Riuhnya panggung musik pagi di sejumlah stasiun
TV seolah menunjukkan bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat musikal. Apalagi
setiap acara musik pagi juga memiliki program award sendiri-sendiri. Meski nominasi dan pemenangnya hampir bisa
ditebak, tapi ajang seperti itu tetap mampu mengundang histeria dan memancing euforia
masyarakat dan itu dianggap sebagai bentuk apresiasi tertinggi kepada karya musik
Indonesia. Sayangnya semua citra baik mengenai panggung musik Indonesia
tersebut adalah anggapan yang terburu-buru, kita mungkin telah tertipu.
Acara musik pagi dan serangkaian program
awardnya tidaklah serta merta menggambarkan tingginya apresiasi terhadap musik
Indonesia. Meski memberi ruang
apresiasi, acara-acara itu tidak bisa menjadi rujukan yang memuliakan musik
Indonesia karena kenyataannya di waktu yang sama, di tempat yang berbeda,
martabat musik Indonesia justru sedang dipertaruhkan secara murah(an).
Opini ini tidak membahas “pertanggungjawaban”
acara musik pagi terhadap pembentukan wajah musik Indonesia saat ini, melainkan
masalah lain yang membuat martabat musik Indonesia hancur secara perlahan dan
tersamar di sebuah tempat bernama gerai ayam goreng.
Suatu hari di rumah seorang sahabat saya
menemukan beberapa CD musik masih terbungkus berserakan di lantai kamarnya
bersama beberapa lembar kertas kusut dan koran bekas. Lalu saya bertanya : “Ini
CD kenapa kamu buang?”. Sahabat saya yang gemar makan itu menjawab : “Halah,
aku nggak suka kok..”. “Kalau nggak suka kenapa beli ?”. Ia menjawab lagi :
“Siapa yang beli? wong itu paketan KFC..”.
Telah banyak cerita tentang CD musik yang
mubazir setelah dibawa pulang dari gerai ayam goreng. Sudah banyak pula kisah
tentang kegeraman orang yang merasa terjebak membeli paket hidangan karena di
meja pemesanan, pelayan tak hanya agresif menawarkan paket tertentu kepada para
pembeli yang lugu tapi juga tidak memberikan banyak pilihan untuk pembeli
memilih apa yang ingin dinikmatinya tanpa sisa “bonus” yang lain.
Di gerai ayam goreng banyak pembeli untuk
pertama kalinya merasa terkejut ketika harga paket yang dibelinya menjadi lebih
mahal. Jawabannya pun diketahui ketika membayar. Pelayan dengan ramah
menawarkan : “CD nya mau yang apa, mas ?”.
Bahkan bersandiwara memberikan “surprise”
manis seusai pembeli membayar : “Ini Bu, CD
nya..”. Sepintas hal itu terasa menyenangkan seperti halnya hadiah. Tapi akhirnya
semakin banyak orang sadar bahwa mereka telah mendapatkan sesuatu yang tidak
mereka inginkan dan mereka harus membayar untuk sesuatu yang belum tentu mereka
butuhkan dan senangi.
Sejak beberapa tahun lalu gerai ayam memang tidak
hanya menjual ayam goreng, kentang goreng dan es krim saja. Gerai ayam goreng kini
memiliki sampingan yang semakin berkembang yakni menjual CD. Gencarnya cara dan modus penjualan
CD membuat gerai ayam goreng dicandai secara satire tak ubahnya seperti major
label yang memproduksi dan menjual karya musik.
“Improvisasi” gerai ayam sebagai outlet
penjualan CD musik sebenarnya hal yang wajar seperti dijumpai di sejumlah
jaringan minimarket Alfamart, Indomaret, Seven Eleven, Circle K, bahkan mungkin
SPBU. Menjual CD musik melalui outlet-outlet tersebut menjadi terobosan di saat
toko CD dan kaset semakin ditinggalkan masyarakat hingga akhirnya tutup satu
persatu. Pelaku musik, produser, label rekaman dan penyanyi yang mengandalkan
penjualan fisik album mau tak mau harus berinovasi untuk mendekatkan karya
mereka kepada masyarakat pendengar. Wajar jika yang dipilih adalah
tempat-tempat yang sudah dikenal dan ramai dikunjungi banyak orang. Hampir di
semua meja kasir minimarket kini berjajar album-album musik sejumlah penyanyi
terutama pendatang baru.
Namun demikian ada hal yang berbeda dari cara
penjualan CD musik yang dilakukan melalu jaringan minimarket atau SPBU dengan
gerai ayam goreng. Di minimarket CD musik dijual seperti halnya di toko musik
yang tidak mengharuskan orang mengambil dan membayarnya untuk dibawa pulang.
Sementara di gerai ayam goreng penjualan
CD musik melahirkan masalah yang besar namun tersamar atas nama apresiasi karya
anak negeri. Di gerai ayam goreng niat para musisi yang ingin karyanya
didengar oleh masyarakat telah mengalami disorientasi yang pantas disesali. Di
gerai ayam goreng orang tak lagi membeli CD karena ingin mendengarkan karya musik tapi
karena terpaksa dan dikelabui.
Miris,
di gerai ayam goreng sebuah karya musik yang lahir dari hati tak lagi
bermartabat karena orang yang mendapatkannya justru telah dibuat sakit hati.
Ketika boyband Smash mendapatkan penghargaan
karena berhasil “menjual” karyanya hingga menembus 500.000 copy di gerai ayam
goreng, begitu juga dengan sejumlah penyanyi yang namanya ngetop di blantika outlet
ayam goreng, banyak tanggapan bermunculan. Tentu saja bagi para penggemar dan
label rekaman yang menaungi, hal itu disambut dengan dada tegak dan penuh
kebanggaan seolah artis mereka sangat dimuliakan hingga ratusan ribu orang mau
datang ke gerai ayam goreng untuk membeli CD-nya.
Tanpa bermaksud berburuk sangka, kita patut
bertanya berapa banyak dari ratusan ribu
hingga jutaan keping CD yang telah dijual oleh gerai ayam goreng yang
benar-benar terjual karena orang ingin membelinya?. Kita boleh berkeyakinan
hanya sedikit orang yang benar-benar bahagia membawa pulang CD tersebut.
Dan mungkin jauh lebih sedikit lagi yang dibuka dan diperdengarkan. Boleh jadi
dari ratusan ribu CD yang terjual, sebagian di antaranya tak pernah dibuka dan
didengarkan oleh pemiliknya. Kenyataanya
hampir tak ada orang yang datang ke gerai ayam goreng dengan tujuan dan niat
membeli CD.
Lalu apa yang bisa dibaca dari suksesnya
penjualan ratusan ribu copy CD di gerai ayam goreng tersebut?. Bukankah itu
membuat musik Indonesia semakin banyak didengarkan orang?.
Suka
tak suka kita harus mengakui cara penjualan CD melalui gerai ayam goreng dengan
modus yang membuat orang secara tiba-tiba membelinya telah menghancurkan
martabat musik itu sendiri. Perasaan tertipu atau terjebak ketika membeli paket ayam
goreng berharga mahal dengan bonus CD musik bukanlah hal yang baik untuk tujuan
memuliakan karya musisi Indonesia. Justru
sebaliknya, di gerai ayam goreng CD musik tak lagi dihargai sebagai karya yang
diapresiasi dan dinikmati dari hati karena dibeli dengan keterpaksaan dan
jebakan. Pada titik ini boleh dikatakan martabat musik telah menjadi sesuatu
hal yang murah(an).
Tapi mengapa praktik tersebut masih
berlangsung dan semakin melambung?. Kenyataannya simbiosis antara ayam goreng
dan sejumlah kecil penyanyi, label atau produser dipandang sebagai metode
pemasaran CD musik yang menjanjikan. Sejumlah kecil penyanyi atau grup yang
menjalin simbiosis dengan gerai ayam
goreng mencetak angka penjualan yang tinggi. Pundi-pundi keuntungan
otomatis membesar. Mereka pun bisa
berbangga dengan predikat artis spesialis ayam goreng seperti halnya dulu
banyak band bangga menjadi band spesialis RBT. Tapi sesungguhnya mereka sedang
membuat tempat sampah untuk karya mereka sendiri. Harapan apresiasi mengalami
disorientasi karena modus dan strategi penjualan CD di gerai ayam goreng sangat
menggelikan.
Berkembangnya gerai ayam goreng sebagai
outlet CD musik akhirnya juga memunculkan klasifikasi di antara musisi sendiri.
Sebagian dari mereka ketagihan dan menghambakan diri kepada gerai ayam goreng sebagai
andalan penjualan karya. Sementara sebagian besar musisi lain tak ingin menjual
idealismenya pada pasar dengan cara yang dianggap tak tepat.
Sadar
atau tidak sadar, menjual CD di gerai ayam goreng dengan mengabaikan hati
pembeli hanya akan membuat kepingan CD itu berakhir mubazir karena orang yang
mendapatkannya justru mengutuk apa yang didapatkannya. Kontras dengan kerelaan jika
mereka pergi ke toko kaset dan CD. Setiap orang yang datang ke toko kaset dan
CD original, tak pernah terpaksa dan selalu bahagia mendengarkan karya musik
Indonesia. Mereka yang pergi ke toko kaset dan CD pasti memiliki niat untuk menghargai
sebuah karya musik meski akhirnya tidak membeli. Itulah cara indah untuk
memuliakan musik Indonesia. Tapi setiap orang yang datang ke gerai ayam goreng
dan hanya ingin menikmati hidangannya seharusnya tidak diajari untuk
menghancurkan martabat musik secara tersamar dengan klaim apresiasi karya anak
negeri.
Mereka harus menikmati musik dari hati, bukan membeli CD dengan terpaksa dan
membuatnya langsung mubazir seketika diterima dari kasir.
Meski gerai ayam goreng atau mungkin sang
artis tak peduli karena bagi mereka yang penting albumnya terjual, tapi pada
akhirnya hal itu hanya menghancurkan martabat musik Indonesia. Mereka yang membanggakan penjualan CD
karyanya di gerai ayam goreng sesungguhnya diam-diam sedang menghancurkan karya
dan martabatnya sendiri.
Ratusan ribu keping CD yang berhasil dijual
dari gerai ayam goreng mungkin menjadi rekor luar biasa di tengah surutnya
apresiasi pada toko kaset dan CD. Tapi
ratusan ribu yang terjual itu akhirnya hanya melukiskan sebuah ironi tentang banyaknya
keping CD yang mubazir, tersia-siakan dan menjadi karya yang
murah(an). Di gerai ayam goreng musik Indonesia secara diam-diam sedang
kehilangan martabatnya.
Artis yg masuk major label berarti sudah siap dgn hal seperti ini.
BalasHapus