Tim penolong II dari Gunung Api Purba tiba membawa
tandu dan segera turun ke lokasi Aisha terjatuh. Jika tak salah ingat itu berarti
hampir 1,5 jam dari saat kami mendengar “peluit panjang”. Aisha akhirnya
mendapatkan pertolongan pertama yang dibutuhkannya. Tapi kami hanya sedikit lega. Ya, sedikit lega karena ketika Aisha sudah mendapatkan
pertolongan, maka yang lain adalah bagian kami.
Bukan sebuah evakuasi yang dramatis. Tapi akhirnyamenjadi sangat sulit dan beresiko karena dua hal yakni medan yang sialan
dan kondisi mental sebagian peserta yang terlanjur sulit untuk diarahkan.
Mereka sudah melihat temannya terjatuh, beberapa di antara mereka saya yakin
juga baru pertama kali bersentuhan dengan kondisi alam seperti kemarin, maka
wajah-wajah kalut dan takut dapat dibaca dari beberapa di antara mereka saat
itu. Tapi mau apalagi, mereka harus naik.
Dari atas kami minta mereka bersiap .
Tak ingin menunggu lagi, saya dan Septy
memutuskan untuk memulai menaikkan mereka ke atas. Satu orang pertama
pelan-pelan kami minta untuk naik dengan panduan tali dan arahan yang saya
berikan untuk mencoba berjalan di sisi kiri dan meraih batang semak terdekat. Sementara
Septy berdiri satu meter di belakang saya untuk bersiap-siap.
Satu orang peserta naik, wajahnya tampak
ketakutan. Meski berkali-kali saya minta untuk tetap tenang dan berjalan dengan
melebarkan rentang kaki, tapi akhirnya gagal. Kepanikan di wajahnya membuat
usaha ini menjadi tidak mudah. Ketika peserta itu terjatuh sambil merintih
setengah menangis, kami akhirnya menghentikan semuanya. Mereka semua perlu tenang dan mengambil minum. Kami juga meminta setiap yang membawa tas punggung untuk melepaskannya dan meninggalkannya di bawah. Ketika ada yang bertanya “nanti
kalau tertinggal bagaimana?”. Saya menganggapnya itu pertanyaan retoris.
Beberapa saat kemudian Hanif naik ke atas,
saya memintanya berada di belakang bersama Septy. Lalu tak lama berselang
Wilis juga datang. Dengan kakinya ia memadatkan tanah lalu saya melemparkan
bambu kepadanya untuk mencoba menggali tanah agar lebih mudah dipijak.
Pekerjaan yang tak mudah, beberapa kali Wilis terpeleset dan meluncur ke bawah.
Evakuasi dimulai kembali. Saya, Wilis, Septy
dan Hanif segera menaikkan semuanya. Wilis berada di bawah menahan para
peserta agar tak jatuh kembali ke bawah, sementara saya di tengah, di atas batu
mengarahkan peserta untuk melangkah perlahan dan merentangkan kaki mereka serta meraih batang semak terdekat. Satu
tangan saya selalu bersiap meraih setiap tangan peserta yang dinaikkan Wilis. Sementara
satu tangan lainnya memegang tali. Di belakang saya, Septy dan Hanif bertugas “menerima”
peserta.
Sepanjang evakuasi kami harus mengulangi hal
yang sama untuk memandu semuanya naik. Wilis mengarahkan kaki peserta kepada
batu yang bisa dipijak. Sementara saya meminta mereka untuk tak terlalu menunduk dan
melihat ke bawah, ini beresiko karena jika mereka terpeleset maka kepala mereka bisa
menjadi yang pertama menyentuh batu. Arahan ini berhasil membawa beberapa orang
ke atas, tapi juga tak mudah untuk beberapa orang. Sementara sedikit
lainnya tampak lebih tenang bahkan tak perlu diarahkan, jika tahu begini saya mungkin akan mengambil kamera.
Saya tak ingat semua ini berlangsung berapa
lama. Yang jelas jika sebagian dari mereka merasa ketakutan, maka kami
adalah orang-orang yang terkuras perasaan.
Semua peserta akhirnya naik ke puncak
bersama Dita, Agus dan beberapa panitia. Sementara kami tetap
di sana menata perasaan dan tenaga. Ternyata Aisha belum ditandu di bawah. Tim
Penolong masih melakukan survey jalur untuk turun. Kami pun kembali menanyakan
ke bawah dan memutuskan tetap di tempat sampai ada kabar Aisha akan
diberangkatkan.
Sambil memantau kondisi di bawah, tawa peserta
yang beberapa saat lalu kami evakuasi terdengar keras di puncak. Rupanya mereka
sudah riang kembali. Untuk beberapa saat kami mengumpat kecil, “sial, mereka
tak ingat bagaimana tadi wajah panik mereka dan rasa cemas kami dengan evakuasi
yang penuh resiko itu”. Tapi kami juga lega karena tawa mereka bisa membuat
semuanya berjalan lebih ringan tanpa ada rasa ketakutan mendalam hingga
akhirnya kami benar-benar kesal kepada mereka yang di puncak.
Dengan menahan geram saya meminta Hanif, Abid
dan Wilis untuk naik dan menyuruh para peserta diam. Bukan melarang mereka
bahagia, tapi teriakan-teriakan itu membuat komunikasi kami dengan tim penolong
Aisha di bawah menjadi terganggu. Bagi mereka waktu-waktu yang menakutkan mungkin
sudah selesai. Tapi bagi semua yang ada di bawah bersama Aisha, kecemasan belumlah
selesai. Semoga semuanya bisa memaknai hal ini.
Ketika mendapat kabar dari bawah bahwa Aisha
sudah mulai ditandu turun, saya, Septy, Wilis dan Abid, 4 orang terakhir yang
berada di lokasi segera naik ke puncak untuk turun menuju sekretariat Gunung
Api Purba. Di sana bersama petugas jaga, kami menunggu rombongan yang membawa
Aisha turun melalui Embung. Saat itu juga mobil meluncur untuk “menyambut”
rombongan. Saya meminta kepada petugas agar Aisha dilewatkan ke sekretariat
sebelum dibawa ke Rumah Sakit. Beruntung selain memiliki tim yang sigap,
petugas di sekretariat Gunung Api Purba juga sangat terbuka.
Lewat setengah jam kemudian, mobil merah yang
membawa Aisha tiba di sekretariat Gunung Api Purba. Dengan kaki terikat dua
bilah kayu, badannya merebah di sebuah tandu. Jelang maghrib Aisha dibawa
menuju Panti Rapih.
selanjutnya:
Komentar
Posting Komentar