Langsung ke konten utama

Kisah Nestapa Membeli Buku di Gramedia.com

Sebagai penikmat buku saya selalu menyambut gembira setiap kali datang kesempatan mendapatkan buku bermutu. Oleh karena itu, saat Gramedia.com membuka kran penjualan buku dengan diskon 50% dalam rangka Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada 12 Desember 2017 lalu, tanpa banyak pertimbangan saya langsung mengikutinya. Apalagi, gairah dan mood membaca saya sedang bagus. Pada 2017 saja buku yang saya beli sekitar 70 buah di mana 55 di antaranya untuk saya baca sendiri sedangkan sisanya saya hadiahkan kepada keponakan, teman, dan juga disumbangkan. Jumlah buku yang saya beli dan saya baca pada 2017 tersebut melonjak drastis dibanding tahun 2016 di mana saya hanya membaca sekitar 5 buku saja.


Menyadari akan berlomba-lomba dengan banyak penikmat buku lainnya yang mengincar Harbolnas Gramedia.com, maka sejak 11 Desember saya sudah mulai membuat daftar buku yang ingin dibeli dan memeriksa ketersediaanya di halaman Gramedia.com. 

Kemudian pagi hari 12 Desember setelah subuh saya segera melakukan pemesanan melalui Gramedia.com. Dari sederet buku yang ingin dibeli akhirnya hanya 10 judul yang terpilih. 

Singkat cerita akhirnya saya berhasil memesan 10 judul buku, yaitu: Kiai Kantong Bolong, Ngaji Toleransi, Empat Pengawal Uang Rakyat, Gus Dur Untold Stories, Sisi Lain Istana 3-Sarung Jokowi dan Wak Wak Wak, Buku Saku Tempo: Hatta, Buku Saku Tempo: Wiji Thukul, Lukisan Kaligrafi (Edisi Baru), Asal-Usul & Sejarah Orang Jawa, dan Tanah Air yang Hilang. 


Singkat cerita pesanan saya diterima oleh Gramedia.com dan pada hari itu juga statusnya disiapkan. Bayangan akan mendapatkan buku-buku bagus sebagai teman akhir tahun di depan mata. 

Namun, rupanya harapan tinggal harapan yang tak berujung kenyataan. Lewat seminggu belum ada tanda-tanda buku pesanan saya akan dikirimkan oleh Gramedia. Baru mendekati akhir Desember saya mendapatkan laporan bahwa buku saya akan dikirimkan dengan estimasi lama pengiriman hingga 7 hari. 

Sampai di sini mulai terasa nestapa itu. Apalagi saat mengetahui pesanan saya dikirimkan secara bertahap dalam 4 paket pengiriman yang berbeda. Pengiriman yang dilakukan pada akhir Desember itu baru untuk paket pertama dan hanya satu buku. Gramedia.com berdalih tindakan memecah pesanan dilakukan agar pembeli bisa segera mendapatkan bukunya. Tapi, diduga kuat tindakan itu ditempuh untuk meredakan ribuan protes dan keluhan yang mulai ditujukan ke Gramedia.com atas ketidakpastian penanganan Harbolnas. Belakangan terungkap bahwa Gramedia.com terpaksa mengambil buku dari beberapa suplier atau gudang  sehingga paket dikirim dari tempat yang berbeda-beda. Jelas ini adalah buah dari kelalaian Gramedia.com sendiri yang sejak awal sudah terasa aneh karena mereka menerima pesanan Harbolnas berdasarkan siapa saja pembeli yang telah melunasi pembayarannya dalam tempo 2 jam sejak pemesanan dilakukan, bukan berdasarkan ketersediaan buku yang dipesan pembeli sejak awal.

Buku pertama itu akhirnya tiba saya terima pada 28 Desember 2017 atau tempat 1 minggu setelah mendapatkan resi pengiriman. Lalu bagaiamana dengan 9 buku lainnya?

Di sinilah puncak ketidakpastian penanganan Harbolnas Gramedia.com. Hingga tahun berganti memasuki Januari 2018 entah sudah berapa kali saya menghubungi kepada Gramedia.com untuk meminta kejelasan pengiriman buku lainnya. Tapi pertanyaan melalui email, web chat, instagram, dan twitter, tidak membuahkan kepastian. Belakangan terungkap bahwa kekacauan Harbolnas  Gramedia.com ikut disebabkan oleh buruknya layanan antar ARKXpress yang menjadi mitra tunggal Gramedia.com. Nama ARKXpress bahkan baru pertama kali saya dengar. Jika tidak mengikuti Harbolnas Gramedia.com barangkali saya tidak akan pernah tahu ada jasa ekspidisi dan logistik bernama ARKXpress di Indonesia.

Bayangkan saja saya mendapatkan resi pengiriman tapi selama 2 minggu  pengiriman tidak pernah dilakukan oleh ARKXpress. Bukan itu saja, ARKXpress juga terkesan tidak serius menanggapi keluhan pembeli Harbolnas Gramedia.com. Baru setelah saya menayangkan surat pembaca di media, paket pesanan buku saya dikirimkan ke alamat pada keesokan harinya. Itu pun ada paket yang tidak memuat nama peneriman, hanya bertuliskan kode pesanan dan barcode sehingga beresiko tercecer selama pengiriman.

Sampai di sini perasaan saya mulai lega. Tapi saat memeriksa isi bungkusannya, ternyata ada satu buku yang belum dikirimkan. Gramedia.com justru mengirimkan 2 buku berjudul sama yang hanya saya pesan 1 buah. Tak ingin menunggu lebih lama saya langsung mengirimkan kembali buku itu ke Gramedia.com disertai ultimatum dan permintaan agar Gramedia.com segera mengirimkan buku saya yang sesuai dengan syarat tidak menggunakan jasa ARKXpress. Saya sendiri "memulangkan" buku kepada Gramedia.com dengan layanan Ekspress Pos Indonesia. Tak mengapa saya mengeluarkan ongkos kirim sendiri meski sebenarnya itu menjadi tanggung jawab Gramedia.com.

Tak disangka Gramedia.com memenuhi permintaan saya dengan segera mengirimkannya menggunakan jasa JNE. Barangkali Gramedia.com menyadari bahwa lambannya  mereka dalam menangangi Harbolnas berpotensi menimbulkan gelombang kekecewaan dan protes yang lebih besar lagi jika pengiriman tidak segera dilakukan. Apalagi kolom instagram mereka sudah dijejali lebih dari 7000 komentar yang mayoritas berupa keluhan dan kemarahan para pembeli buku. Kabar buruknya penanganan Harbolnas Gramedia.com juga sudah tersiar di media  seperti CNN Indonesia.



11 Januari 2018 atau nyaris 1 bulan sejak pemesanan saya lakukan, akhirnya semua buku dari Harbolnas Gramedia.com saya terima. Ingin saya mengapresiasi Gramedia.com karena bagaiamanapun juga mereka telah memenuhi kewajibannya meski saya harus lebih dulu menempuh jalan yang agak bernestapa. Sejujurnya kejadian ini telah membuat saya ragu untuk berbelanja lagi di Gramedia.com. Saya akan melihat perkembangannya dulu sejauh mana Gramedia.com membuktikan mampu memberikan pelayanan belanja online yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu...

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan...

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk...