Sambil duduk di area pejalan kaki dan trotoar Malioboro, dengan wajah yang memancarkan keriaan, delapan anak perempuan bermain lompat bambu. Mereka kompak mengenakan kostum berwarna merah dan hijau. Hiasan serupa pita yang terbuat dari janur kelapa terpasang di rambut mereka yang diikat.
Anak-anak itu bergantian peran. Ada yang duduk memegang ujung-ujung bambu dan menggerakkannya secara teratur. Sementara yang lainnya melompat-lompat dengan lincah menyesuikan pola gerakan bambu. Tak hanya asal melompat karena kaki, tangan dan tubuh mereka harus bergerak seirama. Jika kehilangan konsentrasi sebentar saja, kaki mereka pasti akan tersanung bambu dan permainan berakhir. Tapi jika gerakannya dilakukan dengan benar, permainan akan terus berlanjut.
Parade permainan anak tradisional pada Mataram Culture Festival 2017 (dok. pri). |
Permainan anak-anak tersebut adalah bagian dari Mataram Culture Festival yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Yogyakarta di pedestrian Malioboro pada Sabtu, 15 Juli 2017. Pada acara tersebut puluhan anak mengadakan parade permainan tradisional di sejumlah titik di sepanjang pedestrian Malioboro.
Tak hanya lompat bambu, permainan-permainan lainnya juga ditampilkan di lokasi yang berbeda di sepanjang Malioboro. Salah satunya adalah jamuran yang dimainkan oleh sembilan anak perempuan di depan Hotel Mutiara. Pada permainan jamuran ada seorang anak yang menjadi poros. Ia dikelilingi oleh delapan orang temannya yang bergerak membentuk lingkaran. Sambil bergerak mereka menyanyikan lagu jamuran. Saat lagu berhenti anak yang menjadi poros akan menentukan gimmick “jadi patung” yang harus diperankan oleh teman-temannya. Ada gimmick jamur payung, jamur kursi, dan sebagainya.
Untuk menentukan satu orang yang kalah, anak yang menjadi poros akan menguji teman-temannya dengan tantangan, seperti menduduki kaki atau menaiki punggung mereka. Tantangan gimmick ini merupakan bagian paling seru dalam permainan jamuran. Selain berusaha agar tidak “kalah”, anak-anak juga harus menahan tawa karena tertawa juga bisa menyebabkan mereka kalah.
Jamuran! (dok. pri). |
Bermain Egrang dan Bathok (dok. pri). |
Permainan lainnya adalah egrang dan bathok yang dimainkan di depan Kantor Dinas Pariwisata dan DPRD DIY. Kedua permainan ini memiliki kemiripan. Egrang adalah permainan tradisional yang menggunakan instrumen berupa bambu yang diberi pijakan kaki dengan ketinggian tertentu. Anak yang menaiki egrang harus bisa bertahan menjaga keseimbangannya saat berdiri di atas egrang. Ia juga harus bisa bergerak dan berjalan menggunakan egrang tersebut.
Sementara bathok boleh dikatakan sebagai bentuk lain dari egrang. Permainan ini menggunakan tempurung kelapa yang diberi tali panjang sebagai pegangan. Anak yang memainkan bathok harus berdiri dan bergerak dengan tumpuan bathok.
Keseruan dari permainan egrang dan bathok seringkali ditentukan oleh lamanya waktu bertahan dan berjalan menggunakan instrumen tersebut. Tapi kali ini egrang dan bathok dimainkan secara lebih menarik karena anak-anak berjalan dengan formasi tertentu seperti berbaris dan berjalan membentuk lingkaran. Bunyi-bunyian ritmis yang dihasilkan dari hentakan bambu dan tempurung kelapa pada lantai pedestrian membuat permainan ini semakin menarik.
Salah satu gimmick dalam permainan Jamuran (dok. pri). |
Selain lompat bambu, egrang dan bathok, Mataram Culture Festival juga menyuguhkan lompat tali dan dakon. Semua permainkan tersebut menarik perhatian pengunjung dan wisatawan di Malioboro. Bahkan, ada seorang turis mancanegara yang sempat mencoba menaiki egrang.
Pengunjung lainnya juga terhibur dengan keseruan setiap permainan. Sambil mengarahkan kamera dan smartphone masing-masing, mereka antusias menikmati pertunjukkan yang ada. Keriaan dan tingkah laku anak-anak, juga tembang serta percakapan dalam bahasa Jawa yang menyertari permainan-permainan tradisional itu barangkali menjadi lorong waktu yang mengantarkan ingatan banyak orang ke masa kecil ketika masih sering memainkan permainan-permainan tradisional.
***
Sabtu itu memang menjadi hari yang membahagiakan bagi banyak orang di Malioboro. Anak-anak riang bermain bersama teman-teman sebaya. Mereka juga senang karena menjadi perhatian pengunjung Malioboro yang tertarik dengan aneka permainan tradisional yang ditampilkan. Bermain di tengah-tengah pedestrian tampaknya memberikan pengalaman yang seru bagi anak-anak itu. Sementara bagi masyarakat umum dan wisatawan di Malioboro, hal itu memberikan kesan dan makna yang lebih kuat terhadap Malioboro.
Menyaksikan permainan anak tradisional pada Mataram Culture Festival juga membuat saya sejenak membayangkan Malioboro di masa mendatang. Menurut saya masa depan Malioboro tidak terletak pada pembangunan fisik yang saat ini sedang dan telah diupayakan. Melainkan lebih ditentukan oleh aktivitas manusia-manusia di dalamnya. Berjalan-jalan di Malioboro bukan lagi hal yang bernestapa karena area pejalan kaki di sana lebih rapi dan nyaman. Selain itu, pengunjung juga bisa menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan tradisi yang unik.
Jika hanya mementingkan penampilan luarnya, maka Malioboro tidak akan mewariskan banyak makna di masa mendatang. Sebagai ruang publik dengan sejarah panjang, Malioboro juga harus diletakkan sebagai sumber pengetahuan budaya dan sumber pembelajaran tingkah laku budaya.
Hal lain yang harus disadari adalah mustahil mengembalikan Malioboro seperti sedia kala. Keseimbangan lama yang pernah berlaku di Malioboro tidak bisa lagi diterapkan. Zaman telah berubah dan suka tidak suka Malioboro memikul banyak tuntutan, termasuk tuntutan ekonomi dan modernitas.
Oleh karena itu, mau tidak mau diperlukan keseimbangan baru pada Malioboro agar bisa memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada. Keseimbangan baru yang dimaksud adalah Malioboro tetap bisa mengakomodasi kepentingan ekonomi dan bisnis, tapi pada saat yang bersamaan juga harus memberi ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengembangkan dan melestarikan kebudayaan. Dalam hal ini semi pedestrian akan lebih memungkinkan diterapkan di Malioboro dibanding pedestrian murni.
Bahagia di Malioboro (dok. pri). |
Mataram Culture Festival dengan pertunjukkan permainan anak tradisional yang mampu dinikmati para pengunjung dan wisatawan di Malioboro semoga merupakan bagian dari upaya untuk menemukan keseimbangan baru tersebut. Selanjutnya upaya ini perlu diikuti dengan revitalisasi tata nilai karena inilah yang akan menentukan efektivitas tata ruang dan pengaturan aktivitas masyarakat di Malioboro ke depan. Semua itu diperlukan agar mimpi besar menjadikan Malioboro sebagai ruang publik etalase budaya, kemajuan dan kebahagiaan, bisa terwujud.
Komentar
Posting Komentar