Muhammad Subroto (33) antusias menceritakan kisahnya merintis usaha kuliner sate klathak. Di “Warung Nglathak” miliknya yang berlokasi di Jalan Gambiran Karangasem Baru, Gang Seruni No. 7, Kabupaten Sleman, sekitar 300 meter di utara kampus UGM dan UNY, pria yang akrab dipanggil Mas To tersebut juga menuturkan misi dan niat yang coba ia sampaikan melalui aneka olahan daging kambing atau domba yang ditawarkan.
Muhammad Subroto, pemilik warung "Nglathak" (dok. Hendra Wardhana). |
“Kebetulan dulu saya kuliah di jurusan peternakan”, katanya pada Selasa sore itu. Ia juga mengaku menyukai masakan berbahan dasar daging kambing dan domba.
Setelah lulus dari IPB pada 2007, Mas To memutuskan tinggal di Yogyakarta yang merupakan daerah asal orang tuanya. Di Yogyakarta lidahnya menemukan kenikmatan baru daging kambing setelah mencecap sate klathak. Teman-teman yang suka berkumpul dengannya juga suka dengan sate klathak.
Namun, ia tak langsung membuka warung sate klathak. Jiwa wirausahanya lebih dulu menuntunnya beternak domba dan kambing. Selanjutnya pada 2012 ia menekuni bisnis catering untuk keperluan aqiqah. Dalam perjalanannya Mas To mencoba memberdayakan masyarakat lokal dengan membina peternak kambing. Dari situlah ia tertarik membuka warung sate klathak dengan memanfaatkan produk daging kambing dari peternak binaannya yang sudah mandiri.
***
Mas To mulai merintis usaha kuliner sate klathak pada 27 Mei 2015 dengan membuka warung kaki lima di daerah Ngampilan, tak jauh dari jantung wisata Kota Yogayakarta, Malioboro. Ia melabeli warung satenya dengan nama “Nglathak”, istilah umum untuk menyebut kebiasaan berkumpul sambil menyantap sate klathak.
Selama di Ngampilan, Mas To berjualan sate klathak dari pukul 17.00 WIB-23.00 WIB. Lokasinya yang dekat dengan pusat kota dan tempat wisata, membuat Warung Nglathak banyak didatangi wisatawan.
Akan tetapi, ia hanya bertahan satu tahun di tempat tersebut. Selain karena lokasinya yang sudah tidak memungkinkan untuk membuka warung kaki lima, ia mengemukakan alasan lainnya. “Di Ngampilan memang ramai, terutama saat weekend karena banyak wisatawan. Tapi memasuki hari biasa pembelinya langsung menurun”, ungkapnya.
Sate Klathak racikan Mas To (dok. Hendra Wardhana). |
Sate Klathak dari daging domba/kambing betina berusia di atas lima tahun (dok. Hendra Wardhana). |
Meninggalkan Ngampilan bukan berarti Warung Nglathak tutup selamanya. Mas To mencoba mencari lokasi baru sebagai tempat usaha. Butuh waktu sekitar lima bulan hingga akhirnya pria kelahiran Jakarta, 13 Maret 1984 tersebut membuka kembali Warung Nglathak di lokasinya sekarang, Jalan Gambiran Karangasem, mulai 3 Desember 2016.
Berdaya dengan Potensi Lokal
Meski mempertahankan nama “Warung Nglathak”, Mas To mengubah konsep dan tampilan sate klathak yang dijualnya di tempat baru. Warung Nglathak bertransformasi menjadi lebih kekinian agar dekat dengan anak muda, khususnya mahasiswa. Jam bukanya dari pukul 12.00 WIB-21.00 WIB dan hanya libur pada hari Jumat.
Interior warung dibuat lebih berwarna, identik dengan anak muda, dan sangat berbeda dengan warung sate pada umumnya. Menu yang ditawarkan pun bertambah dan dimodifikasi. Selain sate klathak original, ada juga sate klathak manis dan sate klathak mozarella. Sementara minumannya ada yoghurt, es krim homemade, hingga teh bunga telang yang unik. Semua makanan dan minuman tersebut disajikan dengan tatanan yang menarik. “Sengaja dibuat instagramable. Jadi ramah untuk teman-teman yang hobi berfoto”, kata Mas To menjelaskan konsep kekinian Warung Nglathak.
Briket untuk membakar sate (dok. Hendra Wardhana). |
Mas To menceritakan usahanya membuka Warung Nglathak lebih dari sekadar tempat makan (dok. Hendra Wardhana). |
Usaha kuliner yang tidak sekadar berjualan dan mencari untung (dok. Hendra Wardhana). |
Niatnya mengembangkan Warung Nglathak juga bukan sekadar untuk berbisnis mencari keuntungan. Dalam menjalankan usahanya Mas To berusaha mendukung pemberdayaan masyarakat lokal. “Warung ini ingin berdaya bersama dan memanfaatkan potensi lokal, jelasnya.
Prinsip tersebut ia wujudkan dengan tetap membeli daging dari peternak kambing dan domba di daerah Bantul. Selain bisa mendukung peternak, dengan cara tersebut ia juga bisa mengontrol dan menentukan kualitas daging yang digunakannya untuk membuat sate klathak.
Mas To memilih daging yang berasal dari domba betina afkir, yaitu berusia di atas lima tahun. Kelestarian populasi menjadi alasannya. Domba yang berusia di atas lima tahun sudah tidak produktif melahirkan sehingga saat disembelih populasinya tak akan banyak terganggun. “Kalau yang betina muda disembelih terus, populasi domba dan kambing akan semakin berkurang”, terangnya. Soal kenikmatan ia menjamin sate klathak buatannya tetap empuk dan tidak berbau prengus meski berasal dari kambing tua.
Tak hanya memberdayakan peternak lokal, Warung Nglathak juga menggunakan beras organik dari petani di Magelang. Sementara bahan dasar susu untuk meracik yoghurt didapatkan dari peternak sapi perah di daerah Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Jaringan tema dan sesama alumni IPB yang memiliki produk olahan makanan dan minuman juga ia manfaatkan. Teh Biru Bunga Telang misalnya, bahan bunga kering ia dapatkan dari temannya di Kediri. “Teh Bunga Telang sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi kurang terkenal sehingga saya bantu mempromosikan dalam bentuk teh biru”, ujarnya sambil melanjutkan bahwa ia dan teman-temannya saling mendukung karena memiliki prinsip yang sama yakni memberdayakan masyarakat.
Buku dan Kebaikan
Pada tembok bagian dalam dan luar Warung Nglathak terdapat banyak pajangan berisi untaian kata, kutipan, nasihat, dan ajakan kebaikan. Salah satu yang menarik adalah penawaran sate klathak gratis bagi pengunjung yang berbuka puasa Senin-Kamis atau yang sudah mengaji sebanyak dua juzz Al Quran. Menurutnya hal tersebut hanya sebagai bentuk dakwah untuk mengajak kebaikan. Sejauh ini sudah ada beberapa mahasiswa yang datang untuk berbuka puasa di Warung Nglathak. Saat datang mereka cukup mengatakan sudah berpuasa.
Kantung berisi buku bacaan di setiap meja (dok. Hendra Wardhana). |
Menunggu pesanana sambil membaca buku (dok. Hendra Wardhana). |
Mas To tidak ambil pusing jika nantinya ada pembeli yang berpura-pura puasa atau membaca Al Qur’an agar dapat makan Warung Nglathak secara gratis. “Penawaran itu tulus. Yang penting saya sudah berusaha mengajak. Masalah kejujuran itu urusan setiap orang dengan Tuhannya masing-masing”, katanya.
Warung Nglathak juga berusaha menerapkan bentuk kebaikan lainnya, yaitu go green secara sederhana. Untuk meminimalkan dampak pembakaran sate, arang yang digunakan adalah jenis briket yang terbuat dari daur ulang limbah tempurung kelapa. Sementara salah satu menu yang disajikan, yaitu ayam goreng, menggunakan daging ayam organik.
Lewat warung Nglathak Mas To juga berusaha menyebar virus membaca. Pada setiap meja di warung tersebut terdapat kantung kain berisi buku-buku yang bisa dibaca secara gratis oleh pengunjung sambil menunggu atau menikmati makanan serta minuman. Menurut Mas To hal itu disambut baik oleh pembeli. “Di luar dugaan saya, bukan hanya pengunjung dari kalangan mahasiswa yang membaca buku-buku itu, tapi juga orang tua”, katanya sambil kemudian mempersiapkan Sate Klathak original untuk dicicipi.
Lebih dari sekadar sate klathak (dok. Hendra Wardhana). |
Usaha kuliner ternyata tidak hanya urusan rasa yang enak atau untung yang menggiurkan. Tapi bisa lebih berarti dan membawa berkah jika disertai upaya berbagi kebaikan untuk sesama. Di tangan Mas To sate klathak lebih punya banyak “rasa” dan makna.
Komentar
Posting Komentar