Lajunya
yang lambat mungkin mewakili filosofi Jawa “alon-alon asal kelakon”. Bentuknya
yang itu-itu saja boleh jadi menunjukkan prinsip “nerimo” sekaligus menitipkan
pesan bahwa nilai-nilai budaya seharusnya terus dijaga dan dicintai apapun
zamannya.
Tak akan maju sebuah peradaban jika tak diawali dari sebuah kesederhanaan.
Itulah suara becak.
Selalu menarik untuk memandangi setiap becak
yang melintasi Malioboro. Mereka tak hanya bersaing berbagi jalan dengan
transportasi modern. Tapi juga bersaing menarik penumpangnya. Ada tukang becak
yang nakal dengan memanfaatkan keluguan wisatawan untuk merauk banyak rupiah. Ada
yang kerap setengah memaksa dan terus mengikuti berjalan di belakang sampai
akhirnya ia menyerah. Kadang kita
memandang benci kepada tukang-tukang becak seperti demikian. Tapi saya yakin
mereka tak pernah berangkat dari rumah dengan niat demikian. Kehidupanlah yang
memaksa mereka bersaing satu sama lain dengan menggunakan beragam cara demi
memastikan Rp. 20.000 dapat dibawa pulang untuk keluarga setiap hari.
Tapi
banyak juga yang ramah dan tulus berbagi cerita kepada penumpang seperti halnya
guide memandu dalam perjalanan. Beberapa malam yang lalu saya beruntung menaiki
becak dari seorang pengayuh berumur. Sepanjang jalan dari Purawisata di Jalan
Katamso hingga Hotel Inna Garuda yang berjarak hampir 4 km. dengan baik beliau
berbagi cerita tentang kehidupannya. Tarikan nafas serta bunyi derit becaknya
tak menghentikannya berbagi kisah tentangnya yang setiap hari mulai mengayuh di
kala malam karena teriknya siang sudah terlalu panas untuk tubuh tuanya. Lalu
saat subuh menjelang ia pulang dengan mengayuh lagi sejauh puluhan kilometer. Hingga akhirnya saya tiba di tujuan, beliau
tampak senang mendapatkan Rp. 10.000 rupiah dari tangan saya. Saya tersenyum
ketika dia berkata saya adalah penumpang pertamanya malam itu.
Memang banyak para pengayuh becak yang sudah renta
di Malioboro. Pengayuh becak berumur ini biasanya memiliki
pelanggan sendiri termasuk para pedagang pasar Beringharjo. Uniknya kebanyakan para
pelanggannya juga orang yang sudah berumur. Tak heran jika banyak mbah-mbah
kakung mengayuh becak di Malioboro membawa penumpang mbah-mbah putri dengan
keranjang dagangan. Sungguh pemandangan yang manis, mengharukan tapi juga
mengundang senyum.
Sementara
becak-becak lain lalu lalang membawa pasangan-pasangan berwajah ceria. Bentuknya
memang kuno dan identik dengan orang berbaju bau keringat menyengat. Lajunya
pun lambat dan hanya mampu ditumpangi 2 orang. Tapi justru itulah yang
membuatnya romantis ketika dinaiki berdua.
Selalu ada kisah yang lahir di Yogyakarta. Setiap sudutnya membuat orang susah lupa. Bahkan becaknya pun berbicara.
Bapak, mbah, teruslah mengayuh becak dan
membuat orang bahagia. Lalu istirahatlah di kala kalian harus melakukannya...
Komentar
Posting Komentar