Saya teringat kalau di sebuah daerah di balik pegunungan Menoreh Kulon Progo Yogyakarta, tempe adalah makanan mewah. Bukan karena hanya dimakan oleh kepala desa atau disajikan di acara hajatan, namun karena tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang membuat sejak lama harga tempe di sana tak selalu bisa dijangkau. Lalu apalagi saat ini ?.
Sebagai penggemar tahu dan tempe yang
menjadikan keduanya menu wajib setiap hari, langkanya kedua makanan tersebut di
pasaran tentu tidak saya inginkan. Tahu dan tempe terlanjur jadi makanan
favorit untuk saya, melebihi daging ayam terenak sekalipun. Namun kini semua
penggemar tahu tempe bisa jadi harus bersiap menghadapi puasa makanan kaya
protein nabati tersebut.
Melambungnya harga kedelai melatarbelakangi
sekelompok perajin tahu dan tempe untuk kompak melakukan aksi mogok produksi
selama 3 hari terhitung 25 Juli sampai 27 Juli 2012. Lantas mengapa harus
melakukan pemogokan ?. Apakah harga bahan dasar kedelai tak sanggup lagi mereka
jangkau ?. Itu memang salah satu alasannya. Namun sesungguhnya ada alasan yang
lebih besar lagi dari mereka yang menggantungkan hidupnya pada produksi tahu
tempe.
Pertama, perajin tahu dan tempe ingin kembali
mengingatkan sekaligus memberi pelajaran keras bagi pemerintah agar
memperhatikan mereka salah satunya dengan mengendalikan harga kedelai di pasar. Bukan
rahasia lagi kalau selama ini pemerintah dinilai gagal mengendalikan
harga beberapa kebutuhan pokok rakyat. Dan khusus kedelai kita pantas prihatin
karena produksi kedelai di negeri ini ternyata hanya memenuhi seperlima kebutuhan
total kedelai dalam negeri. Dengan kata lain sebagian besar kedelai yang
beredar di pasar kita adalah kedelai asing alias impor. Akhirnya harga kedelai
di pasar Indonesia jauh dari kendali pemerintah.
Tempe & Tahu sepertinya menjadi ironi
untuk negara yang mengklaim tempe sebagai makanan asli bangsanya. Kita tentu
ingat saat bangsa ini meradang ketika tempe hendak dipatenkan oleh beberapa negara seperti Amerika dan Jepang. Kita marah karena merasa kekayaan dan karya cipta bangsa ini kembali
dicuri. Namun di sisi lain itu justru menunjukkan betapa kita masih menjadi
pihak yang banyak menuntut hak dibanding melaksanakan apa yang semestinya dikerjakan. Kita
menghendaki karya cipta Indonesia adalah milik bangsa seutuhnya tanpa boleh
bangsa lain memilikinya sedikitpun. Namun kita juga menunjukkan ketidakpedulian untuk menjaga dan menghargai karya cipta bangsa
sendiri.
Membuka kran impor kedelai besar-besaran dan
di sisi lain mengabaikan kedelai lokal sebagai prioritas pertanian adalah bukti
ketidakpedulian itu. Dan saat harga kedelai naik seperti saat ini,
pihak yang paling diuntungkan adalah importir kedelai. Bukan petani kedelai
Indonesia, bukan pula perajin tahu tempe.
Perajin sebenarnya bisa saja menaikkan harga
tahu tempe produksi mereka. Tapi bagaimana dengan konsumen kita ?. Maukah
mereka menerimanya. Tahu tempe terlanjur dikenal
sebagai makanan murah bergizi. Masyarakat kita rasanya terlanjur lebih bisa menerima
lonjakan harga telur atau daging dibanding kenaikan sedikit harga tahu tempe.
Itupula yang menjadi pesan kedua dibalik
mogoknya perajin tahu tan tempe. Mereka ingin menunjukkan pada masyarakat dan
konsumen betapa para perajin berada di posisi yang tidak nyaman, bahkan boleh
dibilang paling dirugikan untuk saat ini. Sementara kita penggemar tahu tempe
mungkin bisa beralih ke makanan lain, namun mengalihkan sumber penghidupan
bukan hal ringan untuk para perajin tahu tempe. Maka kita harus siap menerima
bahwa usai pemogokan ini, harga tahu dan tempe akan melonjak naik hingga 30%.
Mau dikatakan apalagi, makanan asli Indonesia ini bisa saja akan menjadi barang
mahal di masa nanti, bahkan untuk rakyatnya sendiri. Semoga saja tidak. Semogaini menjadi elegi terakhir untuk negara yang pemerintahnya gagal menjaga
kedaulatan pangan rakyatnya.
Komentar
Posting Komentar