Akhirnya saya kembali merasakan naik kereta
api. Layanan
kereta api memang bertambah baik, terutama pada kebersihan, ketertiban dan
fasilitas gerbong. Misalnya, kini di gerbong termurah pun yakni ekonomi
tersedia dua kontak listrik di setiap dua pasang bangku. Pendingin udara di
setiap gerbong juga lumayan membuat nyaman, berbeda pada tahun 2012 saat saya
merasakan putaran kipas angin tak cukup mengusir gerah berkepanjangan. Kamar
mandinya pun kini lebih manusiawi, setidaknya secara berkala ada petugas yang
membersihkan dan memberikan pengharum selama kereta berjalan.
Namun dari banyak perubahan layanan di atas
gerbong kereta, satu hal yang patut dicermati adalah keberadaan pedagang
asongan. PT. KAI melalui beberapa daerah operasi dan stasiun-stasiun di wilayah
operasionalnya masing-masing menerapkan kebijakan yang cukup revolusioner
tentang pedagang asongan di dalam stasiun termasuk di dalam peron, ruang tunggu
dan gerbong kereta. Tentu saja kebijakan ini berujung pada penolakan. Beberapa
bulan di awal penerapan kebijakan ini demonstrasi dan protes para pedagang
asongan terjadi di banyak stasiun. Namun PT. KAI kukuh pada keputusannya untuk
merapikan dan menertibkan stasiun termasuk untuk meningkatkan kenyamanan
penumpang selama perjalanan.
Di luar penolakan para pedagang asongan,
kebijakan ini juga mengagetkan banyak penumpang pada awalnya. Ada yang setuju,
ada yang keberatan, tapi ada juga yang menganggap ada tidaknya pedagang asongan
di atas gerbong tidak berpengaruh kepada kenyamanan perjalanannya.
Lalu apakah kereta api kini telah benar-benar
bebas dari pedagang asongan?.
Semua foto dalam tulisan ini adalah suasana
gerbong kereta api senja Bengawan yang saya tumpangi dari Yogyakarta pada
Jumat, 28 Maret 2014 yang lalu. Kereta Bengawan adalah satu dari beberapa
kereta lintas selatan yang melayani relasi Solo-Jakarta PP. Pedagang asongan
tetap bisa masuk ke dalam stasiun dan menaiki gerbong. Sebelumya pada akhir
tahun 2013 saya beberapa kali menumpang kereta api bisnis Senja Utama dan
kereta ekonomi Bogowonto. Kondisinya tak jauh berbeda, pedagang asongan tetap
bisa dijumpai di dalam gerbong meski tidak terlalu banyak.
Jadi seperti apa sebenarnya penerapan
kebijakan penertiban pedagang asongan di lingkungan stasiun dan di dalam
gerbong ini diterapkan?. Setiap Daerah Operasi (Daop) dan stasiun sepertinya
menerapkan kebijakan pedagang asongan dengan ketentuan yang berbeda-beda. Boleh
jadi ada beberapa stasiun yang tegas mengusir pedagang asongan, sementara Daop
atau stasiun lain mengambil kompromi dengan tetap memperbolehkan pedagang
asongan naik ke dalam kereta dengan beberapa ketentuan. Hasilnya hingga kini kereta
api sebenarnya tak benar-benar bebas dari pedagang asongan.
Di stasiun Lempunyangan Yogyakarta misalnya,
pedagang asongan bisa masuk ke dalam ruang tunggu dan naik ke dalam gerbong
ketika kereta berhenti. Para pedagang itu mengenakan seragam dengan warna hitam
dan merah. Yang mereka jajakan sama dengan pedagang asongan kereta era
sebelumnya, mulai dari minuman dingin, minuman panas, bakpia, mie siap saji
hingga nasi bungkus. Para pedangan itu menyisir setiap gerbong menghampiri
penumpang yang mungkin berniat membeli. Mereka menyudahi aktivitas berjualan
ketika kereta hendak berangkat.
Ada yang menarik dari keberadaan pedagang
asongan di stasiun Lempuyangan ini Melihat mereka bisa memasuki ruang tunggu
penumpang hingga gerbong dengan mengenakan seragam mungkin saja para pedagang
itu telah berstatus legal. Seragam yang mereka kenakan menjadi semacam boarding
pass untuk berjualan. Mungkinkna mereka dipungut uang izin untuk tetap bisa
berjualan di atas gerbong meski hanya selama kereta berhenti?. Jika benar, apakah ini berarti para pedagang asongan di
stasiun Lempuyangan telah dikapitalisasi oleh pihak stasiun atau yang lainnya?.
Saya tak tahu pasti jawabanya, tapi kapitalisasi memang tidak selalu jelek.
Untuk beberapa kepentingan kapitalisasi bisa
saja dibolehkan. Kapitalisasi pedagang asongan di stasiun mungkin salah satu
bentuk kompromi atau jalan tengah agar para pedagang asongan tidak kehilangan
sumber penghidupannya. Sebagai konsekuensinya mereka harus mau diatur dan
berkoordinasi dengan pihak stasiun dengan beberapa kesepakatan misalnya hanya menjajakan
di dalam gerbong saat kereta berhenti atau hanya boleh berjualan dari luar
pintu gerbong.
Meninggalkan Stasiun Lempuyangan kereta
kemudian berhenti di beberapa stasiun. Pemandangan yang sama pun kembali terjadi,
para pedagang asongan kembali masuk menjajakan aneka makanan, minuman dan
oleh-oleh khas daerah di mana stasiun itu berada. Kali ini para pedagang
asongan itu tak mengenakan seragam. Meski jumlahnya tak banyak, tapi mereka
juga tetap bisa menyisir gerbong.
Namun di beberapa stasiun dengan daerah
operasi berbeda pedagang asongan benar-benar tak dijumpai baik di dalam perong,
ruang tunggu maupun di dalam gerbong. Stasiun Purwokerto adalah salah satu
stasiun yang bebas dari pedagang asongan di dalam ruang tunggu dan gerbong. Di
stasiun Purwokerto pedagang asongan hanya boleh berjualan di bagian luar
stasiun seperti tempat parkir dan di sekitar loket tiket.
Hal ini menunjukkan bahwa ternyata setiap
stasiun dan daerah operasi kereta api menerapkan kebijakan pedagang asongan
dengan kelonggaran yang berbeda. Apakah hal tersebut berdampak baik?. Pedagang
asongan di dalam kereta mungkin memang menganggu bagi sebagian penumpang, namun
banyak juga penumpang yang menunggu-nunggu kehadiran mereka. Makanan dan minuman
yang mereka jajakan adalah teman perjalanan yang nikmat. Meski para pedagang
asongan sering menjual makanan dan minuman dengan harga di atas standar, namun
jajanan mereka masih lebih murah dibanding harga jajanan yang sama yang
disediakan oleh petugas kereta.
Ketiadaan pedagang asongan membuat PT. KAI
“memonopoli” pasar di atas gerbong. Hal ini tidak menjadi persoalan andaikan
makanan dan minuman yang disediakan oleh petugas KAI di dalam gerbong dijual
dengan harga yang tidak terlalu mahal. Bayangkan sepiring nasi goreng ala PT.
KAI dengan porsi kecil dijual dengan harga Rp. 23.000-25.000. Begitupun dengan
teh panas dalam gelas plastik seukuran cangkir dijual Rp. 5.000.
Sebaliknya, memperbolehkan para pedagang
asongan dengan ketentuan yang tidak transparan membuat “kapitalisasi” pedagang
asongan berpotensi menjadi lahan pungutan liar atau korupsi. Hal ini bisa
terjadi jika para pedagang asongan di beberapa stasiun harus membayar sejumlah
uang izin untuk bisa berjualan di dalam gerbong atau peron.
Para pedagang asongan itu sama dengan para
banyak penumpang kereta, sama juga dengan para petugas yang menyertai
perjalanan kereta. Mereka semua adalah orang-orang yang menjadikan gerbong
kereta sebagai sumber penghidupan. Mereka berjualan di malam hari dengan
harapan mendapatkan rupiah untuk uang saku sekolah anak di pagi hari dan makan
di siang harinya. Oleh karena itu kebijakan pedagang asongan ala PT. KAI
sebaiknya dipertegas batasannya kecuali
jika setiap daerah operasi dan stasiun bebas membuat aturan sendiri-sendiri.
Komentar
Posting Komentar