Banyak di antara kita yang suka menilai dan memikirkan apa yang terlihat dari orang lain bahkan pada orang yang baru kita jumpai. Bukan hal yang salah karena Tuhan memang memberikan kemampuan menilai pada setiap orang. Itu sebabnya pula ada di antara kita yang memiliki kepekaan lebih baik dalam menebak seseorang hanya dengan sebentar saja melihat wajah, struktur bicara atau yang lainnya. Jika tak percaya berarti ilmu psikologi dan sederet cabang forensik lainnya harus segera dibuang ke tempat sampah.
Taman Bungkul Surabaya |
Suatu sore jelang Ramadhan kemarin saya duduk di Taman Bungkul Surabaya, taman yang mendapat predikat sebagai salah satu taman terbaik di ASEAN, meski dalam penilaian saya tempat ini sangat biasa.
Di taman sambil menunggu maghrib saya duduk di pinggir amphiteater mini yang sedang ramai dengan anak-anak bermain futsal. Sebuah buku menjadi teman saya membunuh waktu hingga seorang pria mengajak bicara. Ia sempat saya lihat di sisi lain taman ketika saya baru tiba di Taman Bungkul. Dari penampilan dan apa yang dilakukannya ketika duduk merokok saat itu saya bisa menebak ia hanya sedang mengunjungi Surabaya. Tak ada komunikasi antara saya dan ia sebelumnya sampai kemudian ia tiba-tiba sudah di depan saya dan mengajak bicara. Saya bahkan tidak memperhatikan ia berjalan beralih dari tempatnya duduk untuk mendekati saya.
Singkat cerita saya pun menanggapi perkataannya sampai kemudian ia mengambil duduk di sebelah. Kami mulai berbincang hal-hal berikutnya. Ia mengaku sedang berziarah ke Surabaya dan menceritakan tempat-tempat ziarah yang ia kunjungi selama 2 hari termasuk sebuah makam di Taman Bungkul. Ketika itu saya lebih memilih menjadi seorang pendengar sambil sesekali berkomentar dan bertanya seputar "perjalanan spiritualnya" tersebut.
Semakin lama ia terus bercerita hingga saya mulai tertarik dengan kisah yang keluar dari mulutnya. Apalagi saat ia berkata bahwa ia orang Yogyakarta lengkap dengan cerita rumahnya yang berada di belakang pabrik Madukismo dan keluarganya yang lain tinggal di sekitar Kasongan. Suasana mulai semakin cair, saya tak lagi canggung menanggapi ceritanya. Saya malah sempat iba ketika ia bercerita baru saja bercerai dengan istrinya yang sehari-hari berjualan di Pasar Beringharjo. Dengan tutur bahasa yang mengalir dan sedikit medok khas gaya bicara orang Jogja, ia sesekali tersenyum mengakui bahwa ia sedang galau. Sayapun membalasnya dengan senyum pendek sambil memikirkan kira-kira lagu KAHITNA apa yang cocok untuk cerita hidupnya itu.
Langit semakin gelap, perbicangan kami terus mengalir hingga pria itu mengganti topik perbincangan dengan nasib sialnya di Surabaya. Ia mengaku baru saja kecopetan di sebuah tempat di Surabaya. Tas kecilnya yang berisi dompet diambil seseorang ketika ia sedang menjalankan sholat. Ia pun kehilangan uang, kartu ATM dan sejumlah barang-barang penting lainnya. Ia mulai bercerita dengan suara mendayu bahwa ia belum makan sejak kemarin siang. Ia pun berencana akan numpang tidur di masjid di dalam taman.
Saya mulai kembali canggung menanggapi ceritanya. Apalagi ketika saya menawarkan bekal jajan saya di dalam tas namun ia tak mau menerimanya. Ia justru terus bercerita, kali ini tentang biaya sekolah anaknya. Bahkan ia juga mengeluarkan secarik kertas dengan kop surat kepolisian yang menandakan ia benar-benar kehilangan dompet dan tasnya di Surabaya. Sampai di sini saya marasa bisa menebak ujungnya. Dengan terbata-bata dan agak berputar-putar pria itu akhirnya mengutarakan niatnya ingin meminjam uang kepada saya. Ia mengaku akan mengembalikan uang saya di Yogyakarta. Ia lalu menyuruh saya mencatat nomor HP nya sambil memberikan "ancer-ancer" rumahnya yang berada di belakang pabrik Madukismo. Saat itu saya sempat kebingungan bagaimana harus memberikan jawaban. Dengan sedikit berdiplomasi saya pun berpamitan lebih dulu menuju masjid sambil berkata akan kembali sesudah shalat. Sambil berjalan saya sempat mencuri pandang ke belakang dan pria itu masih duduk terdiam.
Usai shalat maghrib saya tak langsung meninggalkan masjid. Untuk beberapa saat saya melempar pandangan ke sekitar ruang shalat hingga halaman tapi saya tak melihat pria itu. Saya berjalan kembali ke taman, memutar sekali namun tak juga menemukannya. Hari beranjak malam saya berjalan meninggalkan Taman Bungkul menuju sebuah tempat ternama di Surabaya.
----------
Acara usai jam 11 malam sayapun bergegas menyeberang jalan. Beberapa kali menyetop taksi ternyata sudah terisi hingga akhirnya saya mendapatkan sebuah taksi berwarna biru. Saya mengambil duduk di depan bersama sang sopir yang tampak ramah. Sayapun mengatakan tujuan saya dan dibalas oleh sang sopir dengan sebuah pertanyaan: "mau lewat mana, mas?". Okay, sang sopir akhirnya tahu saya bukan orang Surabaya meski saya sempat menyebutkan nama jalan untuk dilewati tapi sang sopir menyarankan melintasi ruas jalan pilihannya. Saya yang sudah kelelahan hanya mengiyakan sambil mengulangi alamat tujuan saya.
Sepanjang taksi melaju sang sopir sangat intens mengajak saya mengobrol, tentang pemilu bahkan tentang keluarganya. Ia terus bercerita dan ketika saya diam ia tak segan meminta tanggapan.
Beberapa menit larut mendengarkan cerita sang sopir, saya hampir lupa untuk melakukan kebiasaan ketika menumpang taksi yakni mencatat nomor taksi dan nama sopir ke dalam draft sms. Sambil tetap menyimak sang sopir bercerita saya mengeluarkan HP dan seketika itulah saya menyadari tak ada nomor taksi dan nama sopir di dasboard di mana biasanya keduanya ditemukan. Saya lantas mengamati beberapa sudut di dalam taksi, ternyata memang tak ada nomor taksi. Mencoba melihat pakaian sang sopir saya pun tak bisa dengan jelas menentukan apakah ia mengenakan seragam atau tidak karena sebuah jaket menutupinya.
Taksi melaju di jalanan yang sepi dan sang sopir terus bercerita menjalin keakraban. Tak lama kemudian laju taksi saya rasakan semakin pelan padahal jalanan tampak lengang. Saya pun mulai merasa ada yang aneh ketika sang sopir tiba-tiba bertanya: "mas sudah ditunggu teman?".
Taksi tanpa nomor, sopir yang terkesan "sok akrab", ketiadaan identitas sopir, jalanan sepi dan laju yang melambat adalah alasan yang cukup untuk seseorang penumpang taksi di malam hari untuk segera waspada. Apalagi ditambah pertanyaan terakhir yang kemudian saya jawab: "iya saya sudah ditunggu 2 teman, Pak". Tentu saya berbohong, tapi jawaban itu spontan keluar dari mulut saya malam itu.
Saya masih tetap memegang HP, mengetik sembarang huruf di draft sms seolah-olah sedang berkomunikasi dengan seseorang. Semua saya lakukan sambil berbincang dengan sang sopir.
Taksi masih berjalan pelan dan saya merasa ini bukan hal yang wajar dengan lengangnya jalanan di depan. Dengan tetap berusaha tampil biasa saja saya mengangkat HP dan menempelkannya di telinga, berkata dengan seseorang di sana untuk beberapa detik lamanya dan menyudahi pembicaraan sambil meminta sang sopir untuk menambah kecepatan karena teman saya sudah menunggu. Mendengar permintaan saya sang sopir menyudahi ceritanya dan pelan-pelan menambah kecepatannya. Sekitar jam 11.30 malam taksi akhirnya berhenti dan menurunkan saya di tempat tujuan. Sesaat sebelum taksi itu melaju pergi saya mencoba mencari nama taksi itu hingga kemudian sayapun merasa lega.
-------------
Kepada bapak yang mengajak saja berbincang di Taman Bungkul, saya tidak tahu apakah bapak benar-benar sedang membutuhkan uang, juga tidak tahu apakah semua yang bapak ceritakan sore itu benar adanya. Maaf juga jika ada rasa curiga terbersit di dalam hati saya ketika itu. Sayangnya saya tidak menemukan anda lagi seusai shalat maghrib sore itu.
Lalu untuk bapak sopir taksi tanpa nama dan nomor yang saya tumpangi malam itu. Terima kasih sudah berbagi cerita sepanjang jalan. Terima kasih telah mengantar saya ke alamat tujuan dengan benar.
Kita sering bisa dengan mudah
menebak watak dan karakter seseorang. Tapi untuk menilainya baik atau
buruk, kita tidak akan pernah lebih tahu.
Komentar
Posting Komentar