Suatu saat ketika kami sedang sibuk merangkak dan menunduk memperhatikan herba-herba mungil yang berserakan di atas seresah, beberapa crew Gunung Api Purba bertanya : "sedang lihat apa, mas?". Lalu ketika kami jawab, mereka menanggapi : "Oh, kaya gitu Anggrek, tho".
Yang menjadi kekhawatiran saya dan mungkin
juga banyak orang, termasuk rekan-rekan BiOSC sebenarnya bukan hanya banyaknya
jenis Anggrek di Gunung Api Purba Nglanggeran yang belum diketahui oleh masyarakat
termasuk pengelola sendiri. Bukan itu, karena untuk beberapa alasan hal itu
menjadi lebih baik dengan harapan tak banyak yang mengusik keberadaan
Anggrek-anggrek tersebut. Oleh karena itu juga kerap berpesan kepada BiOSC untuk berhati-hati jika melakukan eksplorasi Anggrek di
sebuah kawasan ekowisata. Ada banyak yang perlu dipertimbangkan dan dijaga
karena bagaimanapun harus disadari bahwa ada benturan
prinsip yang menjadi masalah bagi sejumlah kawasan ekowisata di Indonesia. Belum lagi jika kita bicara mengenai kearifan lokal.
Pengembangan wilayah untuk memberdayakan potensi alam dan masyarakat tidak selalu mudah diakurkan dengan tujuan konservasi sumber daya hayati di dalamnya. Pun demikian dengan upaya penyadaran akan pentingnya pengembangan ekowisata berbasis konservasi. Oleh karena itu penelitian eksplorative serta upaya-upaya yang BiOSC lakukan di tempat-tempat seperti Gunung Api Purba sebenarnya tidak bisa se-idealis prinsip konservasi yang selama ini didengungkan saat pematerian di dalam kelas.
Pengembangan wilayah untuk memberdayakan potensi alam dan masyarakat tidak selalu mudah diakurkan dengan tujuan konservasi sumber daya hayati di dalamnya. Pun demikian dengan upaya penyadaran akan pentingnya pengembangan ekowisata berbasis konservasi. Oleh karena itu penelitian eksplorative serta upaya-upaya yang BiOSC lakukan di tempat-tempat seperti Gunung Api Purba sebenarnya tidak bisa se-idealis prinsip konservasi yang selama ini didengungkan saat pematerian di dalam kelas.
Memang dilematis, biodiversitas kita terutama
Anggrek alam sedang bertaruh dengan kehidupannya sendiri. Anggrek-anggrek itu berpacu
dengan waktu antara cepat ditemukan atau lebih dulu musnah sebelum sempat
dikenali. Oleh karena itu sepulang dari presentasi di Universitas Indonesia
beberapa waktu lalu, saya mengajak yang terlibat dalam penelitian menemui
perwakilan pengelola Gunung Api Purba. Kami sampaikan jika pengelola berminat
dan berkenan untuk mendengarkan paparan kami terkait keanekaragaman Anggrek di
tempat itu, termasuk kemungkinan-kemungkinan konservasinya, BiOSC bisa membantu
membuka sebagian hasil penelitiannya.
Namun lama berselang tak ada tanggapan dari
pengelola. Semoga bukan karena keanekaragaman hayati dan konservasinya belum
menjadi prioritas dalam pengembangan ekowisata di tempat ini. Dalam
perbincangan dengan beberapa orang, sebenarnya mereka memiliki rasa ingin tahu
terhadap apa saja yang ada di dalam Gunung Api Purba. Tapi pada akhirnya saya
mencoba mengerti bahwa memang ada hal yang tidak mudah dipertemukan antara
pengembangan sebuah ekowisata dari segi bisnis dengan tujuannya sebagai pilar
konservasi.
Banyak tempat ekowisata di sekeliling kita
yang menjual keindahan panorama dari puncaknya saja atau indahnya sebuah air
terjun sementara melupakan apa yang ada di sekitarnya dan apa yang tumbuh di
sepanjang jalan menuju pusat keindahan itu. Ketika Gunung Api Purba Nglanggeran
membuat tangga semi permanen di jalur pendakian saya sempat khawatir karena di
sepanjang jalan itu pula banyak Anggrek tumbuh. Bahkan ketika
menyaksikan proses pembangunan embung yang menggerus sebagian gunung (fotonya saya tampilkan saat BiOSC presentasi seminar di UI), saya
menyimpan kekhawatiran kalau-kalau bersama gunung yang tergerus itu
entah ada atau tidak jenis Anggrek yang ikut terkubur. Meski fungsi Embung juga sangat diperlukan tapi akan semakin baik jika demi tujuan tersebut
tidak banyak yang terkorbankan.
Pengembangkan kawasan ekowisata Gunung Api Purba hampir bisa dipastikan akan semakin dipacu setelah ditetapkan sebagai Geopark Nasional. Saya mencoba
membayangkan bagaimana tempat ini dalam 5 atau 10 tahun mendatang. Bagaimana kawasan
ini sanggup berperan ganda sebagai tempat wisata yang menopang kemakmuran warga
sekaligus “rumah” yang menjamin kelestarian Anggrek di dalamnya. Saya berharap
keduanya dapat dipenuhi. Harapan itu ada, setidaknya Gunung Api Purba sudah
menjalin kerja sama dengan Universitas Islam Negeri yang saya dengar
memiliki misi mengembangkan keanekaragaman hayati di tempat tersebut.
Namun jangan dulu membayangkan bagaimana
tempat ini 10 tahun mendatang. Gambar-gambar di bawah ini meski terjadi di
tempat yang terbatas tapi banyak bercerita.
Saya tak ingin banyak membahasnya.
Gambar-gambar di atas sudah bercerita sendiri tentang kenyataan saat ini dan
mungkin yang akan terjadi di masa-masa mendatang. Itulah mengapa Anggrek
Indonesia berpacu melawan waktu dengan laju yang mungkin jauh lebih cepat dari
yang diduga. Sementara kita yang melihatnya sedang bertaruh.
Komentar
Posting Komentar