Tak terlalu keras namun bunyi gendhing itu berhasil
membuat saya serta sejumlah orang lainnya yang yang kebanyakan orang tua hening
untuk beberapa waktu. Penabuhnya yang mengenakan pakaian tradisi penuh wibawa menambah
kesan hidmat bunyi-bunyian itu. Beberapa menit awal bunyi yang dihasilkan
memang monoton dengan jeda antar pukulan lumayan lama. Tapi gaung dari pukulan
sebelumnya awet di telinga. Barulah sekitar 20 menit kemudian tempo yang
dimainkan mulai meninggi meski tetap sangat “ballad”. Kali ini bunyinya semakin
bersuara. Sayapun semakin menikmati
alunan Gamelan Sekaten itu.
Gamelan
Sekaten adalah salah satu pusaka Kraton Yogyakarta. Ia tak bisa disaksikan pada
sembarang waktu melainkan hanya
dikeluarkan dari Kraton dan ditabuh saat bagian utama pagelaran Sekaten. Gamelan
Sekaten Yogyakarta memiliki dua rancak yaitu Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Sudah lama
saya mendengar nama kedua gamelan pusaka tersebut dan akhirnya bisa menyaksikan
keduanya ditabuh.
Menurut cerita gamelan sekaten dibuat pada masa Sultan
Agung (1593-1646). Konon gamelan ini adalah gamelan laras pelog yang pertama
kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari
tanduk lembu atau tanduk kerbau sehingga bunyi pukulannya bening dan itulah
yang saya dengarkan ketika gamelan ini dimainkan. Tidak nyaring karena tidak
menggunakan pengeras suara namun cukup bening dan kuat di telinga.
Hanya dikeluarkan dari Kraton pada minggu terakhir
Sekaten, kedua gamelan dibawa dan dimainkan
di dua pagongan Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Pagongan Lor menjadi tempat Gamelan Kyai Nagawilaga sementara Pagongan Kidul untuk Gamelan Kyai Guntur
Madu. Selama berada di pagongan Masjid, kedua gamelan tersebut dimainkan dari pukul 08.00 hingga 23.00. Gamelan
hanya berhenti dimainkan pada waktu sholat lima waktu tiba dan satu jam
setelahnya.
Tidak sembarang orang bisa dan boleh memainkan Gamelan
Sekaten. Adalah para abdi dalem pilihan yang menjadi penabuh gamelan tersebut atau
yang disebut niyaga. Mereka harus menjalani ritual puasa dan mensucikan diri
sebelum memainkan gamelan pusaka.
Sebelum gending dimainkan, seorang abdi dalem yang
bertindak seperti konduktor dalam orkestra akan berada di depan. Ia akan
menghadap seorang penabuh yang menempati posisi paling depan dan paling tengah.
Di belakangnya sejumlah abdi dalem lain menghadap perangkat gamelannya
masing-masing. Selama gamelan ditabuh beberapa abdi dalem yang biasanya lebih
tua akan duduk di sisi kanan dan kiri. Mereka menunduk hikmat sambil membaca
sebuah lembaran kertas. Menurut informasi mereka bertugas menghitung atau
mengawasi gending yang dimainkan agar sesuai maknanya.
Gamelan Kyai
Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu ditabuh secara bergantian. Ketika sebuah gending
selesai dimainkan oleh Gamelan Nagawilaga di Pagongan Lor, makan geding
berikutnya segera dimainkan lewat Gamelan Guntur Madu di Pagongan Kidul, begitupun sebaliknya. Jarak kedua
pagongan tersebut sekitar 50 meter. Sejauh itu pula masyarakat yang ingin menyaksikan
kedua gamelan harus bolak-balik.
Namun meski merupakan pusaka Kraton, tak banyak
pengunjung Sekaten termasuk pengunjung masjid yang tertarik menyaksikan atau
mendengarkan alunan gending dari gamelan Nagawilaga dan Guntur Madu. Kebanyakan
pengunjung lebih memilih larut dalam aneka wahana permainan dan lapak-lapak
pedagang di pasar sekaten. Sementara mereka
yang memenuhi pagongan lebih banyak orang tua dan para simbah yang berjalan
sambil dituntun kerabatnya yang lebih muda. Beberapa di antara mereka sengaja
datang dari Kulon Progo atau Batul yang jauh dari kota Jogja. Selama gamelan
ditabuh sesekali terlihat kepala mereka bergerak nyaman seolah mengerti makna
dari alunan gending yang dimainkan. Para orang tua itu juga tak peduli dengan
panasnya matahari di halaman pagongan. Mereka tetap bertahan meski setiap
gending dimainkan dalam waktu yang cukup lama antara 30-40 menit. Tampaknya
mereka lebih bisa memaknai dan merawat tradisi dibandingkan generasi saya. Padahal
menurut saya alunannya sangat manis meski saya pun tak benar-benar tahu
maknanya.
Menurut sebuah kajian Gamelan Sekaten Kraton Yogyakarta mengandung sejumlah makna dan nilai tentang
Ketuhanan, hidup manusia, kerukunan, gotong royong, sopan santun dan sejumlah
prinsip harmonis yang perlu dikembangkan manusia dana berperilaku.
Gamelan
Sekaten juga berfungsi simbolik bagi ulama, masyarakat dan raja. Bagi ulama gamelan menjadi sarana
penyebaran agama dan bagi masyarakat gamelan adalah media untuk menyehatkan
raga dan jiwa serta mendapatkan kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu di
sekitar pagongan tempat gamelan sekaten dimainkan ada banyak sekali penjual
nasi gurih, endog abang (telur merah) dan sirih. Bagi raja gamelan menjadi
bagian dari simbol kekuasaan dan kebesaran pemimpin rakyat.
Sementara alunan gendhing yang dimainkan gamelan
tersebut cenderung lembut dengan tempo yang pelan mengandung makna puji-pujian
kepada Allah. Gendhing Salatun misalnya, mengandung ajaran tentang sholat
sementara gendhing rangkung berarti Pangeran Maha Agung. Kebanyakan gendhing
sekaten tersebut adalah karya para wali songo.
Tahun ini Gamelan
Pusaka Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu akan dimainkan sampai 13 Januari
2014. Pada malam harinya gamelan tersebut akan
dibawa kembali masuk ke Kraton untuk disimpan. Penjemputan kedua gamelan
dilakukan pada pukul 23.00 oleh para prajurit melalui prosesi istimewa yang dipimpin
langsung oleh Sultan Yogyakarta. Selama menjemput gamelan Sultan akan
menemui rakyatnya. Penjemputan Gamelan
Sekaten oleh Sultan sekaligus menandakan bahwa Grebeg Maulud siap digelar esok
harinya.
Di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar
perayaan Sekaten, di antara jejalan permainan dan pasar rakyat yang dipadati
pengunjung, alunan gamelan ini menjadi
pengingat masyarakat akan tanah dan penciptanya. Sebuah kesempatan langka menyaksikan
gamelan pusaka ini ditabuh serta menikmati alunannya yang menenangkan. Dan ketika gongnya
ikut ditabuh seketika terasa alunan
gendingnya benar-benar “bernyawa”.
Komentar
Posting Komentar