Hari sudah hampir gelap ketika saya tiba di
Pegunungan Menoreh. Bukan karena sudah malam tapi karena kabut yang turun dengan
cepat menyelimuti langit Menoreh. Padahal saat itu siang baru mengunjuk pukul
setengah tiga. Di Pegunungan Menoreh kabut memang kerap turun lebih dini. Jika
cuaca mendung atau saat hujan sedang senang membasahi kawasan itu, siang hari
selepas pukul satu kabut bahkan sudah turun. Sore seolah seperti malam, malam
pun seakan datang lebih cepat, subuh seperti datang kepagian.
Saya segera masuk ke dalam rumah seorang
penduduk yang sudah saya kenal. Di rumah inilah saya dan kawan-kawan biasanya
“transit” ketika hendak menjelajahi alam Pegunungan Menoreh untuk melakukan
inventarisasi Anggrek alam. Di rumah sederhana yang sebagian ruangannya masih
beralaskan tanah dan sebagian lainnya berubin sederhana ini kami selalu
disambut dengan ramah. Tak terkecuali hari itu.
Penduduk Pegunungan Menoreh hidup dalam
kesahajaan. Selain karena prinsip hidup, kesederhanaan itu mungkin juga dikarenakan karena faktor geografis tempat
tinggal mereka berada jauh dari kota sekitarnya yang menjadi alas Pegunungan
Menoreh yakni Yogyakarta, Magelang dan Purworejo. Di samping itu memang banyak
penduduk Pegunungan Menoreh yang memiliki keterbatasan ekonomi.
Rumah-rumah di Pegunungan Menoreh banyak yang
masih berdinding kayu atau anyaman bambu. Lantainya masih terbuat dari tanah
atau campuran semen dan pasir yang sederhana. Tapi banyak juga rumah dengan
tembok batu bata dan atap genting berwarna. Meski rumah-rumah itu tetap
sederhana dan sering dijumpai di tengah rimbun pepohonan dan semak liar.
Meski Menoreh dipenuhi hutan, tapi di
saat-saat tertentu air menjadi sangat sulit didapat hingga warga harus menempuh
jarak yang jauh untuk mengambil beberapa ember air di sumber air. Mereka pun
sering tidak mudah mendapatkan kebutuhan pokok. Jauhnya jarak tempat tinggal
dengan ibu kota Kecamatan membuat mereka lebih kerap berbelanja ke pasar di
provinsi tetangga. Penduduk kampung Sukomoyo misalnya, meski kampung mereka berada
wilayah Yogyakarta namun mereka lebih sering berbelanja ke pasar Cublak di
perbatasan wilayah Purworejo, Jawa Tengah. Beberapa pedagang keliling termasuk
pedagang jajanan yang biasa menyambangi
anak-anak di kampung tersebut juga berasal dari Purworejo. Pedagang-pedagang
itu biasanya menggunakan motor dan berhenti lama di dekat masjid atau mushola
karena tempat itulah yang biasanya lebih ramai.
Penduduk Pegunungan Menoreh umumnya berladang
dan berkebun. Cengkeh, salak, singkong, kacang tanah dan kaliandra banyak
mereka tanam. Sebagian lainnya berdagang dan mengerjakan ladang orang lain. Ladang-ladang
itu jaraknya seringkali jauh dari rumah. Sementara kebun salak umum dijumpai
halaman rumah beberapa penduduk. Jika sedang panen membeli salak langsung di sana
akan mendapatkan harga yang sangat murah.
Saat panen beberapa orang juga bekerja
sebagai buruh yang memetik dan membersihkan hasil panen. Hubungan antara
pemilik ladang dan pekerjanya pun tidak selalu diwujudkan dalam bentuk upah
berupa uang. Saat panen kacang misalnya, para pekerja berhak membawa pulang
daun sisa tanaman kacang untuk pakan ternak mereka di rumah. Mereka yang
menjadi buruh petik juga sering membawa belasan kwintal kacang tanah ke rumah
untuk dibersihkan bersama-sama dengan tetangga. Dengan demikian mereka tak
harus seharian bekerja di ladang dan meninggalkan rumah.
Penduduk pegunungan Menoreh juga banyak yang
memelihara kambing. Kandang dengan beberapa ekor kambing di dalamnya dijumpai
di beberapa rumah penduduk. Kambing-kambing Pegunungan Menoreh rupanya cukup
terkenal di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sementara sebagian penduduk Menoreh lainnya
berdagang di pasar atau tempat-tempat lain yang jauh dari rumah. Oleh karena
itu di siang hari kampung-kampung menjadi sepi karena penduduknya bekerja dan
baru akan sampai lagi di rumah sore harinya.
Namun kesederhanaan dan keterbatasan hidup
tak menjadikan penduduk Menoreh kehilangan senyum dan enggan berbagi. Penduduk
menoreh bahkan memiliki toleransi yang tinggi terhadap sesama. Banyak penduduk
di Pegunungan Menoreh memeluk agama Hindu. Namun mereka sanggup membina
kerukunan dan menjalin ketentraman hidup dengan penduduk beragama lain. Dalam
hal ini mereka selangkah lebih maju dibanding banyak orang kota berpendidikan
yang dengan banyak teori kerap bicara toleransi namun tak lebih hanya sebatas
ucapan. Sementara penduduk Menoreh sanggup menjalankan toleransi melalui cara
yang sederhana namun sangat bermakna.
Hubungan tetangga dijalankan dengan sangat
hangat. Dapur milik seseorang penduduk bisa manjadi dapur bagi tetangganya. Rumah-rumah
juga kerap tidak dikunci rapat meski penghuninya pergi. Hal itu supaya tetangga mereka bisa masuk jika
memerlukan sesuatu seperti meminjam alat atau meminta bumbu dapur.
Hal yang sama juga berlaku untuk para tamu
yang bertandang. Orang-orang yang bertamu dipersilakan menggunakan dapur dan
peralatan masak penduduk untuk mengolah bahan makanan yang mereka bawa dari
kota. Tentu saja kita tak bisa menuntut sebuah dapur mewah dengan peralatan
masak yang bagus. Sebuah tungku dari batu bata, kayu bakar dan panci yang hitam
legam bagian bawahnya adalah peralatan masak sehari-hari kebanyakan penduduk
Menoreh. Beberapa di antara mereka sebenarnya sudah memiliki kompor gas kecil
dan tabung melon 3 kg, namun itu hanya mereka gunakan di saat-saat tertentu
saja. Banyaknya kayu bakar yang bisa mereka dapatkan dari kebun dan hutan di
sekitar tempat tinggal membuat mereka selalu nyaman “mengasapi” dapur.
Saya beruntung ketika datang sang tuan rumah
sedang menyiapkan banyak pesanan untuk rombongan yang akan berkunjung ke
Pegunungan Menoreh esok harinya. Selain disuguhi teh panas saya pun
dipersilakan makan bersama. Jangan pernah menolak ajakan makan penduduk
Menoreh. Meski menunya sederhana mereka kerap sengaja menyisihkan beberapa
piring lauk dan nasi untuk para tamu yang berkunjung ke rumah. Mereka senang
jika tamunya mau menikmati suguhan sambil diajak bercerita.
Beberapa penduduk Menoreh biasa menerima
pesanan makanan untuk para penjelajah atau wisatawan yang hendak menghabiskan
sehari atau beberapa hari di Pegunungan Menoreh. Masakan sederhana seperti
urapan, tempe goreng, telur rebus dan kering tempe paling sering disajikan
untuk para tamu dari kota. Menikmati hidangan seperti demikian di Pegunungan Menoreh
selalu terasa lebih nikmat. Mungkin karena Menoreh yang dingin atau karena
dimasak dengan tungku dan kayu bakar.
Malam hari dingin semakin menjadi.
Rumah-rumah tampak memancarkan cahaya tapi jalanan tetap gelap tak berwarna.
Tak banyak aktivitas luar rumah yang dilakukan oleh penduduk Menoreh di malam
hari. Beberapa penduduk hanya terlihat
keluar menyusuri gelap dan kabut tebal ketika waktu sholat tiba.
Sementara itu sepiring singkong rebus di
hadapan saya hampir tandas. Tuan rumah menyuguhi singkong rebus dan kopi panas
untuk kami. Tapi saya tidak meminta kopi lalu tuan rumah menggantinya dengan
teh tawar dan gula pasir yang terpisah. Penduduk menoreh biasanya membuat
minuman hangat seperti teh atau kopi dengan gula yang banyak. Rasa manisnya
awet meski gelas telah beberapa kali dituang dengan air panas yang baru. Saya
yang tidak suka minuman terlalu manis pun dipersilahkan menambahkan gula
sendiri.
Malam semakin larut. Dinginnya semakin
terasa, tak terhitung berapa kali saya menuang air panas ke dalam gelas teh. Bunyi
jangkerik dan tiupan angin pun akhirnya menjadi teman tidur di Pegunungan
Menoreh.
Komentar
Posting Komentar