Sentuh silang antara daerah wisata dan pusat pendidikan membuat Malang memilik banyak tempat istimewa dan destinasi menarik. Pembauran antara budaya dan kreativitas anak muda juga bisa dijumpai di sana. Dengan kata lain Malang adalah mozaik dari beragam pengalaman wisata dan rekreasi.
Menjelang akhir tahun 2016 lalu saya menghabiskan dua hari di Malang, tepatnya pada 17-18 Desember. Selama dua hari itu, hari pertama terasa sangat istimewa karena menjadi inti penjelajahan saya di Malang. Sejak pagi hingga sore saya berjalan kaki menyusuri Malang, melangkah dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan sesekali beristirahat di beberapa tempat. Rasanya asyik menikmati Malang sambil meninggalkan jejak-jejak kaki. Melelahkan memang, tapi puas karena itulah yang saya inginkan.
***
Stasiun Malang Kota Baru menjadi pintu masuk saya. Sabtu, 17 Desember 2016, sekitar pukul 04.00 kereta api Malioboro Ekspres yang membawa saya dari Yogyakarta tiba di Malang. Hari masih gelap dan hawa dingin menyergap, saya memilih berdiam sesaat di dalam stasiun. Baru setelah mendekati pukul 05.30 saya melangkah keluar dan mulai menapaki jalanan Malang yang agak basah.
Tempat pertama yang saya datangi adalah Pasar Klojen yang tak terlalu jauh dari stasiun. Pasar adalah tempat yang selalu ingin saya kunjungi setiap bepergian ke manapun. Selain untuk menyaksikan atraksi-atraksi kehidupan di dalamnya, mengunjungi pasar juga menghadirkan romantisme masa lalu karena saat kecil saya sering diajak Ibu ke pasar.
Tapi secara khusus tujuan saya ke Pasar Klojen adalah untuk menyantap Pecel Bu Sri. Keinginan itu terwujud. Ketika saya datang Bu Sri masih sedang menyiapkan bahan untuk menyajikan pecel. Dengan cekatan ia menata wadah-wadah di atas meja kayu. Wadah-wadah itu berisi antara lain sayuran, bumbu pecel, dan aneka lauk yang mengundang selera.
Pagi itu saya adalah pembeli pertama Bu Sri. Ia pun antusias ketika mengetahui saya datang dari jauh dan sengaja mampir ke tempatnya untuk sarapan. Pecel Bu Sri istimewa karena disajikan di atas pincuk daun pisang. Isian utamanya terdiri dari nasi putih, daun singkong, daun pepaya, tauge, mentimun, daun kemangi, rempeyek, dan mendol, yaitu sejenis olahan kedelai mirip tempe. Semuanya lalu disiram dengan bumbu kacang yang gurih. Bumbu itu dibuat sendiri oleh Bu Sri dan ia juga menjual bumbu pecel sebagai oleh-oleh. Sementara sebagai teman menyantap pecel, tersedia lauk tempe goreng, bakwan jagung, sate lilit, peyek ikan, kerupuk, dan lain sebagainya.
Sambil mencecap nikmatnya pecel, saya mendengarkan Bu Sri bercerita tentang banyak hal. Ia cukup ramah dan mudah akrab dengan pembelinya sehingga tak terasa hampir satu setengah jam saya bersama Bu Sri pagi itu. Saat hendak membayar Bu Sri sempat menolak uang yang saya sodorkan. Katanya ia merasa senang bertemu saya. Tapi saya tetap ingin membaya karena pecelnya sangat enak. Wanita itu akhirnya tidak keberatan dan mengatakan bahwa saya cukup membayar separuh harga saja.
Meninggalkan Bu Sri di Pasar Klojen saya kemudian berjalan ke Pasar Oro-oro Dowo. Meski jaraknya lumayan jauh, tapi sejuknya udara Malang membuat saya tidak merasa lelah.
Di sekitar Pasar Besar Malang (dok. pri). |
Dari Pasar Oro-oro Dowo saya melangkah beberapa meter ke Hutan Kota Malabar yang berada di samping pasar. Hutan ini cukup menarik dan menjadi tempat rekreasi alternatif di Malang. Setelah berkeliling area hutan, saya beristirahat sambil menghirup oksigen dan menikmati teduhnya kanopi pepohonan. Ada banyak jenis pohon di Hutan Kota Malabar. Itu dapat diketahui dari papan nama spesies tumbuhan yang terpasang di sana.
Museum Musik Indonesia (dok. pri). |
Jalan Besar Ijen (dok. pri). |
Beberapa sudut di Jalan Besar Ijen (dok. pri). |
Menurut cerita sejarah kawasan Jalan Besar Ijen adalah cikal bakal Kota Malang. Bukti itu masih bisa ditelusuri lewat bangunan-bangunan lawas berukuran besar di sekitar Jalan Besar Ijen. Sebagian bangunan sudah beralih fungsi dan tersamarkan bentuknya. Tapi masih ada beberapa yang bisa disimak fasad aslinya.
Setelah dari Jalan Besar Ijen, saya sampai di Museum Musik Indonesia (MMI) yang berada di Gedung Kesenian Gajayana, Jalan Nusakambangan. Meski harus berjalan lumayan jauh, tapi sebagai penggemar musik berada di Museum Musik Indonesia adalah keberutungan bagi saya.
Museum ini memiliki lebih dari 17 ribu koleksi yang berupa piringan hitam, kaset, dan CD yang berasal dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Genrenya mulai dari pop, rock, jazz, latin, hingga etnik. Ada juga koleksi dokumen berupa foto, buku, dan majalah lawas terkait musik, seni, dan hiburan. Koleksi lainnya yang istimewa adalah kostum yang pernah digunakan grup legendaris Dara Puspita.
Warna-warni di Jodipan (dok. pri). |
Museum Musik Indonesia membuka pintunya bagi siapa pun yang ingin mengetahui sejarah dan mempelajari perjalanan musik di tanah air. Untuk masuk kita tidak perlu membayar tiket alias gratis.
Dari Museum Musik Indonesia saya berjalan lagi menuju sebuah destinasi yang sedang ngetop di Malang, yaitu Kampung Wisata Jodipan. Rasanya saya tak perlu bercerita panjang tentang Jodipan karena banyak sumber dan media telah menuturkan tentang tempat ini. Rumah-rumah penduduk dengan sapuan cat beraneka warna, instalasi kesenian, serta gambar-gambar mural di tembok rumah adalah etalase utama Jodipan. Kreativitas yang ditumpahkan di Jodipan benar-benar menarik.
Cantiknya Alun-alun Malang (dok. pri). |
Alun-alun Malang (dok. pri). |
Di Alun-alun Kota Malang saya lumayan lama beristirahat sambil menyimak beberapa bagian wajah pusat kota Malang. Salah satunya adalah keagungan Masjid Jami dan Gereja Imanuel yang berdiri berdampingan. Sebuah gambaran harmoni yang menambah kesejukan di Malang.
Komentar
Posting Komentar