Langsung ke konten utama

Blusukan ke Pasar Kanoman Cirebon

Sebelum berangkat ke Cirebon, pasar ini sudah saya tandai sebagai destinasi untuk dikunjungi. Saya ingin membuktikan bahwa keberadaan pasar gede selalu menjadi pengikat antara keraton dan masyarakatnya. Beberapa referensi yang saya baca menyebutkan pasar gede menjadi “tetenger” alias penanda sebuah keraton di Jawa. Pasar dalam kebudayaan keraton adalah perwujudan kemakmuran rakyat yang menjadi tanggung jawab raja atau sultan. Di Yogyakarta tetenger itu ada pada Pasar Beringharjo. Sementara di Surakarta ada Pasar Gedhe Hardjonegoro. Dan ternyata pasar gede penanda keraton juga dimiliki oleh Cirebon, yaitu Pasar Kanoman.
Pasar Kanoman berjarak sekitar 3 km dari pusat kota Cirebon. Dari ujung Jalan Karanggetas dan Pasuketan, Pasar Kanoman berada di sudut kampung Pekalipan. Sejumlah pedagang kaki lima dan makanan yang memadati trotoar Jalan Pasuketan menjadi penanda kawasan Pasar Kanoman.
Layaknya sebuah pasar gede, Pasar Kanoman juga memiliki keistimewaan tersendiri. Seperti yang saya sebutkan di awal, pintu masuk Pasar Kanoman yang membelah dua bagian pasar juga menjadi akses utama menuju Kraton Kanoman. Pasar Kanoman persis bersambungan dengan keraton. Hal ini cukup unik karena di Yogyakarta dan Surakarta pasar gedhe terpisah ratusan meter dari keraton.


Sayangnya kondisi lalu lintas di Pasar Kanoman sangat semrawut. Jalan di depan pasar nyaris kehilangan fungsinya karena digunakan sebagai akses kendaraan, tempat parkir sekaligus lapak pedagang kaki lima secara berbarengan. Di pagi hingga jelang tengah hari jalanan tersebut sangat sesak hingga untuk berjalan kaki saja saat itu saya harus memiringkan badan melewati celah di antara lapak PKL dan kendaraan baik yang terparkir maupun melaju. Kondisi ini ternyata sudah lama dikeluhkan wisatawan karena akhirnya ikut menenggelamkan keraton yang menjadi susah dijangkau kendaraan.
Keistimewaan berikutnya dari Pasar Kanoman adalah fasad bangunannya yang bergaya kolonial. Meski separuh bagian luar tertutup oleh lapak pedagang, namun bentuk dan rupa dinding pasar yang menjulang tinggi bercat putih masih nyata dijumpai. Sementara sebuah gapura besar melengkung menjadi mulut gerbang masuk pasar. Sayangnya kesan gagah dari bentuk luar itu tak dijumpai di bagian dalamnya yang semrawut dan gelap di beberapa bagian. Beberapa lapak pedagang mengambil ruang hingga ke jalan di pinggir lorong. Beberapa barang dagangan bahkan diletakkan di atas jalan.
Yang menarik lainnya adalah komoditas yang dijual oleh sejumlah pedagang. Selain menyediakan kebutuhan pokok layaknya pasar tradisional, yang mencolok dari Pasar Kanoman adalah para penjual ikan dan hasil laut lainnya. Bukan hal yang mengejutkan karena Pasar Kanoman tidak terlalu jauh dari pelabuhan.


Penjual ikan, cumi dan udang banyak dijumpai di Pasar Kanoman. Aneka jenis udang dari yang berukuran besar, sedang hingga kecil dijajakan para penjual dalam wadah-wadah yang diletakkan berjajar. Demikian halnya dengan cumi-cumi meski jumlahnya tak sebanyak udang.


Di bagian lain sejumlah penjual menjajakan aneka jenis ikan dalam kondisi segar. Namun ada juga yang menjual daging olahan seperti ikan asap dan pepes. Penggemar ikan asin juga bisa menemukan berbagai jenis ikan asin yang sudah dikeringkan untuk siap digoreng. Beruntung banyak penjual hasil laut berada di sisi pasar yang terbuka sehingga bau menyengat dari aneka ikan dan seafood tersebut tak terlalu menyengat.
Selain ikan, Pasar Kanoman juga dikenal menyediakan banyak buah-buahan lokal. Dan memang banyak sekali penjual buah-buahan baik di dalam pasar maupun di trotoar menuju pasar. Saya sempat berfikiran masyarakat Cirebon sangat gemar memakan buah mengingat sangat banyak dijumpai penjual pepaya dan pisang di area pasar.
Keberadaan Pasar Kanoman sangat menarik bagi sebuah kota pelabuhan yang sekaligus mewarisi budaya kesultanan. Sayangnya kondisi semrawut dan fasad bangunannya yang tampak kumuh di beberapa bagian membuat keistimewaan Pasar Kanoman tampak pucat. Penataan dan revitalisasi Pasar Kanoman rasanya sudah sangat diperlukan, bukan hanya sebagai pusat perdagangan tapi juga meletakkan kembali fungsinya sebagai penyambung masyarakat dan keraton.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu...

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan...

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk...