditulis oleh orang China, kehadiran buku “Indonesia Wo Ai Ni” amat berharga. Seperti kata Presiden Joko Widodo dalam kata pengantarnya, buku ini perlu disambut dengan gembira.
Komentar
Posting Komentar