Jam 10 pagi, gerimis mendadak turun, hanya
sebentar memang tapi lalu digantikan hujan. Saya mengikuti Septy, Ilham dan Abid
melakukan sweeping jalur dan peserta memilih berhenti dan berteduh. Tak lama
kemudian kabut mulai turun dan perlahan menutupi langit di depan kami. Saat
itulah saya merasa Dikjut BiOSC kali ini
akan melahirkan cerita yang berbeda dan tak terduga.
Jam 12.30 hujan turun di puncak, tak terlalu
besar tapi angin yang menyertainya cukup mengejutkan beberapa di
antara kami. Dalam sekejab semuanya menjadi tampak abu-abu, seperti pagi
yang baru diselimuti kabut.
Satu persatu-satu kelompok turun untuk melanjutkan perjalanan. Hanya ada saya, Septy, Abid, Ilham, Syaima dan Hanif di
puncak. Sengaja kami memutuskan lama di sana karena sweeper ingin memastikan semua
kelompok tiba dulu di puncak sebelum melanjutkan sweeping. Tak banyak yang
kami perbincangkan saat itu hingga tiba-tiba bunyi peluit panjang terdengar
dari dasar lembah. Beberapa saat kami terbangun dan saling memandang. Septy
dengan cepat berkata “ada yang sakit!”. Sementara saya masih mengamati sekitar
hingga kemudian permintaan tolong dan turun kami terima. Sial, kabut masih saja turun..
Saya meminta Syaima dan Ilham tetap di
puncak, sementara Abid, Septy dan Hanif saya ajak turun membawa kotak P3K. Kami
berusaha melalui jalur yang sama dengan jalur kelompok terakhir yang kami lihat
menuruni puncak. Jujur bagi saya jalur ini beresiko jika dipilih untuk dilalui pada cuaca seburuk kemarin.
Saya tidak mengerti apakah Dikjut kemarin memiliki plan B untuk jalur
alternatif jika kondisi cuaca berubah drastis seperti ini. Untungnya panitia lapangan BiOSC kali ini, meski jumlahnya tak terlalu
banyak, apalagi didominasi para wanita (laki-lakinya hanya 9!!) tapi mereka bisa diandalkan.
Saya juga perlu minta maaf karena ketika insiden kemarin saya banyak memerintahkan ini dan itu. Mau apalagi ?. Ketika teriakan terdengar dari bawah saya tahu ini akan berjalan sulit, seorang peserta terjatuh dan tak bisa bangun serta berdiri. Dalam kondisi normal saja jalur hitam itu cukup sulit bagi saya, apalagi dalam kondisi hujan dan kabut tebal kemarin.
Saya juga perlu minta maaf karena ketika insiden kemarin saya banyak memerintahkan ini dan itu. Mau apalagi ?. Ketika teriakan terdengar dari bawah saya tahu ini akan berjalan sulit, seorang peserta terjatuh dan tak bisa bangun serta berdiri. Dalam kondisi normal saja jalur hitam itu cukup sulit bagi saya, apalagi dalam kondisi hujan dan kabut tebal kemarin.
Pada satu titik saya dan Septy berhenti dan
berteriak ke arah bawah menanyakan kabar kelompok dan peserta yang terjatuh. Sementara Abid dan Hanif terus berjalan ke bawah membawa kotak P3K. Teriakan dari bawah menjawab pertanyaan saya. Sayangnya
jawabannya adalah “tandu” dan saat itu saya tahu evakuasi tidak bisa dilakukan
oleh BiOSC. Tak ada tandu dan membawa kembali korban ke atas maupun membawanya turun jelas penuh resiko, nyaris tak mungkin dengan dipapah. Sementara saya beberapa kali bertanya ke bawah apakah Aisha benar-benar tak bisa berdiri. Sayangnya cedera seperti itu memang sangat menyakitkan.
Sialnya BiOSC pun tak membawa HT. Jujur saja
dalam hati kemarin saya merasa kesal dan geram kepada BiOSC untuk hal ini. Mengapa BiOSC kekeuh tidak membawa HT, ini hal yang konyol menurut saya. Saya kerap
mengingatkan petingnya HT dalam kegiatan lapangan apalagi eksplorasi di medan
seperti ini. Tapi ketika saya mendapat jawaban bahwa di Nglanggeran
sinyal HP mudah dan lancar, semoga BiOSC belajar banyak dari kejadian ini.
Saya dan Septy beberapa kali mengumpati HP kami masing-masing ketika menghubungi yang ada di
bawah maupun di camp susahnya setengah mati. Beberapa nomor tersambung tapi tak diangkat
sama sekali. Beberapa langsung mati, saya tahu baterainya pasti kosong. Sejam
lebih kami mencoba menelepon banyak nomor. Saya bahkan sempat membongkar dua HP
yang saya bawa untuk menukar SIM Card nya.
Komunikasi akhirnya tersambung meski dengan
susah payah. Saya menghubungi camp sementara Septy menelepon Saka dan Wilis
yang menurut skenario bersama kelompoknya akan melewati jalur di mana Aisha
terjatuh. Kepada Fera di camp saya menyuruhnya menghubungi sekretariat Gunung
Api Purba dengan sebelumnya saya ceritakan kondisi yang terjadi di puncak
termasuk kondisi Aisha. Komunikasi ini pun berjalan susah karena telepon beberapa
kali mati. Sinyal blank!. Ke bawah saya berteriak meminta Abid dan
Hanif tetap bersama Aisha dan kelompoknya. Sementara Septy sudah terlihat cemas
dan merasa kecelakaan ini akan menjadi tanggung jawab yang besar bagi BiOSC.
Konfirmasi akhirnya kami terima dari sekretariat Gunung Api Purba, tim penolong I segera berangkat dan 30 menit kemudian kami bertemu, tapi mereka tak membawa tandu. Saya meminta Abid menunjukkan lokasi Aisha kepada mereka. Sesampainya di lokasi kejadian saya menelepon kembali dan diputuskan Aisha tidak bisa di bawa ke atas melainkan harus ditandu menuruni jalur hitam.
Saya mencoba menghubungi Fera kembali yang saya minta untuk tetap berada di sekretariat menjadi penghubung kami dengan Gunung Api Purba. Saat itu saya meminta tandu untuk dikirim. Konfirmasi datang beberapa menit kemudian bahwa tim II tengah bersiap naik membawa tandu. Koordinasi ini saya dan Septy lakukan bergantian dengan HP yang selalu kami tukar, lagi-lagi karena masalah sinyal.
Cerita tak selesai sampai di situ karena selain Aisha yang akan dibawa turun dengan tandu, teman-teman kelompoknya saya tak tahu harus diapakan, keputusan ada di panitia. Tapi saya dan Septy sepakat untuk menarik mereka ke atas. Semoga panitia memaklumi keputusan ini karena berkomunikasi dengan panitia pun susahnya bukan main. Lagi-lagi apa yang bisa diharapkan dari sinyal HP di kondisi cuaca seperti ini?. Atik sang ketua panitia belakangan saya tahu tidak membawa HP, sementara yang lainnya sudah berjalan jauh bersama kelompoknya masing-masing. Oleh karena itu keputusan mengevakuasi sisa kelompok kembali ke atas adalah pilihan terbaik meski pada akhirnya kami kembali bertaruh, ini tidak akan mudah dan ternyata memang tak mudah.
selanjutnya :
Komentar
Posting Komentar