Jam masih menunjukkan pukul 05.30 ketika saya memasuki Pasar Klojen Malang. Saat itu hanya ada sedikit lapak penjual yang sudah buka. Aneh memang pasar tradisional yang umumnya ramai di pagi hari justru terlihat sepi.
Namun, begitulah keadaan Pasar Klojen sekarang. Banyak penjualnya telah pindah ke pasar-pasar lain, sementara warga Malang yang berbelanja di sana sudah surut jumlahnya sejak lama. Bisa dikatakan hanya penjual dan pembeli yang saling setia yang sekarang masih menjejakkan kakinya di Pasar Klojen.
Salah satu penjual yang setia bertahan di Pasat Klojen adalah seorang penjual pecel bernama Bu Sri. Kedatangan saya pagi itu juga untuk bertemu dengannya sambil menyantap pecel racikannya.
Ketika saya datang Bu Sri masih sibuk menyiapkan bahan untuk menyajikan pecel. Ia tampak cekatan menata wadah-wadah di atas meja kayu. Wadah-wadah itu berisi antara lain sayuran, bumbu pecel, dan aneka lauk yang mengundang selera.
Tempat Bu Sri berjualan hanya berupa lapak sederhana di dekat pintu masuk pasar. Setiap pengunjung yang memasuki Pasar Klojen pasti dengan mudah menemukannya di dalam pasar.
Datang pagi-pagi sekali membuat saya menjadi pembeli pertama Bu Sri. Ia pun antusias ketika mengetahui saya baru datang dan sengaja mampir ke tempatnya untuk sarapan.
Pecel Bu Sri istimewa karena disajikan dengan pincuk daun pisang. Isiannya terdiri dari nasi putih, daun singkong, daun pepaya, tauge, daun kemangi, mentimun, rempeyek, dan mendol, yaitu sejenis olahan kedelai mirip tempe. Semuanya lalu disiram dengan bumbu pecel yang gurih.
Bu Sri menyediakan tiga bumbu pecel yang berbeda untuk menyesuaikan selera pembeli. Ada bumbu pedas, sedang, dan tidak pedas. Semua bumbu itu dibuatnya sendiri. Ia juga menyediakan stock bumbu pecel yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh. Sementara sebagai teman menyantap pecel, tersedia lauk tempe goreng, bakwan jagung, sate daging, peyek ikan, peyek udang, gendar, kerupuk, dan lain sebagainya. Sebagai penyuka pecel saya lahap menyantap Pecel Bu Sri ini.
Ada hal menarik saat menikmati Pecel Bu Sri. Di antara sekian banyak lauk yang disediakan, Bu Sri tidak menyediakan telur. Padahal, umumnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta pecel disantap dengan tambahan telur ceplok atau telur dadar. Tentang hal ini Bu Sri punya alasan sendiri. Menurutnya selain pecel bukan makanan khas Malang, pembeli juga lebih suka menikmati pecel buatannya dengan lauk mendol dan bakwan jagung. “Orang juga takut kolesterol kalau makan telur terus”, candanya.
Bu Sri sudah lebih dari 40 tahun menjalani hidupnya dengan berjualan pecel. Bahkan, sebenarnya lebih lama dari itu karena sejak duduk di bangku SD pun ia sudah membantu ibunya berjualan pecel.
Kesetiaan Bu Sri tidak hanya ditunjukkan dengan tetap menjajakan pecel warisan. Ia juga bertahan di Pasar Klojen meski pasar tersebut semakin sepi. “Ibu saya dulu berjualan di pasar ini, jadi saya mengikuti”, katanya.
Selain itu, Bu Sri masih menggunakan anglo dan arang untuk memasak bahan-bahan pecelnya. Jenis atau macam sayuran pun ia pertahankan seperti yang dulu meski saat ini sebenarnya ia bisa mendapatkan sayuran yang lebih beragam. Menurutnya semua itu adalah resep atau “pakem” dari pecel yang diwariskan oleh ibunya.
Barangkali itulah yang membuat Pecel Bu Sri mampu merengkuh banyak penikmat dari beragam kalangan. Mulai dari warga Malang sendiri, wisatawan, mahasiswa, hingga pejabat pemerintahan daerah, baik tingkat kota/kabupaten maupun provinsi. Beberapa kali ia diminta menyediakan pecel untuk acara atau hajatan pejabat di Malang dan Surabaya. Bu Sri juga pernah mendapat pesanan bumbu pecel untuk dibawa ke luar negeri, seperti Belanda dan Arab Saudi.
Walau pasar tempatnya berjualan tidak lagi seramai dulu, tapi ibu dua anak ini bersyukur karena setiap hari pecelnya dicari pembeli. Ia mulai berjualan pukul 06.00 dan biasanya sudah habis pada pukul 11.00. Itu artinya tetap banyak orang yang menyukai pecel buatannya.
Pelanggan-pelanggan lama Pecel Bu Sri juga masih menjadi pembeli setianya hingga kini. Sementara orang yang pernah tinggal di Malang dan sudah pindah ke daerah lain, saat kembali sekali waktu pasti menyempatkan diri untuk mampir menikmati pecelnya lagi. “Mereka (pelanggan) masih ingat, tapi saya yang lupa karena wajahnya beda waktu kecil dan besar”, ujarnya sambil tertawa.
Meskipun demikian, Bu Sri tidak pernah merasa pecel buatannya adalah yang terbaik dibanding racikan penjual-penjual pecel lainnya. Ia menganggap rezeki setiap orang adalah ketentuan yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Sebagai manusia ia hanya berusaha melakukan apapun dengan sepenuh hati, termasuk dalam berjualan pecel.
Selama ini Bu Sri juga tak pernah “ngoyo” mengejar keuntungan atau kesuksesan yang besar. Ia mensyukuri apa yang telah didapatkannya dari berjualan pecel selama ini. Mengenai pasar tempatnya berjualan yang semakin sepi, Bu Sri memiliki pandangan yang bijak. Menurutnya dulu saat ia berjuang keras membangun kehidupan dan membiayai anak-anak sekolah, Tuhan memberikan kemudahan berupa pasar yang ramai dan pembeli yang banyak. Sekarang pasar memang sepi, tapi hidupnya telah berkecukupan. Baginya itu berarti Tuhan Maha Adil. “Sekarang saya tinggal menikmati. Apapun saya syukuri”, tegasnya.
Bu Sri yang ramah dan akrab membuat saya terlambat menyadari kalau sudah satu setengah jam saya bersamanya di dalam pasar. Saat hendak membayar dan berpamitan, Bu Sri sempat menolak uang yang saya sodorkan. Katanya ia merasa senang bertemu saya dan menemani paginya dengan bercerita. Namun, saya tetap ingin membayar karena pecelnya sangat enak. Wanita itu akhirnya tidak keberatan dan mengatakan bahwa saya cukup membayar separuh harga saja.
Komentar
Posting Komentar