Stasiun Gubeng Lama Surabaya. |
Suara pengumuman di stasiun Lempuyangan
Yogyakarta menggema ketika saya sedang membaca buku catatan bersampul coklat.
Agenda-agenda kecil sudah tertulis di sana. Beberapa yang ditandai dengan lingkaran kecil menandakan
tempat-tempat atau hal yang menjadi prioritas saya selama beberapa jam nanti di
Surabaya. Semua sudah direncanakan semenjak 3 hari sebelumnya.
Tapi pengumuman keterlambatan kereta membuat
saya menutup buku catatan itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Kereta
terlambat masuk stasiun selama 1 jam. Memang hanya 1 jam tapi semua yang pernah
naik kereta ekonomi jarak jauh pasti tahu jika kereta terlambat 1 jam maka
selama perjalanan ia akan terlambat datang di stasiun tujuan lebih dari 1jam.
Saat itulah saya menganggap sebagian rencana telah gagal.
Jika tak terlambat saya masih punya waktu 4
jam sebelum bertemu dengan kekasih hati yang hari itu berulang tahun. Waktu 4
jam itu sudah saya niatkan untuk jalan-jalan sendiri mengunjungi sejumlah
tempat makan dan taman di Surabaya. Mulai dari lontong balap, bakso rindu
malam, hingga beberapa depo makan terkenal di jalan Kayoon dan Kutai sudah
menjadi incaran. Kini daftar itu saya coret.
Kereta terlambat memasuki Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. |
Kereta akhirnya tiba. Ditarik lokomotif
berwarna putih, rangkaian gerbong berwana kuning bergerak mendekati barisan penumpang yang
sudah menunggu sejak tadi. Satu di antaranya adalah saya yang menurut manifest
penumpang PT KAI adalah pembeli tiket terakhir untuk kereta itu.
Tak lama kereta menaikkan penumpang di
stasiun Lempuyangan. Beberapa menit kemudian gerbong besi sudah merangkak
kembali. Pelan-pelan meninggalkan stasiun kereta berjalan lebih cepat menuju
Solo.
Selepas Solo kekhawatiran itu terbukti.
Kereta akan terlambat berjam-jam tiba di Surabaya karena selama perjalanan kereta
terus berhenti di beberapa stasiun yang semestinya tidak disinggahi. Bukan
untuk mengangkut penumpang tapi untuk mengalah memberi lintasan kepada kereta
lainnya terutama kelas eksekutif dan bisnis. “Mengalah” adalah resiko yang
harus diterima kereta ekonomi jika sudah terlambat berangkat.
Duduk di kursi 11 C gerbong 5 saya mencoba
menikmati perjalanan. Hari yang yang masih terang memberi keleluasan untuk
melempar pandangan ke seisi gerbong termasuk melongok pemandangan di luar. Ada
banyak ruas perjalanan di mana kereta melewati celah di antara dua bukit yang
membuat saya menebak kereta akan melewati terowongan tapi ternyata tidak.
Sementara pada bagian lainnya kami melintasi persawahan yang tampak indah
terlihat dari balik jendela kereta.
Dari balik jendela |
Kadang ingin melihat baik itu jatuh dan makanannya tumpah. |
Penumpang teman perjalanan. |
Saya adalah tipe orang yang susah tidur
selama perjalanan. Mungkin itu sebabnya pula saya menjadi orang yang gemar
mengamati lingkungan meski saya sebenarnya juga tidak terlalu menyukai
keramaian. Dan gerbong kereta api bagi saya adalah tempat yang menyenangkan
untuk “pengamatan”. Beberapa kali menumpang kereta api saya selalu senang
mengintip kejadian-kejadian di dalam gerbong. Dari hal itulah saya mengerti
beberapa tipe penumpang kereta api mulai dari yang suka tidur hingga suka
makan.
Sepasang penumpang lanjut usia yang duduk
terpisah 2 baris kursi dari saya selama perjalanan, saya mencatat 2 kali mereka
memesan makanan termasuk nasi goreng. Mereka juga memesan pop mie rebus sebagai
cemilan. Saya ingat betul mereka dua kali memesan kopi panas. Dari balik masker
yang menutup hidung dan mulut saya tersenyum mengamati hal itu.
Asli sedang membaca |
Lain penumpang lain pula tabiatnya. Tiga
penumpang di seberang kursi saya mengisi waktu perjalanan dengan
memperbincangkan pilpres. Dengan sangat cair mereka saling berbagi pendapat dan
argumentasi. Untuk beberapa saat saya pun ikut menikmati obrolan mereka. Menurut
pendengaran saya ketiganya sepakat memilih satu calon yang sama, Jokowi. Perbicangan
mereka berakhir ketika salah satu orang di antaranya turun di Madiun.
Hal lain yang saya sukai selama menumpang
kereta api adalah mengamati pekerjaan awak gerbong yang mondar-mandir
menawarkan makanan dan minuman kepada para penumpang. Dengan sigap di atas
gerbong yang melaju mereka selalu sukses membawa baki dengan sejumlah kotak
nasi dan gelas minuman tanpa pernah sekalipun saya melihat ada kejadian mereka
jatuh dan makanannya berhamburan. Kadang pikiran nakal saya menghendaki melihat
kejadian itu.
Saya pernah sekali mencoba makanan yang
ditawarkan awak kereta. Satu kotak nasi goreng yang dihargai 23 ribu dan itu
membuat saya mengumpat dalam hati karena selain rasanya yang tak jelas, juga
porsinya yang sangat sedikit dan tidak lagi hangat. Saya sempat berfikir jika
ada orang yang punya obsesi menjadi chef tapi tak cukup pandai memasak, maka
PT. kereta api bisa mewujudkan mimpi mereka.
Jombang. |
Penumpang yang hendak naik. |
Asyik mengamati aktivitas penumpang lainnya,
saya justru agak terganggu dengan 2 penumpang di kursi yang sama dengan saya.
Mereka berdua naik dari stasiun Lempuyangan. Beberapa saat setelah duduk saya
langsung bisa menebak mereka adalah pasangan dan lebih spesifik lagi mereka
adalah anak pecinta alam. Tentu siapapun yang punya pengalaman organisasi di
kampus bisa membedakan tipe-tipe aktivis mahasiswa mulai dari yang “anak BEM”,
pegiat seni sampai pecinta alam, semua ada ciri spesifiknya.
Yang membuat saya terganggu dengan pasangan
ini adalah “kelakuan” duduknya. Mentang-mentang pasangan, mereka duduk saling
menyerong untuk bisa saling berhadapan. Posisi duduk menyerong ini membuat saya
yang berada di pinggir hanya mendapatkan secuil alas duduk. Ironisnya mereka
tak cukup peka dengan perbuatan mereka untuk berbagi tempat duduk secara layak.
Tak hanya itu mereka juga cenderung berisik dengan bermain tebak-tebakan,
saling memegang tangan, dan gimmick-gimmick ala pasangan ABG padahal mereka
bukan ABG.
Fokus kamera ke pria bertopi. |
Kereta terus bergerak meski tak cepat. Di
beberapa stasiun ular besi ini harus berhenti lagi menunggu kereta dari arah
Surabaya melintas. Selama itu pula saya masih terjaga mengamati suasana
gerbong. Termasuk penumpang tepat di depan saya yang membawa cukup banyak
barang yakni dua buah kardus, satu karung dan dua tas. Ia hendak menengok
kampung halamannya setelah sekian lama merantau di Purwokerto.
Kereta api memang menjadi pilihan utama dan
masih yang terbaik bagi banyak orang yang hendak bepergian jauh dengan membawa
banyak barang. Tak heran jika tempat tas yang berada di atas kursi selalu sesak
dengan barang bawaan penumpang. Jika masih kurang lorong-lorong di antara deret
kursi termasuk di samping toilet bisa digunakan untuk meletakkan barang-barang.
Beberapa jam kereta sudah melaju tapi
Surabaya masih jauh di depan sana. Saya menyimpan kamera dan mengeluarkan buku
dari dalam tas. Ketika bepergian sebisa mungkin saya membawa satu atau dua buku
di dalam tas. Jenis bukunya apa saja tapi biasanya buku yang belum tuntas saya
baca.
Kereta memasuki stasiun Jombang. Di sini
sejumlah penumpang turun digantikan beberapa penumpang yang naik. Melihat
tulisan di bangunan stasiun mendadak saya pun ingin turun. Di Jombang Pak De
saya tinggal dan bekerja. Tapi kali ini tujuan saya adalah ke Surabaya untuk
bertemu cinta.
Satu setengah jam meninggalkan Jombang,
kereta memasuki Surabaya. Pemandangan khas kota besar langsung tampak di tepian
rel kereta. Deretan rumah dan gubuk terbuat dari triplek dan seng berjajar
sementara di belakangnya gedung-gedung besar dan tinggi berdiri angkuh.
Surabaya di pinggiran rel. |
Gubeng yang sepi. |
Menumpang Ojek, Mengejar cinta. |
Tujuh jam berlalu, kereta akhirnya tiba di
Stasiun Gubeng lama Surabaya. 24 Juni 2014, kaki inipun turun menginjak
lantainya. Dari mushola yang berada di ujung stasiun saya melangkah lagi ke
ujung lainnya tempat pintu keluar. Dihantar tukang ojek yang belakangan saya
tahu telah membayar 5000 lebih mahal dari yang seharusnya, saya masih punya
waktu 2 jam untuk bertemu dengan cinta yang sudah menunggu di sebuah tempat di
kota Surabaya. Cinta saya itu ada di sini.
Jadi merindu naik kereta
BalasHapusAyo Mas Cumi, Saya minggu lalu sdh naik kereta lagi ke Jkt! ^^ Matur nuwun mampir
Hapus