Mau dikatakan apalagi, asap rokok sudah menjadi bagian penyusun “atmosfer” udara di hampir semua ruang sudut
negeri ini. Industri rokok telah menjadi raja yang dibela oleh banyak
kepentingan yang sudah memuja dan kecanduan terhadapnya. Banyak pemerintah
daerah yang enggan melindungi warganya karena industri rokok telah berbaik hati
menyumbang pendapatan asli daerah yang tak sedikit. Pun demikian dengan
pemerintah pusat selaku wakil negara masih seperempat hati melindungi masa
depan bangsa dan generasi mudanya dari racun bernama rokok. Memang harus diakui
mereka sang produsen rokok dengan segala jaringan bisnisnya juga telah berperan dalam beberapa hal seperti penyelenggaraan olahraga, industri
kreatif dan pendidikan. Namun itu sama sekali tak menunjukkan jika rokok adalah
barang yang bermanfaat. Tanpa bermaksud meniadakan kontribusi industri rokok
dalam berbagai hal, kita semua perlu untuk membuka mata bahwa terlalu besar
masa depan bangsa yang dipertaruhkan jika rokok masih saja dibesarkan di negeri
ini dan asapnya dibiarkan menguasai ruang nafas kita sehari-hari.
Melarang
rokok di Indonesia memang sebuah ketidakmungkinan apalagi memusuhi para petani
tembakau. Pegiat anti rokok juga tak menjadikan hal-hal itu sebagai target
kampanye.
Petani tembakau, buruh kretek hingga pedagang asongan yang menjual rokok
memiliki hak yang sama untuk mencari penghidupan sebagai warga negara. Yang
harus dilakukan “hanya” membatasi ruang gerak industri rokok dan ruang edar
produk tembakau karena di sebelah orang yang sedang merokok ada banyak orang
yang juga memiliki hak untuk menghirup udara bersih tanpa racun rokok.
Meski faktanya
rokok telah menjadi penyebab masalah kesehatan utama, Indonesia justru menjadi
satu-satunya negara di Asia Pasifik yang lambat menandatangani Kerangka
Konvensi WHO
tentang Pengendalian Tembakau. Dan meskipun akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 109 Thn 2012
tentang “Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau
Bagi Kesehatan”, kesungguhan pemerintah Indonesia untuk melindungi masyarakat
dan masa depan generasi mudanya dari ancaman rokok masih terlihat samar-samar.
Berbagai survey telah menunjukkan besarnya
masalah dan ancaman rokok di Indonesia. Yang menyedihkan, tak hanya menguasai
banyak ruang, di negeri ini rokok telah menjerat seluruh kalangan masyarakat
tak peduli umur, gender dan strata sosial.
Laporan WHO
mengamini bahwa angka prevalensi merokok di Indonesia salah satu yang tertinggi
di dunia. Sementara Global Adult
Tobacco Survey (GATS) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 67% laki-laki di
Indonesia merokok sementara 2,7% wanita juga demikian. Survey yang sama
berbicara bahwa 85,4% penduduk terpapar asap rokok di tempat makan umum.
Persentase yang hampir serupa juga dialami di rumah dan tempat kerja. Indonesia Demographic and Health Survey
(IDHS) tahun 2012 bahkan menunjukkan angka yang lebih besar bahwa sekitar 80%
laki-laki di Indonesia merokok.
Global
Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2009 menunjukkan 20,3% anak sekolah di
Indonesia adalah perokok aktif sementara 30,4% pernah merokok. GYTS juga
merekam hasil memilukan bahwa 72,4% anak sekolah berusia 13-15 tahun mempunyai
orang tua yang merokok dan 59% anak sekolah bebas membeli rokok di warung dan
toko. Data Komnas Perlindungan Anak
menunjukkan selama 2008-2012 ada sekitar 239.000 perokok anak di Indonesia
berusia di bawah 10 tahun. Sedangkan perokok dengan usia 10-14 tahun
terekam sebanyak 1,2 juta orang.
Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 bahkan lebih menyedihkan. Hasil riset tersebut
menunjukkan 59,1% anak balita di Indonesia adalah perokok pasif dan ada
3,5% populasi di Indonesia yang sudah mulai merokok dari usia 10 tahun.
Demi barang murahan ini, Indonesia telah menjadikan masa depan sebagai taruhan dan generasi sebagai tumbalnya. Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN
yang masih memberi ruang cukup leluasa bagi iklan dan promosi rokok di TV serta ruang-ruang publik. Indonesia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang membebaskan siapapun bisa membeli rokok di segala tempat dengan bebas. Di Indonesia anak berseragam merah
putih berjalan menuju warung tak lagi hanya membeli permen tapi kembali dengan
sebatang rokok di genggaman. Lalu di sudut lain kakak-kakak mereka yang lebih
dewasa menghabiskan istirahat siangnya dengan menghisap rokok di trotoar depan
sekolah atau kantin kampus. Dan hanya di Indonesia dari banyak tempat di
seluruh dunia yang dijumpai seorang balita merokok. Baby smoker adalah hal yang "ajaib" dan itu ada di Indonesia. Apa kita bangga?. Malu rasanya setiap kali di
forum regional Indonesia disindir halus dengan satir : “Kita tahu semua di
kawasan ini hanya ada satu negara yang membebaskan rokok berkeliaran di TV dan
sembarang tempat, yaitu negara dengan penduduk muslim terbesar”. Apa kita tidak
malu?.
Jika memang kita harus bangga memiliki
seorang pebisnis rokok yang menjadi salah satu orang terkaya dunia, jika
pemerintah selalu menepuk dada meraih pendapatan selangit dari cukai dan bisnis
rokok, dan jika kita tidak malu terhadap sindiran dan cibiran banyak negara,
maka cobalah pejamkan mata sejenak untuk membayangkan bagaimana masa depan
bangsa ini nantinya jika manusia-manusianya sudah diracuni raganya sejak
kecil.
Di saat banyak negara telah memerangi rokok dan menjadikan ancaman bagi masa depan bangsanya, Indonesia justru masih memujanya seperti raja. Di Indonesia racun ini justru dibela.
Saya selalu haru dan bangga menatap anak-anak berpakaian lusuh menyisiri lampu merah dengan gitar butut dan rangkaian tutup botol yang dipaku di sepotong kayu. Tapi saya tak bisa apa-apa selain berharap mereka tak lagi menghabiskan separuh uang mengamennya hanya untuk barang busuk bernama rokok.
Komentar
Posting Komentar