Dua belas tahun yang lalu, Oktavianus Etapuka
(55) kembali ke Kekwa, Timika, Papua. Ia pulang kampung setelah lama mengikuti
orang tuanya merantau dan menempuh pendidikan di Jayapura. Sebagai orang Kamoro ia kemudian menekuni
seni ukir kayu khas Kamoro.
Kamoro adalah suku seminomaden yang mendiami
pesisir selatan Papua. Masyarakat Suku Kamoro yang berjumlah kurang lebih
18.000 orang tersebar di sekitar 45 kampung, termasuk Kekwa.
Sebagian besar orang Kamoro hidup dengan
budaya meramu. Hutan dan rawa di sekitar tempat tinggal mereka menjadi
“supermarket” yang menyediakan semua kebutuhan hidup. Sagu, ikan, daging dan
lain sebagainya mereka peroleh langsung dari alam. Tak heran jika orang Kamoro
sangat mahir memancing dan berburu hewan dengan cara menyergap atau menjerat.
Suku Kamoro juga telah lama melahirkan
mahakarya berupa seni ukir kayu yang unik. Mereka membuat ukiran di banyak
peralatan yang digunakan sehari-hari. Kebiasaan itu diwariskan dari satu
generasi ke generasi. Oktavianus lalu menunjukkan hasil ukiran kayu khas Kamoro. Beberapa di antaranya
adalah Oteka yang berbentuk tongkat, Yamate (perisai), Pekaro (piring), dan
Waki (alat pukul).
Tidak semua orang Kamoro bisa mengukir. Dulu
biasanya hanya keluarga pengukir yang mewarisi keahlian tersebut. “Kalau ke kampung, lihat saja
rumah-rumahnya. Kalau banyak ukiran, berarti dia pengukir”, terang
Oktavianus.
Seni ukir Kamoro sempat hampir tenggelam
karena orang yang mengukir semakin sedikit. Minat anak muda Suku Kamoro untuk
menekuni seni ukir juga berkurang. Kenyataan itulah yang kemudian turut menggerakkan
Oktavianus untuk mengukir meski ia bukan berasal dari keluarga pengukir. Ayahnya
adalah seorang mantan polisi yang beberapa kali berpindah tugas sehingga ia dan
sang ibu harus mengikutinya.
Tanpa warisan ilmu mengukir dari orang tua
bukan halangan bagi Oktavianus untuk menekuni seni ukir khas Kamoro. Tiga tahun
sebelum kembali ke Kekwa, pria lulusan Sekolah Pendidikan Guru Taruna Bhakti
Jayapura ini sudah mulai mempelajari ukiran Kamoro. Meski memiliki keterampilan
menggambar dan melukis, namun menguasai teknik mengukir khas Kamoro ternyata tidak
mudah. Saat belajar akurasi menggunakan alat ukir dan membolak-balik kayu,
Oktavianus mengaku tangannya beberapa kali terluka terkena alat ukir.
Orang Kamoro banyak menggunakan kayu besi
untuk membuat ukiran. Ketika mendapat inspirasi, seorang pengukir bisa
menghabiskan waktunya dari pagi hingga sore. Menurut Oktavianus rata-rata
pengukir Kamoro membutuhkan waktu 3-5 hari untuk menyelesaikan satu bentuk
ukiran.
Kehidupan Suku Kamoro yang sangat dekat
dengan alam dan menghormati leluhurnya menjadi
sumber inspirasi utama pengukir Kamoro. Bentuk binatang seperti ikan, biawak, burung,
dan buaya juga banyak dijumpai dalam ukiran kayu buatan orang Kamoro.
Oktavianus lalu menunjukkan sebuah ukiran Yamate berbentuk ikan layar dengan
ukiran menyerupai manusia di dalamnya. Ukiran tersebut memuat cerita seorang
ibu yang berubah menjadi ikan layar. Cerita tersebut diyakini secara turun
temurun oleh orang Kamoro sehingga bagi mereka ikan layar sangat dilindungi dan
tidak boleh diburu. “Jika orang Kamoro
tidak sengaja menangkap ikan layar, pasti akan dilepaskannya lagi”,
tuturnya.
Ukiran pada Yamate lainnya menggambarkan
kebiasaan orang Kamoro berburu biawak. Pada Yamate itu juga diukir bentuk
seekor ikan dan buaya yang sedang bersetubuh. Hal itu merupakan kiasan untuk
menunjukkan aturan pernikahan antar marga yang dianut oleh orang Kamoro.
Dahulu pengukir kayu Kamoro hanya membuat
ukiran dengan corak dan bentuk yang sesuai dengan marga keluarganya. Oktavianus
mencontohkan ia yang memiliki marga api
seharusnya tidak membuat ukiran dengan corak marga ikan. Alasannya untuk
menjaga kekhasan dan menghindari kerusakan karena setiap bentuk ukiran dianggap
hanya bisa dibuat oleh marga yang bersangkutan.
Namun, batasan itu kini tidak ada lagi. Setiap
orang Kamoro bisa mempelajari dan membuat semua ukiran kayu dari marga apapun. Teknik
mengamplas yang dulu tidak digunakan, kini perlahan mulai diterapkan untuk
meningkatkan mutu hasil ukiran dan nilai komersialnya. Bentuk ukiran yang lebih
kontemporer juga dibuat oleh orang Kamoro. Ukiran berbentuk burung Garuda Pancasila menjadi salah satu
contohnya.
Menurut Oktavianus seni ukir kayu Kamoro
telah beradaptasi dengan zaman dan tidak lagi kaku. Bahkan, ia sedang mencoba memadukan
sentuhan corak budaya daerah lain dengan ukiran kayu Kamoro. “Saya mengamati bentuk ukiran Bali untuk
menambah referensi”, katanya.
Meskipun demikian, unsur budaya lokal tetap
menjadi elemen utama dalam seni ukir Kamoro. Orang-orang Kamoro tetap
mempertahankan ciri utama ukiran mereka. Salah satunya ukiran Kamoro tidak
pernah menggambarkan bentuk tubuh secara telanjang. Dalam seni ukir Kamoro
organ vital selalu ditutup atau disamarkan dalam bentuk lain. Menurut
Oktavianus itu yang membedakan ukiran Kamoro dengan ukiran Papua lainnya.
Komentar
Posting Komentar