Selamat datang di Praya dan selamat menikmati Lombok meski hanya untuk singgah sehari. Tak mengapa karena menginjakkan kaki di tempat baru selalu memantik rasa ingin tahu. Salah satunya tentang makanan khas setempat.
Belum lama turun dari pesawat sebuah pesan saya terima. Rupanya Bu Ida dan sang sopir sudah menunggu di luar. Tahu bahwa kami datang dari jauh dan melewati waktu transit yang lumayan lama, Bu Ida pun membawa kami ke sebuah tempat makan bernama Rumah Makan Cahaya tak jauh dari bandara.
Jika melihat sekeliling bandara Praya belum banyak bangunan seperti rumah makan yang berdiri. Oleh karena itu RM Cahaya terlihat mencolok meski bangunannya tidak terlalu besar. Hanya ada 5 meja panjang dengan deretan kursi yang menyertai serta beberapa meja ukuran sedang di dalamnya.
Belum lama turun dari pesawat sebuah pesan saya terima. Rupanya Bu Ida dan sang sopir sudah menunggu di luar. Tahu bahwa kami datang dari jauh dan melewati waktu transit yang lumayan lama, Bu Ida pun membawa kami ke sebuah tempat makan bernama Rumah Makan Cahaya tak jauh dari bandara.
Jika melihat sekeliling bandara Praya belum banyak bangunan seperti rumah makan yang berdiri. Oleh karena itu RM Cahaya terlihat mencolok meski bangunannya tidak terlalu besar. Hanya ada 5 meja panjang dengan deretan kursi yang menyertai serta beberapa meja ukuran sedang di dalamnya.
Tapi bukan hanya itu yang membuat RM Cahaya menjadi
tujuan banyak orang saat baru tiba atau hendak menuju bandara Praya. Melainkan
karena nasi balap puyungnya. Dari beberapa menu yang ada, nasi ini yang jadi
andalan. Jika pembeli terlihat bingung memilih pesanan, biasanya pelayan akan
langsung menawarkan nasi balap puyung untuk dicicipi.
Pertama kali memesannya saya belum
membayangkan seperti apa wujudnya. Meski diberitahu ini adalah sejenis nasi
rames, tapi saya segera menganulirnya ketika seporsi nasi balap puyung dan
sepotong ayam goreng tersaji di depan mata. Rupanya nasi balap puyung memiliki
lauk wajib yakni ayam goreng.
Ayam yang digunakan adalah ayam kampung
sehingga ukurannya tidak terlalu besar. Digoreng saat baru dipesan membuat
jejak minyak masih terlihat ketika disajikan. Warnanya yang kuning keemasan
sangat cepat menggugah nafsu makan saya yang kebetulan penyuka ayam kampung.
Satu sobekan dagingnya segera saya cicipi. Seratnya khas ayam kampung, sedikit
liat namun lembut ketika dikunyah. Rasa gurihnya tidak sekuat racikan ayam
kampung goreng yang biasa saya santap di Jawa. Boleh jadi karena ayam goreng
ini hanya disajikan sebagai lauk pendamping.
Oleh karena itu, saya pun mulai mencicipi nasi
balap puyungnya. Melihat isiannya, menu ini cukup sederhana. Ada nasi putih
dalam porsi kecil namun pas dengan kebutuhan saya. Di sekelilingnya ada tiga
jenis lauk. Satu di antaranya langsung saya kenali sebagai tumis kacang
panjang. Dua lainnya adalah kering kentang dan suwir ayam ditambah potongan
hati yang dimasak pedas menyerupai oseng-oseng. Sama seperti nasinya, porsi
ketiga lauk ini tidak terlalu banyak.
Tumis kacang panjangnya lumayan renyah dengan
kematangan yang pas sehingga warnanya pun masih hijau segar. Sementara itu,
kering kentangnya yang tipis terasa krispi dan gurih. Beralih ke oseng-oseng
ayamnya yang berwarna kecoklatan dengan beberapa potongan kulit cabe. Selain
pedas, rasa bumbunya juga lebih kuat dibanding ayam kampung goreng yang saya
cicipi sebelumnya.
Bagi yang kurang suka pedas seperti saya,
menyantap nasi balap puyung memang lebih pas dengan menyertakan ayam kampung
gorengnya. Selain mengurangi efek pedas di lidah, juga melengkapi rasa nasi
balap puyung sehingga jadi lebih sempurna. Menu ini pun saya habiskan dengan
cepat. Selain karena lapar usai perjalanan jauh dan porsinya yang pas, rasanya
memang lezat.
Selain nasi balap puyung dan ayam goreng, ada
satu menu lainnya yang pantas dicoba yakni Bebalung. Sang pelayan menyebutkan
menu ini seperti sop iga. Mendengarnya saya pun tertarik mencicipi karena
membayangkan gurihnya sop iga dengan kuah yang panas mengepul.
Namun ternyata bebalung tidak sepenuhnya sama
dengan sop iga yang biasa saya nikmati. Isian utamanya memang berupa potongan
iga sapi. Tapi tak ada sayuran seperti kobis, tomat atau wortel di dalamnya.
Kuahnya pun berwarna kuning kecoklatan dengan jejak minyak yang mengapung dan
potongan bawang yang sudah layu. Boleh dibilang bebalung adalah sajian yang
minimalis.
Semangkuk bebalung hanya berisi dua potong
iga berukuran sedang. Dagingnya lumayan lembut dengan warna yang kecoklatan.
Tampaknya daging iga ini juga dimasak lebih dulu dalam bumbu yang sama dengan
bumbu kuah karena rasanya pun serupa. Oleh karena itu cita rasa bebalung
berbeda dengan sop iga di Jawa yang bening dan didominasi rasa gurih. Saat
mencicipi kuahnya saya terkejut dengan
rasanya yang agak hangat seperti mengandung banyak rempah. Aromanya pun cukup
kuat. Ternyata kuah bebalung memang menggunakan bumbu lengkuas, jahe, bawang
merah dan bawang putih.
Pengalaman mencicipi Bebalung sama nikmatnya
dengan menyantap nasi balap puyung dan ayam gorengnya. Keduanya adalah menu
khas Lombok yang wajib dicoba saat singgah di bumi Nusa Tenggara Barat.
Komentar
Posting Komentar