Saya percaya dalam
hidup ini seringkali terjadi ulangan peristiwa-peristiwa yang melemparkan manusia
kepada masa lamanya. Tapi saya tidak percaya bahwa waktu bisa diputar kembali.
Andaipun bisa saya tak ingin mengubah jalan cerita karena semua sudah menjadi
ketentuanNya.
Malam ini saya benar-benar bergetar. Saya
duduk di depan sebuah Instalasi Gawat Darurat dengan mata memandang ke berbagai
arah. Ada bagian yang sudah berubah, tapi pojok ruang administrasi dan
pembayaran itu masih tetap di sana. Lalu melangkah melewati lorong dan
seketika itu ingatan ini terlempar jauh ke belakang, seperti dihantam buku
catatan harian.
malam ini melalui lorong ini lagi |
Dengan menahan getar, saya tersenyum melihat
kembali sudut-sudut lorong itu. Seperti ada slide berjalan di depan mata. Samar saya melihat lagi diri saya 4,5
tahun lalu ketika melewati lorong itu menemani seorang wanita di atas kursi
roda menuju ruang USG serta detail-detail lainnya yang seketika tadi muncul lagi
di ingatan.
Saya melambatkan langkah kaki ketika memasuki
gerbang sebuah ruangan. Ke atas saya menatap sebuah tulisan besar “Elisabeth”.
Tempat ini juga tak banyak berubah. Memasukinya saya bahkan teringat seorang suster
senior yang dulu sempat bercanda dengan saya ketika mengantarkan segelas
minuman untuk wanita yang baru saja dibaringkan di atas kasur pesakitan. Saya
ingat betul apa yang saya katakan kepada suster itu : “makasih, Sus, selamat
berlibur..”. Lalu suster itu berbalik dan tersenyum pada saya. Saat itu jelang
tengah malam.
Kini 4,5 tahun berselang, saya tiba kembali di
Rumah Sakit Panti Rapih, menuju bangsal Elisabeth dan memasuki kamar nomor 114. Semua persis sama dengan dengan 4,5 tahun lalu. Ini kebetulan yang brengsek. Berada di dalam bangsal itu saya melihat lagi ranjang pesakitan itu, juga kursi dan segala detail yang terjadi di sana selama 2 hari di masa 4,5 tahun yang lalu.
hai, selamat bertemu lagi Elisabeth 114 |
Kemarin Minggu, kami mengevakuasi seorang
mahasiswi UGM yang terjatuh saat observasi lapangan dan kebetulan saya sedang
ada di tempat yang sama untuk melengkapi hasil penelitian tahun lalu. Detail
yang tak bisa saya ceritakan bukan karena lupa tapi terlalu panjang untuk
dilukiskan, termasuk perasaan saya ketika akhirnya mahasiswi yang belakangan
saya tahu bernama Aisha itu dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil menuju ke
Jogja menuruni perbukitan. Termasuk ketika saya menanyakan nomor telepon orang
tuanya untuk dihubungi dan akhirnya tersambung dengan ibundanya. Saya masih
bisa menguasai diri ketika tahu orang tuanya masih berada di Malang. Bahkan ketika
menghubungi teman terdekatnya untuk menyiapkan GMC dan menunggu di Rumah Sakit,
saya hanya tersenyum saat tahu nama teman Aisha adalah “Dana”.
Bagi saya ini kebetulan yang keterlaluan.
Apalagi ketika harus melangkah ke Rumah sakit yang sama, bangsal yang sama dan
nomor ruang yang sama. Slide-slide lama itu berserakan lagi di depan saya tadi
sore.
Aisha dan teman dekatnya Dana,
serta Bangsal Elisabeth 114 Panti Rapih, juga semua “kebetulan”
yang menyertainya Semoga di manapun ia
berada kini, yang saya tak pernah tahu, Allah selalu menjaganya.
Komentar
Posting Komentar