Obsesi itu terengkuh sudah kemarin malam.
Mimpi besar pun akhirnya memujud nyata di depan mata. Trofi Liga Champions terbang
ke tanah Inggris dibawa oleh puluhan pasukan berseragam biru. Gelar itu pun
boleh dirayakan sebagai kemenangan Inggris. Penduduk London pun ikut riang.
Namun ada yang lebih senang dan merasa berhak
lagi untuk memeluk erat trofi simbol klub juara Eropa tersebut. Mengangkat
tinggi-tinggi sembari menunjukkan senyum mahalnya ke seluruh penjuru Inggris
dan dataran Eropa. Dan orang itu adalah Roman Abramovich.
Barcelona boleh dianggap sebagai klub terbaik
Eropa bahkan dunia. Real Madrid menjadi klub terkaya bertabur bintang paling
gemerlap. Bayern Munich boleh mengklaim sebagai klub dengan mental juara terbaik
mewarisi mental bangsa Jerman. Namun kenyataannya bukan mereka yang layak mendapat
predikat Juara Eropa. Piala dan mahkota itu justru menjadi milik Chelsea, klub kaya
yang sampai sebelum tadi malam masih diragukan dalam persaingan antar klub
Eropa. Tiket Final mereka bahkan sempat digugat karena faktor keberuntungan
semata. Meski orang yang menganggapnya demikian mungkin lupa kalau dalam
sepakbola memang dibutuhkan beberapa faktor selain teknik, taktik dan mental,
yakni keberuntungan. Dan Chelsea beberapa bulan ini menunjukkan sebagai klub
yang memiliki keempat faktor tersebut. Hasilnya pun manis. Tahun ini mereka
meraih double Winner : Piala FA dan Piala Liga Champions.
Abramovich pun girang bukan kepalang.
Mimpinya merengkuh Piala Champions terwujud sudah. Meski itu harus ditebusnya
dengan sabar menanti selama bertahun-tahun dengan triliunan rupiah harus dikeluarkan
tiap tahunnya.
Namun benarkah uang triliunan itu yang
menghadirkan piala prestisius itu ke meja kerja Abramovich ?. Dia mungkin akan
beranggapan demikian. Dan itu sah-sah saja dimiliki oleh seorang taipan pemilik
klub. Namun sebenarnya, andai tak terlena terlalu lama dengan piala yang sedang
dia peluk erat sekarang, Abramovich harus bercermin dan menginstropeksi diri
tentang kebanggaannya selama ini.
Perihal apa ?. Perihal kenyataan sosok
kreatif, man behind the cup tersebut ternyata
“hanyalah” orang bernama Roberto Di Matteo. Mengapa “hanya” ?. Penggemar sepakbola
khususnya fans Chelsea mungkin sudah maklum tentang obsesi Abramovich selama
ini yang membuatnya menjadi orang yang tak sabaran dengan gonta-ganti pelatih.
Dan setiap mengganti pelatih ia terkesan hanya memandangnya dari sebuah nama besar
semata yang setelah dipilih lalu dia beri target “Tahun ini juga harus juara
Champions”. Sejak saat itu pelatih-pelatih terkenal seperti Guus Hiddink, Jose
Mourinho, Scolari hingga Villas Boas dia datangkan. Pelatih-pelatih itu tahun
sebelumnya sukses dengan klubnya. Atas dasar itulah Abramovich membajak mereka
ke Stamford Bridge. Hasilnya ?. Kita tahu sendiri.
Disadari atau tidak kebiasaan dan obsesi
Abramovih tersebut pada akhirnya cenderung menepikan suara pemain sekaligus
membutakan matanya akan sosok pelatih yang sebenarnya dibutuhkan oleh Chelsea.
Sehebat apapun pelatih, sesukses apapun ia di klub sebelumnya, ketika pemain
tidak bisa nyaman di bawah asuhannya maka gelar juara hanya sebatas mimpi.
Itulah yang terjadi pada Chelsea tahun ini. Di bawah Villas Boas gelar
Champions masih sebatas mimpi meski mereka menembus perempat final pada saat
itu. Sementara target juara Liga Inggris nyaris sirna. Chelsea terseok-seok.
Bahkan untuk berusaha menembus 5 besar pun terasa berat. Sementara di ajang lokal
piala FA jalan yang dilalui rupanya tak mudah untuk klub sekelas Chelsea. Boas
pun akhirnya pergi. Dan orang dalam yang selama ini nyaris tak terdengar
diangkat menjadi suksesor sementara, dialah Roberto Di Matteo, pria asal
Italia.
Meragukan. Itulah pendapat-pendapat yang
mendominasi di awal pengangkatan RDM sebagai caretaker Chelsea. Apalagi itu
terjadi di masa-masa kritis kompetesi Liga Inggris yang hanya menyisakan
beberapa pekan saja. Terjadi di saat Chelsea harus menatap fase yang lebih
berat di Liga Champions. Di saat pertandingan hidup mati di piala FA harus
dijelang.
RDM bergeming. Dia memilih fokus bekerja.
Perlahan performa Chelsea membaik di EPL. Namun langkah mereka terlanjur telah
tertinggal terlalu jauh dibanding pesaing-pesaing yang lain. RDM pun rasanya
tahu diri. Namun ia tak menyerah. Semangat dan fokus Chelsea dengan brilian dia
alihkan ke dua ajang yang tersisa. Hasilnya luar biasa. Di beberapa laga akhir
EPL ia menyimpan sejumlah pemain inti. Dan di saat timnya akhirnya terlempar
dari 5 besar klasemen akhir EPL, Piala FA ia hadirkan. Fans The Blues pun
akhirnya masih bisa tersenyum membanggakan klub idolanya. Inventaris gelar
Chelsea bertambah. Namun apakah Roman Abramovich senang ?. Mungkin, tapi hanya
sesaat saya rasa. Dia belum mengganggap Di Matteo “ada”. RDM hanyalah pelatih
sementara. Dia bukan nama besar untuk pelatih di dataran Eropa. Rekam jejaknya
sebagai pelatih masih kalah mentereng dibanding Mourinho atau Guardiola.
Mungkin itu yang ada di benak Abramovich. Itu sebabnya hingga jelang Final Liga
Champions malam tadi kepastian masa depan RDM di kursi pelatih Chelsea masih
tak jelas kecuali untuk saat ini, RDM
HANYA SEMENTARA. Sementara milyader asal Rusia tersebut justru dikabarkan
sudah mendekati beberapa nama top untuk melatih Chelsea di musim depan, salah
satunya adalah Guardiola.
Namun RDM tetap tak risau. Dia memilih fokus
mempersiapkan pemainnya di pentas selanjutnya, Liga Champions. Hasilnya ?.
Barcelona klub terbaik dunia mereka buat menangis di Camp Nou. Final pun mereka
jelang. Hanya ada satu niat dan cita-cita tulus dari nya, yakni mempersembahkan
gelar Liga Champions yang pertama untuk Chelsea, klub yang pernah ia bela.
Hasilnya ?. PELATIH SEMENTARA ini membuat sebuah sejarah baru bagi Chelsesa. Chelsea
mengalahkan Bayern Munich di Final Liga Champions 2012 membungkam semua suara
miring tentang kapabilitas Chelsea di Eropa. Sejarah besar bagi Chelsea yang
akhirnya untuk pertama kali mengangkat piala kebesaran klub Eropa.
RDM akhirnya memenuhi janjinya untuk klub
tercinta. Dia juga mewujudkan mimpi para pemain veteran Chelsea yang telah
bertahun-tahun setia bersama The Blues menanti gelar itu. RDM membuat mimpi
Drogba, Lampard dan Cole menjadi nyata. Dia juga berhasil membesarkan hati dan perlahan
mengembalikan kepercayaan diri Fernando Torres yang sampai sebelum dia datang
dianggap sebagai pembelian yang gagal.
Namun apakah dia berhasil mengetuk hati sang
big bos Roman Abramovich ?. Di sinilah orang Rusia itu perlu merenung dan
berkaca. Selama ini ia menyanjung-nyanjung nama besar Mourinho, Hiddink dan
terbuai dengan pesona Villas Boas hingga Guardiola. Namun hasilnya nihil.
Kenyataannya bukan nama-nama itu yang membuat mimpinya jadi nyata. Kenyataanya
orang yang membuat Piala Champions sampai dipelukkannya adalah Roberto Di
Matteo, pelatih SEMENTARA yang selama ini ada di dalam Stamford Bridge namun
tak ia pandang. RDM memang belum memiliki nama besar, namun ia memiliki hati
dan kepercayaan dari seluruh punggwa Chelsea. Bukankah nama-nama seperti Villas
Boas dan Mourinho juga dulu sama seperti RDM ?. Mereka sama-sama tak terdengar
sampai akhirnya gelar juara menghampiri mereka.
Untuk Abramovich, berpikirlah seribu kali
sebelum mendepak RDM nanti. Dan jangan lupa berterimakasih seribu kali kepadanya.
Roberto Di Matteo telah membuat mimpimu dan mimpi Chelsea terwujud di saat-saat
akhir, di saat segalanya terasa susah diraih.
Selamat Chelsea. Salut untuk Roberto Di
Matteo.
Komentar
Posting Komentar