Apakah kita sering geram dengan model
pemberitaan TV One ?. Apakah kita juga kerap mempermasalahkan daya kritis Metro
TV ?. Kita tentu sering menduga untuk mencari tahu mengapa beberapa media di
Indonesia menjadi sedemikian rupa hingga yang satu cenderung adem, beberapa
biasa saja sementara yang lain terkesan nyinyir. Jawaban yang sering diambil oleh
banyak orang untuk menilai fenomena media pers Indonesia saat ini adalah : media sudah tidak netral dan suka
mempolitisasi berita.
Sayapun awalnya berfikir serupa, bahwa
beberapa media pers di Indonesia tidak netral dan hanya menjadi corong
kepentingan pemiliknya. Tapi setelah menyimak dialog antara politisi, dewan pers dan wartawan senior, saya mulai berfikir
ulang dan akhirnya sepakat dengan pandangan wartawan senior itu. Bahkan setelah
mendengarkan penjelasan narasumber dari dewan pers saya akhirnya ikut berkesimpulan bahwa media memang tak harus
netral dan tidak akan bisa netral. Bukan karena media pers tidak bisa
bertanggung jawab tapi peran pemberitaan yang dimiliki oleh media pers memang
membuatnya demikian.
Media pers bertugas tak hanya menyampaikan
berita tapi juga mengemukakan opini untuk memberikan gambaran apa yang terjadi
dan apa saja yang ada di balik sebuah peristiwa. Maka wajar jika dalam kasus
krisis hubungan Indonesia-Malaysia misalnya, media pers Indonesia tidak akan
pernah bisa netral. Itu hanya salah satu contoh ilustrasi betapa media pers
sebenarnya tak bisa netral atau dengan kata lain tak harus netral.
Yang
terpenting dimiliki oleh media pers adalah independensi. Media tak harus netral
tapi harus bersikap independen. Bukankah independensi dan netralitas media adalah
satu hal yang sama ?. Ternyata berbeda. Setiap media memiliki editorial policy-nya masing-masing.
Setiap media memiliki pakem yang berbeda. Setiap TV atau surat kabar memiliki
dan berhak menentukan angle nya sendiri dalam menyampaikan dan menganalisis
berita yang akan disampaikan kepada masyarakat. Inilah yang disebut sebagai
bagian dari independensi media. Ini pula yang membuat grup viva news, MNC group
atau Metro TV terkesan saling menonjolkan kepentingan yang ada di balik mereka.
Editorial policy atau gaya
pemberitaan mereka memang berbeda. Gaya yang berbeda itu dikarenakan ketiganya
menggunakan angle yang berbeda dalam mengolah beritanya dan itu diperkenankan.
Kita tentu hafal jika Metro TV sangat kritis
dalam memberitakan kasus lumpur Lapindo. Sebaliknya kita juga faham jika TV One
cenderung mengambil porsi dan sudut yang berbeda dari Metro untuk kasus yang
sama. Jika Metro TV gencar memberitakan demonstrasi warga korban lapindo yang
menuntut keadilan. TV One mengambil berita tentang banyaknya dana yang sudah
dikeluarkan oleh grup Bakrie sebagai bagian dari ganti rugi Lapindo. Kita
sering menganggap model-model pemberitaan itu sebagai bentuk ketidaknetralan
media. Tapi dalam dunia pers hal itu ternyata bukanlah hal yang menyimpang.
Selagi yang disampaikan adalah fakta, maka model pemberitaan yang seolah beradu
tersebut tak serta merta dipandang sebagai pelanggaran atau ketidaknetralan
media. Metro TV dan TV One hanya memilih untuk mengangkat angle yang berbeda
dari kasus Lapindo.
Media pada akhirnya memang tak harus netral.
Independensi yang terjaga itu yang utama. Independensi untuk bersikap obyektif
menyuarakan opini dari banyak sudut dan memberikan kesempatan banyak
narasumber/pihak untuk menyampaikan gagasannya.
Lalu apakah campur tangan ARB pada redaksi
pemberitaan TV One sangat kuat ?. Kita tentu serung beranggapan demikian tapi
rasanya tidak seburuk yang kita bayangkan. Saya rasa TV One meski sering
nyinyir, tak akan membiarkan pemiliknya mencampuri dan mengendalikan meja
redaksinya. Jangan lupa Karni Ilyas sebagai pemimpin redaksi, diam-diam sering
dianggap kritis terhadap Golkar, pasti akan berusaha menjaga meja redaksinya.
Campur tangan pemilik terhadap meja redaksi justru menjadi kerugian besar. Tak
ada media yang ingin mati karena itu. Kita tentu tidak tahu seberapa keras
teguran dari Karni Ilyas kepada para news anchor nya yang sering terlalu
agresif. Tapi kita boleh percaya diam-diam Karni Ilyas pasti memberi pelajaran
pada asuhannya. Hal yang kurang lebih sama terjadi di meja redaksi Metro TV.
Putra Nababan dan Najwa Sihab tentu tak akan membiarkan seorang Surya Paloh
mengobok-obok meja mereka meski SP adalah pemilik tempat mereka berkarya.
Mereka semua pasti menjaga independensi redaksi. Tapi untuk menjadi netral
memang tak harus karena media perlu mengambil opini dan kesimpulan.
Media pers pasti akan menampilkan opini yang
berusaha menerangkan kepada masyarakat tentang apa saja yang terjadi di balik
peristiwa. Satu peristiwa seringkali tidak berdiri sendiri, ada banyak hal yang
bisa diangkat dan dianalisis. Dan media-media seperti TV One atau Metro TV yang
kerap kali dipandang berbeda kiblat sebenarnya hanya sedang berusaha
menampilkan beberapa opini dari sudut pandang yang berbeda sesuai style mereka.
Hal itu pula yang dilakukan oleh majalah seperti Tempo yang dikenal kritis dan
mendalam dalam menyampaikan opini dan analisa. Selagi semua berdasarkan fakta
maka sesungguhnya itulah pekerjaan media.
Al-Jazeera yang kerap dituduh tidak netral
oleh pihak Amerika karena sering menjadi media bagi suara-suara Osama Bin Laden
juga tak ambil pusing untuk melawan tuduhan itu. Mereka tetap menjaga
independensinya dengan terus menyajikan berita dan fakta. Fakta yang belakangan
justru membuat banyak negara Arab berganti menuduh Al-Jazeera tidak netral
karena pemberitaan terkait prahara negara-negara Arab dinilai membongkar aib
negara-negara tersebut.
Tapi
bagaimana dengan anggapan bahwa media pers di Indonesia telah menggiring opini
masyarakat?.
Awalnya saya sependapat dan kita telah dirugikan oleh media-media itu. Tapi benarkah demikian?. Media memang memberikan
pengaruh kepada masyarakat, tapi apakah itu berarti media bisa menggiring opini
kita ?. Kenyataanya di alam bawah sadar, kita sering mengakui dan mengamini apa
yang disampaikan media. Kita sering kali mencaci sinetron, suka protes dengan
berita TV atau koran tertentu, tapi kita juga terus menyaksikan tontonan-tontonan
itu. Nyatanya kita tak meninggalkan media-media atau berita yang kerap kita
nilai merugikan. Ini menandakan bahwa sesungguhnya di alam bawah sadar, kita
diam-diam mengakui bahwa berita-berita dan opini yang sering kita keluhkan
sesungguhnya cocok dengan pemikiran kita, pemikiran yang sering tak disadari.
Jadi benarkah media pers begitu kuat menggiring opini ?. Saya yakin masyarakat
Indonesia semakin cerdas hingga media pers tak bisa begitu saja mengatur kita.
Media
tak netral karena seringkali mempolitisir berita. Itu yang kerap
dikeluhkan banyak orang dan menjadi alasan favorit banyak politisi untuk
berkelit. Apakah media pers Indonesia suka mempolitisir berita?. Kita mungkin
perlu memikirkannya lagi. Rasanya bukan media yang mempolitisir berita.
Politisasi berita justru banyak dibuat oleh para politikus itu sendiri.
Politisasi berita sering sengaja dibuat sebagai alasan bagi pihak-pihak yang
merasa dirugikan dan tak ingin dikritisi. Siapa yang mempolitisi kasus LHI ?.
Siapa yang pertama kali melemparkan tuduhan konspirasi hingga kemudian banyak
media pers mengangkat isu konspirasi tersebut ?. Sesungguhnya media tak pernah
benar-benar mempolitisasi berita. Tanggapan orang terhadap berita lah yang
membuat seakan-akan media telah mempolitisasi berita dan menjadi tidak netral.
Media memang tidak harus netral.
Akhirnya saya mulai sepakat bahwa media
memang tak akan bisa netral. Dan itu tak
hanya terjadi di Indonesia. Yang penting media menyampaikan berita dan opini
sesuai dengan fakta. Sebaliknya media sah-sah saja membangun editorial policy dan style nya sendiri sebagai bagian dari
independesinya asalkan tidak melanggar kode etik yang berlaku.
Tapi apakah gaya pemberitaan dua media besar
Indonesia yakni grup vivanews dan Metro TV masih sebatas bentuk editorial policy dan style saja, atau sudah benar-benar lepas
kendali dari etika jurnalisme ?. Dewan pers rasanya perlu menanggapinya.
Di luar itu semua kita memang harus mengakui
bahwa tidak semua pelaku media pers di Indonesia memahami kode etik dan
kompetensi jurnalisme. Tapi itu tak serta merta menghadirkan tuntutan bahwa
media harus netral.
Komentar
Posting Komentar