“Seringkali perpisahan adalah jalan memutar
yang panjang untuk sebuah pertemuan ulang yang menyatukan”. Itulah benang merah
pada 4 karya Ika Natassa yang saya baca setahun terakhir, yaitu Divortiare,
Twivortiare, Twivortiare 2, dan Critical Eleven. Saya sedang tidak menerima
perdebatan untuk hal ini.
Sebagai pengumpul karya Mira W dan penyuka
cerita-cerita Marga T, bukan kebetulan jika akhirnya saya pun menyenangi
celotehan Ika Natassa. Menurut saya ketiga penulis wanita ini memiliki sejumlah
kesamaan. Dari generasi berbeda, Mira, Marga dan Ika selalu memulai cerita
dengan kerendahan hati. Saya tak bisa menjelaskan maksud “kerendahan hati” ini
sekarang. Tapi cobalah baca karya-karya ketiganya dan rasakan 10 halaman
pertamanya.
Sama seperti Mira dan Marga, halaman-halaman
awal tulisan Ika adalah sebuah penuntun yang ramah dan nyata. Selanjutnya Ika
dengan caranya sendiri mengajak pembaca menyimak bersama konflik cerita. Lama
kelamaan tanpa disadari Ika sudah membawa pembacanya berada dan terlibat dalam
cerita.
Sebenarnya cinta yang menjadi ruang cerita
Ika, juga Mira dan Marga, adalah tema yang pasaran. Hitung saja berapa banyak
judul cinta yang bertumpuk di meja dan rak toko buku. Tulisan-tulisan itu mungkin dramatis atau romantis, tapi gagal mengajak
pembacanya untuk mengamini apa yang dalam cerita. Mungkin karena
sang penulisnya terlalu asyik dengan dunia khayalnya sendiri. Untuk alasan inilah
saya tak berminat dengan tulisan-tulisan bergaya Dwitasari sejak pertama
membaca resensi dan sinopsis sebuah novelnya.
Ika menghubungkan dirinya, imajinasinya
dengan perasaan orang lain yang menjadi pembaca tulisan-tulisannya. Ketiganya ia
libatkan secara pas dalam cerita. Sama seperti ketika Mira atau Marga membawa
diri mereka yang seorang dokter untuk menceritakan kejadian-kejadian dengan
latar rumah sakit dan merangkainya dengan kejadian-kejadian lain yang
diciptakan dengan sangat detail sehingga tak terlihat sebagai sebuah imajinasi.
Inilah yang membuat orang
mengamini secara berjamaah cerita-cerita Ika. Meski tidak semua orang mengalami
apa yang ia kisahkan, juga tidak semua orang terbiasa dengan
celotehan-celotehan vulgar Alex, namun semua sepakat bahwa Ika Natassa telah bercerita
secara apa adanya.
weee pembaca novel Ika Natassa juga ? *toss dulu mas :D
BalasHapusga bisa move on dari Om beno #halah
haha iya, nggak sengaja tapi akhirnya suka..
Hapus