Seringkali kita yang memiliki kamera terlalu
banyak berfikir ketika hendak memotret. Sementara beberapa orang terlanjur berpandangan
kaku bahwa memotret memerlukan konsep, perhitungan sekaligus ide yang matang.
Saya tak menolak hal itu. Tapi jika
pertimbangan tersebut membuat orang harus memiliki alasan untuk memotret, memotret
haruslah momen yang spesial, memotret harus dengan pikiran, untuk memotret
orang harus memiliki ide, maka kita akan melewatkan banyak hal manis dalam kehidupan yang melintas di
depan mata.
Awalnya saya termasuk orang yang pemikir
ketika hendak memotret. Merasa sayang jika tombol shutter terlalu sering
ditekan dan beranggapan bahwa obyek yang bernilai hanya akan dijumpai di konser
musik, karnaval, gunung, laut, hutan dengan anggreknya atau tempat-tempat
keramaian. Hingga akhirnya seringkali saat hendak menghapus file dari kamera atau membuang beberapa frame
foto dari hardisk ke kotak sampah, saya merasa foto-foto itu juga bernilai. Mungkin
frame-frame tersebut hanya berisi orang yang sedang duduk, ibu yang menggendong
bayi, gerombolan orang yang sedang mengantri bakso atau seorang ayah yang
sedang berjalan dengan anaknya. Sepintas tampak biasa namun ternyata cukup
manis.
Semenjak saat itu saya selalu berusaha
membawa kamera ketika bepergian. Memang tidak selalu ada kamera di setiap
perjalanan saya, tapi selagi masih bisa, sebuah kamera saku atau DSLR adalah
teman paling dekat untuk mengisi perjalanan.
Di suatu tempat kita tidak pernah tahu apa
yang akan kita jumpai. Ketika berada di keramaian dengan banyak orang di
dalamnya kita tidak bisa memilih kejadian apa yang akan tersaji. Tapi itulah
yang membuat aktivitas memotret selalu menghadirkan kejutan. “Human
Interest” selalu melahirkan sesuatu yang baru, berbeda, unik dan semuanya istimewa.
Potret di atas adalah dua orang laki-laki yang
sedang duduk di atas kursi kayu sambil menikmati sepiring makanan di tangan.
Sementara dua wanita tampak berdiri mengantri di dekat warung makan sederhana.
Kejadian itu saya jumpai saat turun dari kendaraan ketika hendak makan siang.
Tak ada niat untuk berburu gambar namun kamera di dalam tas menyuruh saya untuk
mengabadikannya. Bagi orang lain foto seperti itu mungkin tak bernilai, tapi
bagi saya sayang untuk dibuang.
Setiap
potret Human Interest memiliki nilainya. Mungkin ekspresinya yang unik atau wajahnya
yang manis, bisa juga kegiatan dan interaksi yang sedang dilakukan, lingkungan
sekitar obyek yang tidak biasa dan
perpaduan dari beberapa aspek tersebut.
Memotret
Human Interest adalah aktivitas yang menyenangkan karena kita tak perlu susah
payah berfikir menentukan konsep apa yang akan kita masukkan ke dalam frame
meski prinsip fotografi seperti komposisi tetap diperhatikan. Memotret Human
Interest bisa dilakukan di mana saja, kapan saja bahkan ketika kita bangun
tidur dan melihat aktivitas orang di depan rumah atau ibu yang sedang memasak
di dapur, semuanya menarik.
Meski bisa dilahirkan di mana saja,
potret-potret manis Human Interest biasanya banyak tercipta di sebuah keramaian
seperti pasar, jalanan atau festival budaya. Di kota Jogja, Malioboro adalah tempat yang tepat untuk menggali banyak
potret manis kehidupan. Malioboro tidak hanya ramai sebagai pusat belanja
dengan pasar dan ratusan kios pinggir jalan, namun juga sebagai pusat budaya.
Oleh sebab itu Malioboro tak pernah berhenti menyajikan suguhan manis di setiap
sudutnya. Seperti foto-foto Human Interest di bawah ini.
Beberapa wisatawan hendak menaiki andong seusai
berbelanja di Malioboro. Potret semacam ini banyak tersaji di sana, tidak
pernah sama namun selalu manis.
Seorang Ayah menggandeng tangan putri
kecilnya menyusuri lapak kaki lima Malioboro. Tampak biasa saja namun foto ini
adalah salah satu yang tidak jadi saya hapus dari kamera waktu itu.
Seorang Ibu sedang membantu putranya
menerobos pagar yang memisahkan rel kereta api di Stasiun Tugu dengan Jalan
Malioboro. Sementara seorang ibu lainnya asyik dengan smartphonenya sambil
menggendong putrinya yang tertidur pulas di trotoar Malioboro. Menjumpai
kejadian seperti ini ketika berjalan menyusuri Malioboro bagi saya adalah
kejutan.
Seorang tukang becak duduk menunggu penumpang
sambil membaca koran. Pemandangan seperti ini lumrah dijumpai di Malioboro.
Sementara itu beberapa pengamen berpakaian unik dan bergaya nyentrik hilir
mudik di sepanjang Malioboro. Jika lelah mereka kerap beritirahat dengan
bersandar di dinding hotel atau mall. Tempat tersebut memang lebih sejuk
dibanding tempat lain di Malioboro.
Di dalam keramaian Malioboro seorang Ibu menggendong anaknya yang sedang menangis sambil menerobos kerumunan orang. Sementara sosok manis lainnya sering juga terlihat di tengah keramaian. Jika tak sempat berkenalan, ambil saja gambarnya.
Namun tak hanya tempat-tempat ramai seperti Malioboro
yang menyuguhkan potret manis tentang manusia Indonesia dan aktivitasnya.
Di Malang kita akan sering menemukan banyak
penjual bakso dengan gerobaknya yang diserbu pembeli di sepanjang jalan.
Di dalam kereta malam pun kita bisa mendapati
potret-potret manis yang khas Indonesia seperti
penumpang yang tetap memilih tidur di lantai kereta meski tempat duduk
untuknya tersedia.
Di kota lainnya saya kerap terpesona dengan
aktivitas masyarakat di pasar tradisional. Para orang tua dengan kulit keriputnya setia
duduk menanti pembeli sementara yang lainnya mengayuh sepeda tua dengan
keranjang jualan di belakangnya. Mereka memang tidak bergaya. Tapi apa
yang mereka kerjakan sangat “photogenic”.
Memotret
Human Interest boleh dikatakan tidak memerlukan ide dan pemikiran yang njlimet.
Apapun yang tersaji di depan mata bisa kita potret bahkan di saat kita sedang
tak ingin memotret. Sering kali di kala hujan tiba saya memutuskan berteduh di
pinggir jalan. Sambil menanti reda mengamati apa saja yang melintas adalah cara
menikmati hujan.
Di
bawah hujan seorang Bapak tiba-tiba melintas sambil mengayuh sepeda tuanya. Ia
tampak terburu-buru entah apa yang ia kejar. Mungkin ia hendak pulang atau
menjemput istrinya di pasar.
Suatu
ketika saat mampir ke angkringan untuk membeli beberapa potong gorengan,
seorang Bapak tampak sendirian menikmati nasi kucing. Ekspresi wajahnya ketika
menatap aneka lauk seperti sate usus, tempa bacem dan telur puyuh begitu
menarik. Situasi gerobak angkringan yang masih sepi membuat beliau tampak
seperti tuan yang sedang menikmati hidangan spesial untuk dirinya sendiri.
Mengambil foto secara diam-diam menjadi pilihan saya untuk mengabadikannya.
Memotret
Human Interest sering dilakukan secara diam-diam atau candid. Namun jika sang
obyek kemudian menyadarinya, maka pilihannya ada dua yakni membatalkan atau
meneruskan. Memotret human interest juga bisa dilakukan tanpa arahan atau
dengan mengarahkan sang obyek untuk “berpose” senatural mungkin. Jangan memaksa
jika sang obyek keberatan untuk dipotret. Seperti halnya foto lainnya, sebuah
foto Human Interest selain memiliki makna juga mengandung etika di dalamnya.
Saya termasuk orang yang suka mengabadikan
“pendaratan” kaki ketika pertama kali tiba di suatu tempat atau ketika
menyudahi perjalanan. Seperti foto di bawah ini
yang saya ambil ketika turun dari bis saat musim mudik lebaran. Saya tak membayangkan akan mendapatkan
pemandangan ini tapi saya sudah merencanakan untuk mengambil foto ketika turun
dari bis apapun pemandangannya.
Memotret
Human Interest juga dapat melatih kesabaran dan kejelian menekan tombol
shutter. Ketika sebuah momen didapatkan bukan berarti saat itu juga shutter
harus ditekan. Kadang kita perlu bersabar untuk menanti dan memutuskan momen
puncaknya. Namun yang pasti Human
Interest membuat orang tak lagi kehilangan alasan untuk memotret. Bahkan jika
memotret harus memerlukan ide, maka memotret Human Interest adalah keputusan
yang baik ketika tak ada ide.
mantap...
BalasHapus