Eksplorasi batik kini semakin gencar
dilakukan. Apalagi semenjak ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia
tak benda dari Indonesia, minat untuk mengembangkan batik terus meningkat
seiring bertambahnya kecintaan masyarakat terhadap batik.
Usaha pengembangan batik tak hanya sebatas
menciptakan motif-motif baru atau aplikasi batik pada produk selain pakaian. Namun,
juga mengembangkan pewarna alami atau zat warna alam untuk menghasilkan batik
yang cantik.
Pewarnaan adalah salah proses penting dalam
pembuatan batik. Saat ini pewarnaan batik banyak menggunakan pewarna sintetis
karena praktis dan cepat. Akan tetapi, pewarna sintetis memiliki kelemahan yang
mencolok. Selain mencemari lingkungan, pewarna sintetis juga beresiko terhadap
kesehatan manusia. Oleh karena itu sejak
beberapa tahun terakhir pewarna alami kembali diangkat dan disosialisasikan
lebih luas untuk pewarnaan batik.
Pewarna alami sebenarnya telah dikenal sejak
lama. Para pembuat batik di masa lalu menggunakan ekstrak tumbuhan tertentu
untuk mewarnai batik. Namun karena terbatasnya pengetahuan dan teknologi di
masa itu, penggunaan pewarna alami pun ditinggalkan dan digantikan pewarna
sintetis.
Pewarna alami yang berasal dari tumbuhan pada
dasarnya adalah metabolit sekunder yang diambil dari akar, batang, daun, kulit,
bunga dan bagian-bagian lain pada tumbuhan. Beberapa sumber pewarna alam yang
saat ini banyak digunakan untuk mewarnai batik antara lain daun Indigofera,
kulit Manggis, kulit kayu Jati, kulit Jambal dan Jalawe.
Melalui proses ektraksi, mulai dari yang
sederhana hingga kompleks, zat-zat pewarna dikeluarkan dari jaringan dan sel
tumbuhan. Karena pewarna alami berasal dari metabolisme
tumbuhan, maka dalam komposisinya terdapat sejumlah senyawa seperti tanin,
flavonoid dan fenol. Bagi tumbuhan senyawa-senyawa tersebut umumnya berperan
sebagai pigmen dan antioksidan.
Sifat-sifat natural dan reaksi dari berbagai
senyawa di dalam pewarna alami mampu menghasilkan warna-warna unik pada
selembar batik. Apalagi jika menggunakan lebih dari satu pewarna alami, warna
akhir batik yang ditampilkan seringkali tak terduga.
Kombinasi pewarna alami dan rotasi pewarnaan
dapat menghasilkan keajaiban warna batik. Misalnya, kain batik yang diwarnai
pertama kali dengan Indigofera mula-mula akan berwarna kuning kehijauan. Setelah
pencelupan berikutnya akan tercipta warna biru yang terang jika dikeringkan
secara sempurna. Warna biru hasil pewarnaan batik dengan Indigofera sering disebut
“Biru Jawa”. Jika setelah kering, kain kembali
dicelupkan ke dalam pewarna Jalawe. Maka gradasi warna hijau akan tercipta. Kombinasi
Indigofera-Jalawe-Jalawe akan menghasilkan warna hijau hingga hijau kebiruaan.
Jika menghendaki warna biru tua, teknik pewarnaan
dimodifikasi dengan merotasi pencelupan. Pertama kain diwarnai dengan
Indigofera. Setelah kering kain diwarnai kembali dengan Jalawe. Selanjutnya
kain dicelupkan ke dalam larutan Indigofera.
Di sisi lain batik yang diwarnai pertama kali
dengan Jalawe akan menghasilkan warna coklat. Jika warna ini yang diinginkan
maka pewarnaan dihentikan. Namun, jika warna akhir yang diinginkan adalah
coklat kehitaman, maka pewarnaan dilanjutkan dengan mencelupkan kain beberapa
kali ke dalam pewarna Indigofera.
Keajaiban warna alami juga tercipta melalui
kombinasi pewarna, rotasi pewarnaan dan jenis fiksator. Sebagai contoh batik
yang diwarnai dengan urutan pewarna alami Indigofera-Jalawe-Indigofera-fiksator
Tunjung, akan menghasilkan kain batik dengan warna hitam manis. Urutan Indigofera-Jalawe-Jalawe-fiksator
Tawas, akan menghasilkan warna batik hijau yang kalem.
Pewarna alami untuk batik adalah bukti bahwa alam Indonesia telah memberikan segalanya. Saat ini lebih dari 150 jenis tumbuhan yang diketahui menghasilkan pewarna alami. Warna yang dihasilkan merah, biru, kuning, coklat, jingga, hingga nila.
Negeri ini tak hanya kaya akan budaya, tetapi juga
berlimpah sumber daya alam yang mendukung lahir dan berkembangnya keunikan-keunikan
produk budaya, salah satunya batik.
Komentar
Posting Komentar