Di
lorong deretan toko dan kios beberapa waktu lalu saya tersenyum
melihat sebuah stiker terpasang di gerobak milik seorang penjual cenderamata.
Tentu saja senyuman saya bukan untuk membalas senyum yang terbingkai di gambar
pada stiker tersebut. Saya tersenyum memaknai sendiri bahwa sudah begitu
masifnya hal ini. Seperti sebuah gerakan, fenomena ini terlihat sederhana,
hanya berupa untaian kalimat dan sebingkai foto namun sebenarnya sangat
“sistematis”.
“Piye bro kabare....?. Penak zamanku
tho...”.. Atau yang terdengar serupa dan
lebih dulu muncul “Piye kabare? Enak
jamanku tho?. Ungkapan sederhana berbahasa Jawa itu seketika menjadi
fenomena negeri setahun kemarin dan makin bergaung saat ini. Bagaimana tidak di
tengah berbagai masalah yang membelit bangsa saat ini, “sapaan” tersebut berhasil
membuat banyak orang berfikir untuk mundur ke belakang. Mundur ke sebuah zaman
di mana semuanya “terasa” nyaman meski diam-diam terbungkus penyakit yang menakutkan.
Berawal
dari jalanan Yogyakarta, “Piye Kabare” menjadi gaung nasional. Dari sebuah
kalimat biasa dalam kaus, lalu muncul stickernya di mana-mana yang ditawarkan
oleh banyak orang di lampu merah hingga menjadi tagline di baliho serta spanduk
kampanye sejumlah caleg parpol.
Kita
boleh kagum tentang popularitas kalimat tersebut Tapi sebenarnya kita lebih
pantas khawatir atau mungkin takut bahwa “Piye Kabare” adalah sebuah cara
sistematis yang dilakukan secara manis dan senyap untuk menghapus dosa. “Piye kabare? Isih enak jamanku tho..”
lebih dari sekadar slogan kaus dan sticker yang laku keras. Sapaan itu kini sudah menjadi bagian dari strategi
yang secara sistematis dikembangkan sekelompok orang atau golongan untuk
“mensucikan diri”.
Pencetus
kalimat tersebut mungkin tak memiliki niat apa-apa kecuali menjadikannya kritik
atau satire tentang kondisi bangsa saat ini. Ketika ia membandingkannya dengan
zaman Soeharto lengkap dengan senyuman dan lambaian tangannya yang khas, ia
hanya ingin mempersonifikasikan sebuah zaman yang terasa nyaman yakni Orba
Baru. Pada awalnya “Piye Kabare” mungkin hanya bermakna kritikan untuk
pemerintahan kini tanpa maksud mengajak masyarakat Indonesia memanggil kembali
roh orde baru. Kecuali jika pencetus
kalimat tersebut, baik individu atau kelompok memang sengaja melahirkannya sebagai
strategi dan mengemasnya secara sistematis untuk menghapus dosa orde baru.
Tapi
memang slogan tersebut muncul di masa, tempat dan waktu yang tepat. Masa di
mana rakyat kecil semakin terhimpit dengan harga pangan, BBM dan didekap
sejumlah masalah sosial serta terorisme. Berada di tempat yang tepat, yakni
Yogyakarta yang memiliki keterikatan nyata dan kuat dengan Soeharto. Lalu
berada di waktu yang tepat yakni ujung pemerintahan mendekati pemilu.
Kelihatannya terencana.
Tapi
saya ragu “Piye kabare” sudah dirancang sebagai strategi sejak awal ia
dilahirkan. Memang pada akhirnya “Piye Kabare” mendapatkan “nyawa” berkat lahir
di masa, tempat dan waktu yang tepat. Dan kini ia dimanfaatkan oleh sejumlah
pihak yang ingin menghapus dosa masa lalu.
Tokoh
politik dari beberapa parpol baik partai lama maupun baru akhirnya berkepentingan
menumpang “Piye kabare” atau setidaknya ikut memanfaatkan kekuatannya maknanya.
Sepintas mereka tampak sepakat ingin menghadirkan masa seperti pemerintahan
orde baru. Tapi sesungguhnya mereka melakukannya untuk kepentingan mereka
masing-masing. Mereka tidak berniat membawa kembali Orde Baru. Bukan karena
masa itu memang sudah berlalu, tapi karena rakyat sudah cerdas.
Mereka
atau partai yang baliho kampanyenya mengadopsi “Piye Kabare” atau yang dalam
pidatonya kerap mengutip kalimat tersebut sedang memanfaatkan momentum. Ketika “Piye Kabare” sudah sedemikian
bernyawa, mereka ikut menggunakannya sebagai alat pembasuh dosa. Bukan sesuatu yang kebetulan bahwa beberapa
parpol yang kerap mengutip “Piye kabare” dipimpin oleh orang-orang yang tumbuh
dan besar di masa orde baru. Mereka dibesarkan oleh masa itu. Dan kini di
saat mereka ingin tampil dan berusaha melepaskan jubah orde barunya, mereka
menemukan alat pencuci dosa yang sempurna.
Apakah
mereka mengajak bernostalgia?. Mereka sudah lebih dari tahu bahwa atmosfer dan
kepepimpinan orde baru tak mungkin lagi dihidupkan. Jadi untuk apa
bernostalgia. Tapi “kepentingan” mereka
untuk berkuasa mewajibkan mereka tampil bersih dari dosa masa lalu. Dan dengan
“Piye kabare” mereka mencoba membersihkannya secara sistematis di saat
masyarakat sedang terpengaruh untuk membandingkan masa kini dan masa lalu. Mereka bertarung satu sama lain untuk
berkuasa tapi menggunakan senjata yang sama: “Piye kabare? Isih penak jamanku tho...”.
Oleh
karena itu semakin banyak tokoh politik atau partai politik gemar mengutip dan
menjual “Piye Kabare”, mereka bukanlah ingin
mengajak nostalgia. Tapi mereka menggunakannya untuk ikut mensucikan diri dari
dosa kesalahan lama dengan memanfaatkan “Piye Kabare”. Lalu mana yang lebih
layak dipilih, menghadirkan kembali orde baru atau dipimpin oleh mereka yang
seolah-olah bersih dari dosa orde baru?.
Komentar
Posting Komentar