Sore itu pelataran di depan gerbang makam
Dusun Jetak, Desa Tanjungan, Klaten, Jawa Tengah terlihat ramai. Warga dusun
duduk lesehan bersama menghadap wadah-wadah berisi makanan, jajanan dan
buah-buahan. Mereka sedang menggelar acara bernama “kondangan”.
Bagi banyak orang “kondangan” adalah
datang menghadiri undangan hajatan, biasanya penikahan atau khitanan. Tapi bagi
masyarakat Klaten, termasuk di Dusun Jetak, yang merupakan tempat tinggal kakek
saya, kondangan juga berarti menggelar syukuran menyambut bulan
puasa.
|
Warga Dusun Jetak, Desa Tanjungan, Klaten, Jawa Tengah sedang menggelar tradisi kondangan atau syukuran doa bersama menyambut bulan Ramadhan (dok. pribadi). |
Kondangan telah menjadi budaya atau
tradisi yang dijalankan oleh masyarakat di Dusun Jetak sejak lama. Kebiasaan ini
sekilas mirip dengan acara sadranan atau “nyadran” yang merupakan tradisi
banyak masyarakat Jawa setiap menjelang bulan puasa. Namun, dalam kondangan
tidak ada ziarah kubur bersama. Mereka yang ingin mendoakan keluarganya yang
telah tiada biasanya berziarah sendiri pada waktu yang berbeda. Kondangan juga
lebih banyak diikuti oleh kaum wanita dan anak-anak. Para bapak atau suami
biasanya hanya mengantar atau menunggu hingga acara selesai.
|
Warga terutama kaum ibu dan anak-anak berdatangan ke tempat digelarnya syukuran kondangan (dok. pribadi). |
|
Seorang nenek datang dengan menggendong wadah berisi makanan (dok. pribadi). |
|
Seorang ibu datang tergesa-gesa membawa dua wadah makanan dan jajanan (dok. pribadi). |
|
Para nenek saling bertukar ketan yang mereka bawa ke kondangan (dok. pribadi). |
Kebersamaan sangat terasa dalam kondangan.
Sebelum acara dimulai warga yang datang saling berbincang dan bercanda. Beberapa
orang nenek yang biasanya duduk bergerombol pun saling bertegur sapa. Meski
mungkin tak banyak yang diucapkan, tapi pertemuan itu boleh jadi membawa
ingatan mereka ke masa muda saat masih sering bertemu dan bermain bersama.
Kondangan juga mencerminkan sikap
gotong royong yang penuh kerelaan. Para orang tua datang membawa berbagai macam
makanan khas masyarakat desa seperti sego gurih (sejenis nasi uduk), trancam
(sejenis uraban), nasi kuning hingga buah-buahan seperti pisang dan salak. Ada
juga jajanan tradisional seperti ketan dan singkong rebus. Selain itu ada
permen, jelly dan beberapa makanan ringan kesukaan anak-anak.
Tak ada keharusan membawa jenis
makanan tertentu. Juga tak ada kewajiban mereka yang datang harus membawa
sesuatu. Warga yang datang tanpa membawa makanan pun bisa menikmati makanan yang
dibawa tetangganya. Semua makanan yang dibawa memang ditujukan untuk dinikmati
bersama setelah digelar doa.
|
Doa bersama dipimpin oleh ulama dusun (dok. pribadi). |
|
Warga khusyuk berdoa (dok. pribadi). |
Doa dipimpin oleh ulama yang
juga imam mushola di dusun. Dalam kesempatan ini warga mendoakan leluhur dan
keluarga mereka sekaligus memanjatkan syukur atas kenikmatan bertemu kembali
dengan bulan Ramadhan. Doa juga dipanjatkan untuk kesejahteraan dusun dan warganya.
Meski kondangan dilaksanakan untuk
menyambut Ramadhan, warga yang berbeda keyakinan
juga datang mengikuti. Nilai toleransi antar umat beragama di dusun Jetak
memang sangat kuat. Tempat dilaksanakan kondangan pun hanya berjarak 30 meter dari
gereja yang biasa digunakan oleh warga beragama Kristen di dusun tersebut.
|
Dua orang nenek berbincang di sela-sela syukuran kondangan (dok. pribadi). |
|
Para ibu saling bertukar makanan yang mereka bawa (dok. pribadi). |
|
Seorang anak berhasil mendapatkan banyak jajanan (dok. pribadi). |
Selesai berdoa, acara ditutup dengan makan bersama. Suasana kekeluargaan
kembali terasa ketika semua bersantap dan saling bertukar makanan atau jajanan yang
dibawa. Makan bersama ini juga menjadi bagian yang paling meriah karena polah
anak-anak yang berebut jajanan incaran masing-masing. Meski sudah diingatkan untuk
tertib tapi mereka seolah memiliki cara sendiri untuk merayakan kondangan. Ketika
doa masih berlangsung pun beberapa anak terlihat sudah tak sabar dan bersiap menyerbu
makanan yang menurut mereka paling enak. Oleh karena itu ketika para orang tua saling
berbagi dan bertukar makanan, anak-anak justru saling berdesakan menyerbu
wadah-wadah makanan.
Terlepas dari berbagai pandangan
yang menganggap budaya atau tradisi kondangan tidak diajarkan dalam agama, namun
berbagai nilai kearifan di dalamnya tetap perlu dilestarikan. Meski berlangsung
tidak lebih dari 1 jam, kondangan telah mengajarkan
arti gotong royong, kebersamaan dan toleransi secara sederhana namun sangat
hakiki yaitu semangat mempersatukan.
|
Saya yang datang dengan tangan kosong pun mendapatkan sego trancam yang gurih ini (dok. pribadi). |
Wah, setiap berkunjung ke tempat si Mbah di Klaten, sekalipun saya belum pernah ikut acara kondangan. Lain kali mesti ngikut nih :D
BalasHapusSerbu makanannya! hehe
HapusMerindukan kondangan yang makin jarang diadakan. Dulu, setiap ada org meninggal, lahiran, kawinan, ada kondangan. Tapi, orang lebih suka praktis dan melupakan adat yang dianggap merepotkan itu. Semoga aja sih, tidak ilang sama sekali dan anak cucu nanti masih mengenal "kondangan"
BalasHapusSalam prima
Di Jogja sudah mulai jarang, Bu? Kalau di Klaten masih dilakukan penuh antusias
HapusSemua nya ikut berbaur tanpa melihat agama nya, toleransi yg seperti ini lah yg harus nya di terapkan di seluruh indonesia
BalasHapusBetul sekali Mas Cumi,
HapusAku di Pacitan, di kampung aku juga kayak gitu hehehe terasa betul nyatuin warga sekampung ehehehe
BalasHapusSemoga bisa terus dijaga dan menjaga masyarakat kita ya
Hapus