Bulan Agustus udara malam hari di Riau
terasa gerah. Padahal sudah beberapa hari hujan sempat turun meski menurut
informasi itu adalah hujan buatan yang dirancang untuk mengantisipasi kebakaran
lahan.
Setelah sepanjang pagi hingga sore
mengunjungi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil di Perawang, dilanjutkan melihat
hutan tanaman industri dan nursery pemasok bibit Acacia serta Eucalyptus untuk
pembuatan kertas, saya dan mas Danang kembali ke Pekanbaru. Rasa lelah membuat
kami susah tidur karena perut belum diisi. Bingung hendak mencari makan karena
tak paham Pekanbaru, kami akhirnya berjalan menyusuri Jalan Riau.
Sop Sapi TIGA SAUDARA di Jalan Riau, Pekanbaru. |
Menurut cerita, Jalan Riau merupakan salah
satu kawasan paling ramai di kota Pekanbaru. “Di sini mau sampai jam 1 malam juga masih
ramai”. Begitu kata kawan Mas Danang yang menemani kami mencari makan malam
itu. Hal itu terlihat dengan lalu lintas jalan yang masih lumayan sibuk meski
waktu mendekati pukul 21.00.
Selain ada pusat bisnis Riau dan beberapa
hotel, Jalan Riau juga menjadi tempat mangkal banyak penjual pedagang kaki
lima. Inilah yang kami cari dan sebuah
warung tenda dengan penampilan lumayan mencolok menarik perhatian kami. Melihat
sejumlah orang sedang asyik makan membuat kami mantap untuk singgah.
TIGA SAUDARA, tertulis tebal dengan warna
merah di spanduk putih yang menjadi tirai warung tersebut. Di bawahnya selarik
kata ditambahkan: SOP KAKI - DAGING SAPI -SATE KAMBING. Di bawahnya lagi ada
sebuah keterangan CABANG JAKARTA seakan mengatakan kalau warung tersebut cukup
terkenal.
Warung tenda TIGA SAUDARA cabang Jakarta di kota Pekanbaru. |
Warna merah mencolok di malam hari. |
Setelah memilih tempat duduk, seorang pelayan
yang masih remaja datang menawarkan menu. Karena sama-sama enggan menyantap
daging kambing, kami bertiga akhirnya memilih sop daging sapi dan teh manis hangat.
Ada sekitar 20 menit kami menunggu pesanan
karena harus antri dengan pembeli yang lebih dulu datang. Setelah sampai di
meja saya langsung tertarik dengan racikan sop sapinya. Di sendok terdapat
sesuatu berwarna kuning padat yang mulai mencair seperti mentega. “Itu minyak
samin”. Jawab sang pelayan remaja. Penasaran dengan rasanya saya mengecap
sedikit minyak samin tersebut. Rasanya seperti minyak goreng dengan jejak
sedikit gurih.
Minyak samin mulai mencair di atas sendok. |
Potongan daging sapi dan tomat dalam kuah sop yang penuh santan dan minyak. |
Sepintas penampilan sop daging sapi Tiga
Saudara seperti soto betawi dengan kuah bersantan berwarna putih keruh. Jejak
minyak menggenang lumayan banyak di dalam kuah. Di dalam ada potongan daging dan jeroan sapi sebagai
isian utama. Lalu potongan daun bawang dan irisan tomat berukuran besar.
Sedikit emping juga ditambahkan.
Soal rasa, sop sapi ini kurang sesuai dengan
selera saya. Gurih dan manisnya tidak terlalu nendang. Santan dan minyaknya terasa
“cukup berat” di lidah dan lambung Meskipun demikian, seporsi sop dengan
sepiring nasi dan acar mentimun ini lumayan mengenyangkan.
Selamat makan. |
Bagaimana harganya?. Malam itu saya ditraktir
dan melihat jumlah yang dibayarkan, sop sapi ini tergolong tidak murah. Tapi
mendengar cerita tentang kebanyakan orang Pekanbaru yang suka jajan, harga itu
mungkin tergolong biasa. Selamat datang di Pekanbaru.
Lha kok cabang Jakarta?
BalasHapusTapi memang harga makanan di Pekanbaru lebih mahal sih dari di Jawa.
Karena uang banyak beredar di Riau, hehe
Hapus