ART JOG adalah pagelaran, pameran sekaligus bursa seni rupa
kontemporer yang menjadi etalase bagi perkembangan seni dan pencampaian yang
telah diciptakan oleh para seniman termasuk di antaranya pencapaian kreatif
para seniman muda berbabakat tanah air. ART
JOG adalah art fair di mana para seniman berkumpul untuk berkreasi menyampaikan
pesan tertentu yang dihantarkan melalui media karya seni rupa yang mengagumkan.
Sementara itu masyarakat awam diajak membaca pesan tersebut tanpa keharusan untuk
sepakat dengan suara dibawa oleh setiap karya. Meski pada akhirnya mereka semua
merayakannya bersama.
Tak sembarang karya bisa ditampilkan di ART JOG
2014. Menerapkan seleksi yang profesional dan kurasi yang ketat, ART JOG disebut-sebut sebagai yang terbaik
di Asia Tenggara dalam hal kualitas kurasi. Tak heran jika ART JOG telah
menjadi magnet dan agenda seni rupa kontemporer di Asia berkat karakternya yang
unik.
KABINET GONI |
Kabinet Goni,
itulah judul karya utama yang menjadi Commision Work ART JOG 2014. Karya
Samsul Arifin ini adalah tafsir para wakil rakyat yang menduduki kabinet
pemerintahan. Dengan berpose di depan istana mereka tampil sebagai sosok yang
seolah-seolah cerdas dan bijaksana. Namun kenyataannya menggelikan. Melalui
media karung goni, para anggota kabinet
diwujudkan dalam boneka-boneka penuh coretan, jahitan bahkan ada yang
mengenakan topeng dan bom layaknya pembunuh. Wajah dan pose mereka ditampilkan
beragam. Yang menggelitik adalah tampilnya wajah tikus di barisan terdepan
Kabinet Goni. Tak banyak deskripsi yang disertakan dalam keterangan Kabinet
Goni, masyarakat bebas untuk menerjemahkannya. Tapi siapapun yang melihat kabinet
ini berdiri di depan Istana, lalu ada yang berwajah tikus di dalamnya, pasti bisa
membaca pesan dan sindiran yang disampaikan oleh Kabinet Goni ini. Pedas layaknya satir, itulah Kabinet Goni.
Apa yang ditampilkan Kabinet Goni adalah benang merah dari
ART JOG 2014. Secara cerdas pagelaran ini mengusung tema “Legacies Of Power”, sebuah pesan penuh makna sekaligus sindiran kepada bangsa
Indonesia menjelang pergantian kekuasaan. Legacies
of Power adalah cara seniman dan ART JOG untuk mengkritisi praktik dan produk demokrasi
di Indonesia termasuk kusutnya wajah kepemimpinan nasional Indonesia menjelang
Pemilu 2014.
WARISAN KOTA HANTU |
ZOO |
ART JOG secara cerdas menggali serta
menampilkan wajah demokrasi dan kepemimpinan Indonesia yang kusut. Itu sebabnya
pula saat baru masuk ke dalam ruang pamer kita langsung disambut oleh sejumlah
karya yang telak menyindir. “Istana Tanpa Jendela”
karya Erianto. Lukisan akrilik di atas kanvas berukuran 170x52x9 cm ini tanpa
basa-basi mengkritik Indonesia yang selama ini gencar berdemokrasi dengan
mengadopsi prinsip-prinsip negara barat padahal sebenarnya bukan itu yang
dibutuhkan. Indonesia perlu memikirkan sendiri demokrasi yang sesuai dengan
jati dirinya. Dengan kata lain Indonesia telah terjebak dalam trend demokrasi
dari luar sementara jati diri bangsa secara jelas sudah berbeda. Boleh jadi
inilah simpul pertama kusutnya demokrasi di negeri ini.
Berikutnya ada “Zoo” karya Dedy
Sufriadi. Lukisan akrilik di atas kanvas berukuran 195x400 cm ini memuat unsur
teks, harus, bentuk dan warna yang mengekpresikan gugatan atas masalah-masalah
di bidang ekonomi, politik, budaya hingga kekuasaan. Lalu mengapa diberi judul
“Zoo”?. Namanya juga gugatan.
SANG SAKSI SEJARAH |
PLAY WOOD INSTALLATION |
CHOOSE THE CHAIR |
Yang tak kalah unik dan menggelitik
adalah “Teather of Pain” karya Aqid AW. Di atas panel aluminium
berbingkai kayu karya ini mengkompilasi foto semua kandidat anggota DPR dalam
pemilu 2014 yang berjumlah 6606 orang. Theater of Pain menjadi mozaik
kemanusiaan tentang manusia yang memiliki harapan dan cita-dita namun tak
sedikit di antara mereka yang akhirnya sedih, kecewa bahkan gila sementara yang
lainnya gembira.
Wajah demokrasi dan kepemimpinan
Indonesia juga ditampilkan dalam “Menuju ke Masa Lalu” karya dari
Yudi Sulistyo. Dengan sangat menarik dan penuh simbolisme instalasi ruang ini
berupa tiruan lokomotif kereta berukuran 179x732x62 cm. Uniknya kereta di atas
rel tersebut diposisikan sedang berjalan mundur dengan lokomotif menjauhi sudut
pandang pengunjung. Simbolisme ini mengandung makna sistem pemerintahan
Indonesia yang diam-diam sedang dan telah mengalami kemunduran dengan hadirnya
lagi sistem feodal yang ditandai hadirnya lagi orang-orang lama dan aktor-aktor
politik yang terbukti di masa sebelumnya tak membawa perbaikan bagi Indonesia.
Ada juga karya penuh renungan
berjudul “Gemah Ripah Loh Jinawi” dari David Armi Putra. Dengan media
kanvas dan akrilik karya ini berusaha mengkritik demokrasi Indonesia yang hanya
disibukkan dengan kekuasaan dan
pergantian pemerintahan. Sementara tujuan demokrasi yang seharusnya
mensejahterakan rakyat entah ada di mana. Sialnya di saat yang sama bangsa ini
justru jatuh ke dalam pelukan kapitalisme. Perubahan adalah sesuatu yang harus
segera dilakukan Indonesia, caranya adalah meninggalkan kapitalisme dan
melupakan demokrasi gaya barat.
Instalasi ruang berjudul “Mind and Boxes” juga syarat dengan
simbol namun tetap kritis. Dalam karya ini Olga Rindang Amesti memasang belasan
kotak kayu dengan bonek-boneka diletakkan di dalamnya. Ada juga kotak-kotak
kayu dan boneka yang berserakan di lantai. Karya ini adalah simbol dari gejolak
pergantian pemimpin yang memunculkan perilaku politik dan calon pemimpin dalam
kotaknya masing-masing. Mereka datang dari partai dan kotak yang berbeda-beda
namun seharusnya satu tujuan yakni demi rakyat Indonesia. Sayangnya para calon
pemimpin itu hanya pamer polah dan tingkah.
Jika sejumlah karya menampilkan simbol yang agak
njlimet, maka karya berjudul “Choose The Chair” tanpa basa-basi
menampilkan sebuah display sebuah kotak dengan LES yang menyorot sejumlah
bentuk kursi berlapis uang. Ada beragam bentuk dan ukuran kursi namun semuanya berselimut
lembaran uang. Dengan sangat gamblang simbolisme ini menunjukkan alasan mengapa
banyak orang berebut kursi kekuasaan sekaligus dengan cara apa mereka merebut
kursi-kursi itu.
WIN (D) RHTYHM |
Banyak display unik yang mengejutkan
batas kreativitas orang awam. Seperti misalnya “Play Wood Installation” karya
Ichwan Noor . Karya inisecara luar biasa menggabungkan ribuan potongan limbah
kayu untuk membentuk tiruan mobil Formula 1 lengkap dengan pembalap di
dalamnya. Dengan dimensi 495x180x108 cm, karya ini nyaris menyerupai mobil F1.
Tapi karya Ichwan ini pun sesungguhnya mengandung kritik mendalam terhadap
budaya global era kini yang mengagungkan go
green tapi di sisi lain menampilkan praktik bisnis dan persaingan berorientasi
laba.
Selanjutnya ada karya Midori Hirota
dari Jepang yang berjudul “Sang Saksi Sejarah”. Karya ini
berupa instalasi ruang dengan 150 potret wajah orang Indonesia yang ditata dan
disusun sangat manis pada dinding. Orang-orang dalam potret itu adalah saksi
dari sejumlah perubahan yang sudah berlangsung di Indonesia selama
bertahun-tahun. Bersama 150 potret tersebut, Midori meletakkan sebuah meja dan
4 kursi kayu di atas sebuah karpet di sudut ruang. Apa pesannya?. Mungkin
Midori ingin mengajak setiap orang untuk mendiskusikan perubahan dan tidak
melupakan sejarah.
Win (d) Rhythm
karya Edwin R. juga menarik. Ia menampilkan instalasi dari aluminium, rotan,
pasir dan material lain untuk membentuk karya menyerupai rumpun ilalang. Karena
ringan intalasi ini akan menghasilkan denting bunyi dan gerakan layaknya tarian
jika tertiup angin.
GEMAH RIPAH LOH JINAWI |
MIND AND BOXES |
MENUJU KE MASA LALU |
ISTANA TANPA JENDELA |
Yang menarik lainnya adalah karya “Untitled”
dari Leonardiansyah Allenda berupa intalasi dalam ruang gelap dengan sebuah
sorot cahaya menerangi sejumlah sepatu dan benda berwarna emas yang tergantung.
Karya ini terinspirasi oleh masalah-masalah yang terjadi di sektor pertambangan
mineral Indonesia.
LUBANG BUAYA |
WARRIOR |
PROMISES |
ART|JOG|2014 “Legacies of Power” memang telah menampar wajah demokrasi dan kepemimpinan
Indonesia yang sayangnya tak pantas untuk dirayakan. Korupsi dan bobroknya
partai politik adalah etalase nyata dari “hasil” demokrasi Indonesia selama
ini. Itu kata ART JOG 2014.
UNTITLED |
Komentar
Posting Komentar