Sedari semalam hingga pagi ini saya banyak
mendengarkan cerita dan penuturan komunitas Tionghoa tentang Imlek melalui RRI
Pro 3 Jakarta yang banyak menyiarkan wawancara terkait hal itu. Sejumlah tokoh
komunitas masyarakat Tionghoa dari berbagai daerah seperti Solo, Bekasi hingga
Palembang menyampaikan ceritanya. Juga tokoh muslim Tionghoa, penganut Konghucu
dan pemeluk Budha. Mereka menyampaikan pendapatnya tentang makna Imlek dan
bagaimana mereka mendudukkannya dalam kehidupan. Ternyata di antara merekapun
yang masih satu etnis terdapat keragaman pikiran mengenai Imlek namun sepanjang
itupula silaturahmi mereka terasa hangat dalam suasana Imlek.
Dan di saat yang sama dari semalam saya
menemui sejumlah “himbauan” di lini masa twitter juga share tulisan-tulisan yang
diretweet dan diulang terus menerus oleh beberapa orang yang entah kenapa
mereka gencar melakukannya setiap jelang tahun baru atau hari raya agama tertentu. Menyedihkan sekali cara mereka itu.
Saya sepakat bahwa sebagai orang yang
memahami agama lebih banyak dibanding umat biasa, mereka berkewajiban
mengajarkan. Tapi perasaan dan pemikiran awam saya kerap
terganjal dengan kemasan dan cara sebagian kecil dari mereka yang “nylekit”
seakan tak berpijak pada kenyataan Indonesia sebagai rumah keberagaman. Bagi mereka Indonesia harus seragam, tanpa perlu demokrasi, tanpa perlu nasionalisme, tanpa perlu ada banyak keyakinanan, cukup satu dan dipimpin oleh pemikiran mereka.
Sering dalam kicauan twitternya, sejumlah
kecil orang termasuk seorang “ustadz motivator” itu, memulai dengan “toleransi
dalam Islam adalah membiarkan umat lain merayakannya, tapi kita tak boleh turut
serta”. Indah sekali rasanya. Namun sayangnya
kicauan-kicauan selanjutnya terasa tidak tepat karena ujungnya seakan bumi
Indonesia ini hanya boleh dihuni oleh satu warna dan satu macam golongan orang
saja. Kicauan-kicauan mereka pun akhirnya menganulir makna kicauan mereka
sendiri sebelumnya tentang toleransi.
Kita sadar ada beda pendapat tentang haram
atau halal mengirimkan pesan Selamat Natal, Selamat Hari Raya Imlek hingga mengucap
salam “Assalamualaikum”. Juga sebaliknya boleh tidaknya umat lain menyampaikan
Selamat Idul Fitri, Selamat Idul Adha atau Selamat Tahun Baru Islam. Biarkanlah
itu. Sudah banyak ulama menyampaikan
pemikirannya masing-masing. Masalah sebagian masyarakat sepakat dengan
pandangan pertama sementara yang lain cocok dengan pendapat kedua itupun bagian
dari keyakinan setiap orang. Bagi saya itu tak menjadi masalah besar selagi
masing-masing konsisten dengan keyakinan dan toleransi yang digaungkan.
Tapi sayangnya kita masih kerap bersikap
ambivalen. Toleransi yang kita dengungkan masih mengandung ego. Kita “mengakui”
adanya perbedaan, mengamini keragamaan tapi di saat yang sama kita belum bisa
“menerima” perbedaan. Sms yang
disebarkan, masalah-masalah kelemahan agama tertentu yang diungkit kembali dan
kicauan yang diretweet berulang-ulang dengan penekanan haram atau halal jelang
hari raya atau tahun baru tertentu seringkali sudah bukan lagi sekedar mengingatkan
atau membimbing melainkan terkesan bermaksud menolak keberagaman.
Jika memang itu tidak boleh apakah harus
berarti juga disertai menyebarluaskan kejelekannya di saat umat penganutnya sedang merayakannya.
Apakah harus kicauan-kicauan di twitter disebar secara masif, sms dikirim dan tulisan-tulisan tentang sejarahnya ditebar
di mana-mana jelang peringatan hari raya atau tahun baru tertentu?.
Mereka, sebagiank kecil orang-orang yang berpikiran sempit dengan mudah menyamaratakan semua yang tak sama dengan mereka sebagai liberal. Bukankah katanya toleransi itu membiarkan dan menghormati umat lain untuk merayakannya dan kita cukup dengan tidak ikut serta?. Tapi mengapa harus juga dengan menyebarkan pesan yang menganggu ketenangan batin mereka yang merayakan?. Tak pernahkah kita rasakan juga di saat kita sedang melakukan sesuatu yang kita yakini, apapun itu, lalu di saat yang sama orang-orang mempergunjingkan dengan keras apa yang kita kerjakan, maka saat itu sedikit luka telah tertoreh?.
Mereka, sebagiank kecil orang-orang yang berpikiran sempit dengan mudah menyamaratakan semua yang tak sama dengan mereka sebagai liberal. Bukankah katanya toleransi itu membiarkan dan menghormati umat lain untuk merayakannya dan kita cukup dengan tidak ikut serta?. Tapi mengapa harus juga dengan menyebarkan pesan yang menganggu ketenangan batin mereka yang merayakan?. Tak pernahkah kita rasakan juga di saat kita sedang melakukan sesuatu yang kita yakini, apapun itu, lalu di saat yang sama orang-orang mempergunjingkan dengan keras apa yang kita kerjakan, maka saat itu sedikit luka telah tertoreh?.
Jika kicauan pertama sudah berbunyi tentang
toleransi, mengapa lini masa selanjutnya justru menyuarakan ambivalensi?. Atau
toleransi hanya dimunculkan di tweet pertama untuk mengawali maksud sesungguhnya
bahwa tidak boleh ada yang lain yang hidup dan berkembang di bumi ini?. Jika
ini yang mereka inginkan, maka mereka perlu berfikir lagi bahwa nafas yang
mereka hirup adalah nafas dari bumi Indonesia yang beragam. Tidakkah mereka
bersyukur?. Mereka seperti baru sedetik hidup di Indonesia. Lebih baik buatlah
negara sendiri saja tapi jangan di sini, jangan di Indonesia. Semoga pikiran
saya ini salah.
Komentar
Posting Komentar