Mau lihat “sun light” ya mas?.
Seorang remaja desa bertanya ketika melihat
saya duduk bersila di pinggir sebuah pematang sawah pagi itu.
“Iya, dari sini kan biasanya ya?”. Jawab saya
sembari memastikan tempat saya duduk sudah benar. Setidaknya saya sudah
menghadap ke arah timur.
“Ho oh mas, banyak kok nanti”. Remaja itu
menjawab lalu kembali berjalan bersama sejumlah temannya. Tak lama berselang
beberapa anak kecil dan remaja usia SMP berdatangan. Mereka berdiri beberapa
meter dari tempat saya duduk. Menghadap arah yang sama. Mereka pasti juga
hendak melihat “sun light”. Begitu bisik saya dalam hati.
Bagi banyak orang pagi hari di bulan Ramadhan
menghadirkan suasana yang lebih manis di banding pagi hari di waktu-waktu
biasanya. Seperti ada sensasi dan keinginan yang kuat bagi beberapa orang untuk
menikmati pagi hari di Bulan Ramadhan. Pagi hari-nya bulan Ramadhan pun selalu
lebih ramai dan berwarna dibandingkan hari-hari biasa.
Banyak cara untuk menikmati pagi hari bulan
Ramadhan. Biasanya seusai sholat subuh beberapa orang menggunakan waktunya
untuk jogging atau sekedar berjalan-jalan. Sebagian lebih suka menikmati
kesejukan pagi dengan duduk-duduk di tepi jalan atau jembatan meski tak sedikit
pula yang menghabiskan paginya di balik selimut kesayangan. Tapi itu tidak
berlaku bagi masyarakat pedesaan. Di bulan Ramadhan kehidupan mereka tetap
dimulai lebih awal dari kebanyakan orang. Jalan-jalan desa hingga pematang
sawah yang basah menjadi saksinya.
Tapi hari masih gelap ketika saya selesai
melaksanakan sholat subuh berjamaah di sebuah masjid kecil di pinggir
persawahan di samping rumah kakek di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah. Desa
ini bersisian dengan sejumlah tempat yang berbatasan langsung dengan daerah
Gunung Kidul, Yogyakarta. Tak heran jika siang hari cuaca di desa ini sangat
terik. Untungnya desa ini juga sangat cantik. Puluhan hektar sawah mudah
dijupai sebagaia halaman depan atau belakang rumah-rumah warga. Sementara latar
yang menjadi dindingnya adalah barisan perbukitan yang tampak jelas dan
telanjang.
Waktu menunjukkan jam 5 pagi lebih sedikit ketika saya berjalan
dari masjid menuju sebuah persawahan. Sampai di pinggir sawah saya masih
terpada menatap ke atas. Subhanalah indahnya. Satu bulan sabut dengan beberapa
bintang masih berserakan sisa keindahan semalam. Mereka rupanya belum beranjak
dari langit meski hari sudah berganti.
Namun kali ini saya tak
hendak menyaksikan keindahan bulan sabit dan kawanan bintang itu. Di pematang sawah ini saya ingin menyaksikan lahirnya pagi sekaligus menanti mentari. Tak peduli orang di sini lebih mengenalnya sebagai "sun light" daripada "sun rise". Bahkan meski identik dengan merek sabun cuci, nama "sun light" malah terasa lebih cantik.
Sayangnga menunggu memang kesal juga. Seperti menunggu siput merangkak di atas langit, mentari ini benar-benar menguji kesabaran hati. Antara pergi atau menantinya membuka pagi.
Hingga akhirnya ia tepati janji. Seperti bola pijar yang lahir dari dasar
bumi. Mentari itu utuh menampakkan diri. Bersanding dengan sebuah bukit, menghiasi pagi. Hati saya kegirangan. Ini
luar biasa. Bola pijar itu dengan cepat merangkak melampai puncak bukit. Sebuah
lesatan yang tak sebanding dengan lamanya menanti ia lahir. Sinarnya yang
terang seolah menumpahkan cat yang dengan cepat mewarnai seluas langit di
sekitarnya. Pancarnya yang hangat menghilangkan keluh dingin manusia yang suka
mengutuk pagi.
Tak ada lukisan lain seindah ini. Ketika mentari itu sudah menggantung di langit dan membakar sebagian awan menjadi jingga tapi membiarkan sisanya tetap membiru. Tak ada kecantikan lain seindah ini. Ketika matahari terbit, mentari dilahirkan dan pagi pun resmi dimulai. Pagi yang harus selalu disyukuri. Sampai Nanti, Mentari.
Selamat Pagi
Komentar
Posting Komentar