Cirebon
adalah satu dari beberapa daerah di Indonesia yang memiliki sejarah panjang
sebagai kasultanan. Di masa lalu Kasultanan Cirebon merupakan salah satu pusat
kebudayaan sekaligus simpul perkembangan agama Islam di Jawa. Peran strategis Kasultanan
Cirebon mungkin bisa disejajarkan dengan pengaruh Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta terhadap perkembangan Jogja dan Solo beserta budayanya.
Namun itu dulu. Kini Kasultanan Cirebon kerap
disebut tak lebih dari sebuah kerajaan yang eksistensinya hanya mewujud secara
fisik, sementara kharismanya kian lama kian pudar. Bangunan keraton memang masih berdiri dan dipimpin pewaris tahta kasultanan.
Tapi soal eksistensi budaya dan pengaruh keraton terhadap kehidupan masyarakat,
nasib Kasultanan Cirebon tak sebaik Yogyakarta atau Surakarta sekalipun.
Dalam sejarahnya, Keraton Kanoman adalah pusat
agama Islam di Kasultanan Cirebon yang pengaruhnya sampai ke beberapa daerah di
Jawa Barat. Tapi Keraton Kanoman juga menjadi bagian dari awal redupnya kharisma
Kasultanan Cirebon. Perpecahan Kasultanan Cirebon yang dimulai tahun 1677 menghasilkan
Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan. Konflik internal kembali melanda Keraton
Kanoman hingga kembali pecah menghasilkan Keraton Kacirebonan sebagai
pecahannya. Zaman berganti, konflik perebutan tahta terjadi di dalam tubuh
Keraton Kanoman. Pada tahun 2003 ada 2 pewaris yang sama-sama merasa sah
sebagai Sultan Kanoman XII.
Seiring dengan itu semua pengaruh dan
kharisma keraton terus memudar. Eksistensi kebudayaan Keraton Kanoman semakin meredup. Kesan itu bisa saya rasakan saat mengunjungi
Keraton Kanoman akhir Maret 2014 lalu. Beginilah
kondisi dan suasana terkini Keraton Kanoman Cirebon.
Berada
di balik Pasar Kanoman, Keraton Kanoman memang terkesan tersembunyi. Bagi yang
pertama kali datang, tidak akan mengira jika kompleks di belakang pasar itu
adalah sebuah keraton. Bukan tanpa alasan fasad pasar dengan temboknya yang
tinggi dan ramai begitu kontras dengan suasana sehari-hari Keraton yang ”sepi”.
Akses utama dan satu-satunya menuju Keraton Kanoman juga harus melewati pintu
masuk pasar.
Keberadaan pasar tradisional di lingkungan
keraton bukan hal yang aneh. Di sejumlah daerah di mana budaya kesultanan
tumbuh dan berkembang seperti Yogyakarta dan Solo, keraton identik dengan pasar
gedhe yang merupakan kesatuan tak terpisahkan dalam kebudayaan keraton. Demikian juga dengan Pasar Kanoman. Sayang penataannya yang kurang baik telah
mengganggu dan mendegradasi kesan agung Keraton Kanoman.
Ujung
pasar yang langsung berhadapan dengan halaman muka keraton menjadi etalase yang
kurang baik bagi lingkungan keraton yang identik dengan keteraturan, kerapian, dan
kebersihan.
Halaman agak lapang di antara pasar dan keraton itu boleh dikatakan semrawut
dengan parkir pengunjung pasar dan sejumlah lapak pedagang yang kurang tertata.
Kondisi rumput dan tanah di sekitarnya seperti pekarangan kurang yang terurus.
Di beberapa bagian genangan air dan sampah tak bisa disembunyikan dari
pandangan mata.
Tiba di kompleks Keraton Kanoman, kita langsung
menjumpai sebuah tanah lapang yang luas dengan sejumlah bangunan ikonik. Kompleks
ini sering disebut alun-alun yang batasnya dengan bagian belakang Pasar Kanoman
hanya dibatasi dengan pagar besi dan tembok yang terlalu tinggi.
Seluruh
bangunan dan tembok di kompleks depan
Keraton Kanoman ini dicat dengan putih. Di tengahnya ada beberapa jalur setapak yang membelah
tanah berumput sebagai penghubung antar bangunan. Jalur setapak itu hanya
dipagari pagar dengan bilah-bilah bambu setinggi 50-an cm. Awalnya saya mengira
ini adalah kompleks makam namun rupanya bagian ini adalah kompleks agung di
mana sultan dahulu biasa manyapa dan bertemu rakyatnya.
Ada
sejumlah bangunan unik di bagian ini. Di tengah kompleks terdapat sebuah
bangunan pendopo yang terbuat dari kayu jati bercat coklat tua. Melihat kondisinya,
pendopo ini sudah lama tak digunakan. Selain lantai yang penuh debu, seluruh
sisinya juga tertutup pagar kayu. Di
sisi luar kompleks bersambungan dengan tembok-tembok bata, ada sebuah gapura
tinggi dengan ujung meruncing menjadi gerbang di bagian samping. Tak jauh
dari situ bangunan ikonik menyerupai
L’Arc de Triomphe-nya Prancis menjadi penghubung menuju kompleks utama Keraton
di bagian dalam.
Namun untuk masuk ke kompleks utama Keraton
saya harus melewati bagian lain. Sebuah
pintu di sisi samping dengan tembok tinggi yang berlumut menjadi akses bagi
siapapun untuk menuju bagian dalam Keraton Kanoman. Tak ada retribusi tiket
masuk dan tak ada penjagaan petugas keraton. Siapa saja bisa masuk, bahkan
pedagang asongan sekalipun.
Suasana teduh menyambut saya di bagian dalam.
Sebuah pohon beringin besar dengan beberapa taman kecil dan pohon mangga hutan
di sekitarnya menjadi pemandangan hijau yang kontras dengan kompleks bagian
depan yang panas dan terkesan suram.
Dimulai dari Bangsal Jinem yang berada tepat di depan pohon beringin. Bangunan
seperti pendopo dengan tiang-tiang kayu bercat hijau melambangkan nuansa Islami
yang lekat dengan Keraton Kanoman. Bangsal Jinem adalah tempat keluarga Keraton
menerima tamu. Beberapa meja dan kursi tertata di tengah-tengah bangsal. Di
atasnya ada sebuah lampu gantung.
Dari bangsal saya dihantar masuk ke Ruangan Tahta persis di balik Bangsal
Jinem. Agak segan melangkah ke dalam, bapak pemandu dengan tegas mempersilakan
saya masuk dan kembali menceritakan beberapa penggal sejarah Keraton Kanoman.
Pada dinding ruangan tahta tersebut terdapat beberapa ornament unik berwarna
hijau muda, emas dan merah. Di kedua sisi yang mengapit tahta terdapat cekungan
yang menurut cerita merupakan bekas kolam yang airnya digunakan saat
upacara-upacara adat Keraton.
Ada yang menarik selama sang bapak memandu
saya mengunjungi bagian-bagian keraton. Beberapa kali ia mengucapkan kata
“maaf” untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang saya ajukan. Mungkin beliau
merasa perlu menekankan untuk membandingkan karena saya datang dari Yogyakarta
yang institusi keratonnya masih kuat dan diakui. “Maaf, mohon maklum karena pewaris
tahta sekarang jaraknya sudah jauh, maka beberapa adat dan budaya di sini sudah
tidak terlalu kuat”. Penjelasan
itupun sedikit banyak mengklarifikasi eksistensi Keraton Kanoman. Termasuk
soal abdi dalem. Menurut beliau dahulu Keraton Kanoman juga memiliki abdi
dalem. Namun kini tak ada lagi. Selain jumlahnya yang berkurang, keraton juga
tak memiliki dana untuk membayar gaji abdi dalem. Oleh karena itu beberapa
orang pemandu di Keraton Kanoman saat ini bekerja secara sukarela dan tidak
mengenakan pakaian tradisi keraton.
Namun
demikian Keraton Kanoman masih menjalankan beberapa adat istiadat dan pepakem seperti tradisi
Grebeg Syawal, Pembacaan Babad Cirebon dan upacara Panjang Jimat. Pejabat pemerintahan
Cirebon juga disebut masih sering datang untuk bersilaturahmi dan meminta restu
keluarga keraton.
Meninggalkan bangsal dan ruang tahta, saya menuju
sebuah bangunan setengah terbuka di sisi utara. Suara gamelan dan celoteh anak
dari tempat itu sudah menarik perhatian saya semenjak datang. Bangunan itu adalah Sanggar Kemuning tempat
anak-anak dari warga sekitar Keraton belajar menari dan memainkan gamelan.
Hampir setiap hari di siang sampai sore hari sanggar itu ramai dengan aktivitas
anak-anak. Rupanya di tengah surutnya eksistensi keraton, semangat merawat
budaya terus berusaha dipupuk.
Di
samping sanggar terdapat Gedung Pusaka yang menyimpan koleksi pusaka dan benda
bersejarah warisan Keraton Kanoman dan Kasultanan Cirebon. Untuk masuk ke
dalamnya pengunjung dikenakan biaya perawatan koleksi.
Meski tersembunyi di balik pasar, kompleks
Keraton Kanoman memang cukup terbuka. Sepintas ini menunjukkan sifat keraton
yang egaliter dan menyatu dengan masyarakat. Namun ketika kita menjumpai
kotoran ayam di Bangsal Jinem dan gerobak pedagang asongan dengan leluasa
berjualan di dalam kompleks utama keraton, kita bisa melihatnya sebagai sesuatu
yang semestinya tidak terjadi. Raut
wajah Keraton Kanoman memang sayu. Semoga
keraton ini bisa lestari dan menguatkan kembali kharismanya yang pudar.
Komentar
Posting Komentar