Jelang
pukul sembilan pagi, 20 menit setelah semua kelompok berangkat, 3 sweeper menyusul.
Septy, Abid dan Ilham berjalan di belakang 5 kelompok untuk memastikan semuanya
on the track. Selain mereka bertiga, seorang bintang tamu yang juga ikut serta.
Sepanjang jalan kami berempat tak lepas dari obrolan,
tentang apa saja, namanya juga anak muda. Di beberapa tempat kami juga berhenti
untuk beristirahat. Istirahatnya pun suka-suka. Di gardu pandang misalnya, kami
menikmati sebungkus Chitato dari Ilham, lalu saya mengeluarkan dua buat coklat
kemasan kecil, lalu Ilham mengeluarkan sebungkus rotinya lagi, sementara Abid tak
mengeluarkan apa-apa tapi paling banyak menghabiskan. Untuk menemani saya
memutarkan beberapa lagu yang sangat mereka suka dari KAHITNA.
Di gardu pandang kami mati gaya sampai
akhirnya tiba-tiba pemandangan indah tersaji di depan. Pergerakan kabut secara
menakjuban kami saksikan melintasi langit di depan. Semua tampak jelas. Begitu
indahnya kami berempat maju mendekat untuk mengambil foto. Tapi hujan turun
lagi sampai akhirnya Abid tiba-tiba mengeluarkan payung warna oranye dan kami
pun berpayung bertigaam (?????!)
Di sini kami berhenti sangat lama. Selain
hujan yang semakin menjadi, kami pun menunggu satu kelompok lewat. Namun
setelah hampir 1 jam menunggu tanpa kepastian (?????!), kami memutuskan melanjutkan
sweeping.
Medan yang tak mudah. Begitu kami rasakan ketika mendapati tanah dan
bebatuan tempat kaki berpijak menjadi sangat licin, becek dan tak mudah
dilalui. Kami pun coba membayangkan kabar dari kelompok yang berangkat melalui
jalur hitam, tentu jauh lebih tidak mudah dan mungkin beresiko. Selain rutenya
lebih panjang, jalur hitam juga memiliki kondisi yang secara umum berbeda
dengan jalur reguler.
Selama sweeping kami juga melalukan observasi
di beberapa tempat. Beberapa “anggrek baru” kami temukan sementara beberapa
“anggrek lama” masih dapat dijumpai di lokasinya. Beberapa jenis anggrek bahkan
kami jumpai dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam kondisi basah, kedua spesies “anggrek
daun” tersebut tampak sangat cantik. Selain daunnya yang tampak lebih
mengkilat, keberadaan keduanya juga lebih mencolok karena tumbuh di tempat yang
banyak seresah. Zeuxine bahkan menunjukkan kuncup bunganya.
Abid sedang mencari sebelah hatinya yang hilang |
Hari beranjak siang. Kami terus berjalan dan
kini sudah ada banyak wisatawan yang berada di depan dan belakang kami. Banyak
di antara mereka yang salah kostum. Sementara kami sepertinya salah tempat. Beginilah
kalau sweeping bersama anak muda yang baru saja merakan cinta barunya.
Sepanjang jalan kami bertiga menjadi saksi “manjanya” Abid. Sedikit-sedikit
telepon, sedikit-sedikit sms, orang yang diajak bicara di ujung telepon tak
usah diceritakan, semua pun sudah tahu.
Tak hanya observasi Anggrek, pada satu titik
saya menemukan tempat yang bagus untuk prewedding. Sebuah jembatan kayu di
tengah-tengah rimbun pepohonan besar dan semak yang lebat. Kondisinya usai
diguyur hujan dan kabut yang menyelimuti membuatnya tampak sangat manis.
Ini dia tempat yang manis untuk foto prewedding |
Perjalanan masih jauh, menurut saya bahkan
tempat ini sepertinya menjadi lebih lebar. Saat merasa sudah hampir tiba di puncak,
ternyata itu hanya fatamorgana. Sialnya itu terjadi berulang-ulang. Lebih
sialnya saya membawa tas punggung seharga 400 ribu dan sepatu baru seharga
hampir 300 ratus ribu (sombong) dan dalam sekejab keduanya sudah bermandikan
lumpur. Padahal di dalam juga ada dua buku tabungan dan sebuah buka harian saya
(semakin sombong). Oleh karena itu sepanjang jalan saya hampir selalu
mengenakan mantel meski hujan telah reda.
Jelang tengah hari kami bertemu dengan satu
kelompok yang sedang melakukan observasi. Menurut saya cara observasi mereka
perlu ditingkatkan. Tidak hanya berjalan atau berdiri memandangi semak yang
ada di depan saja. Observasi dalam kerangka eksplorasi perlu usaha lebih dari
itu. Mereka perlu menyingkap area yang lebih luas tentu saja harus dalam
jangkauan kemampuan dan pengawasan pemandu karena ini adalah diklat. Jika hanya
berjalan bergerombol lalu berhenti di satu tempat yang sama dan semuanya
memasang gaya yang sama, akan ada banyak Anggrek yang mereka lewatkan karena di tempat ini lebih banyak jenis Anggrek terestrik yang cara pengamatannya memerlukan kecermatan lebih dibanding anggrek epifit yang cenderung mudah dibedakan.
Setiap orang dalam satu kelompok juga perlu
menguasai banyak pekerjaan sekaligus. Jika dalam diklat tugas dibagi antara
tukang foto, menggambar dan membuat catatan lapangannya, maka sebenanrnya pada
saat-saat tertentu setiap orang perlu bisa melakukan semua hal itu sekaligus.
Catatan lain, melihat hasil
dan cara memotret spesimen Anggrek di alam yang dilakukan beberapa peserta, juga foto-foto yang sempat saya
lihat sesaat sebelum mereka presentasi hasil, cara pengambilan gambar oleh mereka harus diperbaiki. Bukan tentang tekniknya, tapi tentang cara mengambil dokumentasi
berupa foto. Tidak semua foto harus menyertakan latar belakang atau background.
Saya tidak mengerti mengapa banyak di antara adik-adik BiOSC yang masih
menggunakan latar warna putih, sebuah warna yang tidak dianjurkan sebagai
background. Selain mempersulit fokus, kontras gambar yang didapat dengan
bakcground putih juga tidak baik. Background buatan untuk memotret Anggrek di
alam sebenarnya TIDAK diperlukan jika tujuannya adalah menggambarkan bagaimana
Anggrek itu hidup di habitatnya. Background untuk Anggrek dibutuhkan jika hendak membuat foto portrait dan itu biasanya dilakukan di dalam laboratorium. Oleh karena itu saya tidak pernah menggunakan
background jika memotret anggrek di alam. Background terbaik boleh jadi adalah lingkungan
sekitarnya dan itu bisa berupa batang, daun dari tumbuhan lain di sekitarnya
atau benda-benda lain yang secara alami memang berada di belakang obyek Anggrek
yang hendak kita potret. Skala berupa panggaris, pensil atau benda
apapun memang dibutuhkan tapi jika dalam foto yang diambil akhirnya memunculkan
tangan atau bagian tubuh lain maka dokumentasi harus diulang dengan menghilangkan semua obyek-obyek "asing" tersebut.
Akhirnya kami tiba puncak, saat itu mungkin
banyak yang rugi karena kabut yang menutupi puncak membuat pemandangan indah
yang biasanya terhampar di sana menjadi tertutup kelabu. Tapi saya rasa ada hal
yang lebih bermakna dan pelajaran yang lebih berharga dibanding berfoto dengan
latar belakang pemandangan itu.
Kami berempat beristirahat bersama sejumlah
kelompok yang telah sampai di puncak sampai akhirnya semua melanjutkan
perjalanan dan sebuah bunyi peluit melengking membangunkan kami.
Komentar
Posting Komentar