“..bagaimana caranya
kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau
berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..”
14 Mei lalu saya
mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana
hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun
setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya.
Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak
lainnya.
Jelang malam saya
membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih
dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa
tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon
tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu
berbunyi Berjuta Rasanya. Di atasnya
lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE.
Berjuta Rasanya,
karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buku yang akhirnya saya bawa
pulang dari toko buku tadi. Info tentang terbitnya buku ini sudah saya ketahui
sedari bulan lalu melalui facebook. Oleh karena itu ketika mendapati buku ini
telah dipajang di bagian new release toko buku tadi sore, saya langsung
mengambilnya satu, lalu berjalan menuju kasir.
Saya bukanlah
penggemar berat Tere Liye. Seperti yang saya ceritakan di tulisan terdahulu
kalau saya hampir tak punya selera pasti untuk masalah tema bacaan atau
penulis. Meskipun demikian saya mempunyai lebih banyak koleksi untuk beberapa
penulis tertentu seperti Mira W, Marga T dan Tere Liye.
Berjuta Rasanya
adalah koleksi ke lima saya untuk karya-karya Tere Liye. Membaca “Bidadari-Bidadari
Surga”, “Rembulan Tenggelam di Wajahmu”, “Sunset Bersama Rosie” hingga “Kau,
Aku dan Sepucuk Angpau Merah” saya mendapatkan kepuasaan hingga akhirnya berani
merekomendasikan novel-novel itu kepada beberapa teman.
Atas dasar itulah
saya membeli Berjuta Rasanya meski sebenarnya tak ada jatah uang untuk membeli
buku baru bulan ini. Saya berharap Berjuta Rasanya akan seperti bayangan saya.
Membaca beberapa
testimoni di sampul belakang saya memprediksi Berjuta Rasanya akan menawarkan
sebuah kisah dengan cita rasa yang alami, sederhana dan lancar mengalir seperti
halnya novel-novel Tere Liye yang telah saya baca.
Berikut beberapa
testimoni yang dicantumkan di sampul belakang tersebut.
“Kalian akan merasakan remuk seketika tepat di dada saat
membaca buku ini”
(Fatimah Ratna Wijayanti)
“Saya memang menyelesaikan membaca bukunya dalam waktu
singkat. Tetapi setelah saya baca, membutuhkan waktu yang lama sekali untuk
merenungkan isi ceritanya” (Rian Mantasa SP)
“Cinta adalah sekumpulan paradoks yang membingungkan.
Maka meskipun menyakitkan, cinta tetaplah membahagiakan. Bacaan yang tepat,
bagi mereka yang ingin mengeja makna cinta, patah, dan hati” (Galih Hidayatullah)
Lantas seperti apa
isi Novel ini ?. Novel ?. Itulah yang mengejutkan saya. Ketika malam itu membuka halaman pertama saya baru sadar kalau Berjuta Rasanya bukanlah
sebuah novel, melainkan kumpulan cerpen. Berjuta Rasanya adalah kumpulan kisah
fiksi yang sebagian merupakan tulisan ulang dari tulisan-tulisan lama Tere
Liye. Di balik sampul putih itu terdapat 15 Cerita. Trek pertama berjudul “Bila
Semua Wanita Cantik”. Nomor dua berjudul “Hiks, Kupikir Kau Naksir Aku”,
berikutnya ada “Cinta Zooplankton” dan seterusnya hingga dua trek terakhir
ditempati cerpen berjudul “Pandangan Pertama Zalaiva” dan “Antara Kau dan Aku”.
Saat mengetahui bahwa
buku ini bukanlah novel saya langsung menurunkan ekspektasi saya terhadap
Berjuta Rasanya. Saya tidak lagi membayangkan sebuah cerita yang alami dan
mengalir enak. Bukan underestimate, saya bukanlah siapa-siapa dibandingkan Tere Liye. Tapi sepanjang saya membaca cerpen tak banyak
yang bisa membuat saya ingin membacanya berulang-ulang. Terlebih lagi buku ini
adalah kumpulan cerpen tentang cinta sepasang manusia. Jujur saja saya ragu
apakah bisa Tere Liye membuat tulisan cinta dalam ruang tema sepasang manusia sebaik
tulisan kasih sayang dalam ruang lingkup
keluarga dan kesederhanaan seperti karya-karyanya sebelumnya. Tentu saja bagus
dan tidaknya adalah masalah selera, dan tulisan inipun dibuat berdasarkan sudut
pandang selera saya.
Siang ini, 18 Mei
2012, setelah semenjak malam itu memulai membaca isinya, akhirnya kelima belas
judul cerpen rampung saya baca. Kesan
saya ??.
Saya membaca urut
dari halaman 1 hingga 204, dari cerpen nomor 1 hingga penutup nomor 15. Ketika
membaca “Bila Semua Wanita Cantik” saya memerlukan beberapa kali jeda untuk
memikirkan dan mereka ulang cerita dari kalimat pertama yang saya baca. Setelah
mengerti baru saya melanjutkan ke kalimat paragraf berikutnya. Namun tak cuma sekali,
jeda itu saya ambil beberapa kali hingga ada sedikit rasa “capek” ketika
membaca cerpen nomor satu ini. Cerpen nomor 1 ini sebetulnya mengandung pesan
yang sangat baik yakni mengajarkan dan mengingatkan setiap manusia untuk
mensyukuri semua anugerah Tuhan terutama tentang properti badan seperti paras
muka, bentuk tubuh, gaya rambut dan warna kulit. Cerpen ini ingin menunjukkan
bahwa cantik dan tidaknya seorang wanita hanyalah sebuah “kesepakatan” yang
disusun dari fenomena-fenomena. Mana kala fenomena itu berganti maka term “cantik”
akan bergeser atau malah berganti.
Namun sayang pesan
itu dibungkus cerita yang menurut saya terlampau “njlimet”. Belum lagi fiksi yang
ditampilkan terlalu kadar tinggi bahkan separuh cerpen ini lebih tampak sebagai
dongeng. Memang tidak ada batasan tentang seberapa fiktif sebuah fiksi ditulis,
namun menurut saya cerpen nomor satu ini bisa keburu membuat orang capek
membacanya sebelum dapat menangkap pesan baik di dalamnya. Untungnya rasa capek
saya saat membacanya tersamarkan dengan kalimat bijak yang manis : “Seseorang yang mencintaimu karena fisik,
maka suatu hari ia akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu
karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi
seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi !.
Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau
lebih buruk” (halaman 26).
Cerpen nomor 2
memiliki jalan cerita yang lebih alami. Temanya juga kekinian yakni rasa GR
yang banyak hinggap di hati seorang wanita ketika melihat lawan jenisnya
tersenyum ke arahnya atau mengajaknya menonton berdua. Begitupun dengan cerpen
nomor 3 berjudul Cinta Zooplankton. Ceritanya tentang keyakinan hati dan
ketulusa cinta seorang wanita terhadap seorang playboy yang akhirnya luluh dan
berubah 180 derajat menjadi suami dan ayah yang baik. Meski tak memuat
kata-kata mutiara, pesan cerpen ini justru saya nilai lebih kena dibanding 2
cerpen sebelumnya. Cerpen nomor 3 menunjukkan bahwa cinta mengandung sebuah
kesabaran dan ketulusan. Dua hal yang pada akhirnya akan membuat cinta
seseorang lebih bernilai dibanding cinta-cinta yang lain.
Membaca lima cerpen
selanjutnya kembali saya merasakan “capek” dalam mengikuti alur ceritanya.
Fiksi kadar tinggi juga kembali terasa di trek nomor 4 dan 5 yakni “Cintanometer”
yang dongeng banget dan “Harga Sebuah Pertemuan” yang dibungkus dengan latar belakang
cerita yang agak berbau misteri dan detektif. Dua cerpen tersebut bukan tanpa
pesan yang baik. Bahkan pesannya patut untuk direnungkan. Cintanometer
mengajarkan bahwa cinta tak pernah menjadi sebuah rasa yang bisa diukur melalui
pertanda-pertanda kualitatif dan tak ada alat paling baik untuk mengenali dan
mempertanyakan cinta kecuali hati dan logika. Sedangkan Harga Sebuah Pertemuan
mengingatkan bahwa perasaan-perasaan yang sering dengan mudah orang artikan
sebagai cinta bisa menjadi sumber petaka hingga nyawa menjadi taruhan yang
harus “dikorbankan”. Lalu apakah itu pantas disebut cinta ?. Itulah yang harus
direnungkan.
Jika beberapa cerpen
dibungkus oleh skenario yang terlalu njlimet hingga bisa mengundang capek, maka
cerpen nomor 7 dan 8 menjadi cerpen yang “terlalu biasa” buat saya.
Selesai membacanya pun saya tak bisa langsung ingat cerita apa yang ada di
dalamnya. Entah apa yang membuat kedua cerpen itu terasa kurang. Meski pesan
dan maknanya sebenarnya dalam yakni tentang pengorbanan yang beraneka rupa,
mulai dari yang heroik hingga yang konyol namun lumarah terjadi.
Cerita yang terlampau
dongeng juga ada di cerpen nomor 9 dan 10. Namun dongeng nomor 10 yang berjudul
Kupu-Kupu Monarch sangat menarik karena kental dengan makna pengorbanan dari
awal hingga akhir cerita. Cerpen ini mengajarkan bahwa cinta sejati tak pernah
berhutang seperti ungkapan pada halaman 145 : “aku tak ingin cintanya kembali karena dia merasa berhutang budi”.
Sepanjang cerita dalam cerpen bertutur betapa pengorbanan dalam cinta tak
punya ukuran dan harga. Semuanya berasal dari ketulusan hati meski kadang isi
hati itu tak pernah terbaca oleh yang lain sekalipun.
Sementara beberapa
cerita berjalan panjang, dua cerpen terakhir berjalan lebih singkat namun justru
lebih menarik meski cerpen nomor 14 yakni Pandangan Pertama Zalaiva lagi-lagi
dibungkus dalam sebuah dongeng kadar tinggi. Trek ini memiliki pesan bahwa
semakin banyak teori tentang cinta yang dikemukakan, maka makin banyak juga
yang akhirnya tidak terbukti. Oleh karena itu jangan suka berteori (menggombal)
tentang cinta. Karena dari semua teori tentang cinta bisa jadi hanya ada satu
yang berlaku yakni “mata tak diperlukan untuk melihat dan mengenali cinta
sejati”.
Berjuta Rasanya
ditutup dengan Antara Kau dan Aku. Jalan ceritanya lebih simple, tak ada
dongeng dan bahasa yang bertele-tele kecuali pengulangan setting. Maknanya pun
sangat kekinian yakni cinta yang sering tak tersampaikan hanya karena saling
menahan diri dan menjaga gengsi. Jika kenyataan pahit sudah terjadi barulah
terucap “cinta memang tak pernah adil”.
Siapa yang salah ??.
Berjuta Rasanya
memang menawarkan berbagai rasa cinta. Bahwa cinta tak selalu berakhir bahagia.
Kisah cinta juga banyak melahirkan nestapa, sakit hingga penyesalan. Kisah yang
diangkat dalam buku ini pun tentang tema-tema cinta yang kekinian, artinya yang
banyak dianggap sebagai sumber kegalauan anak muda jaman sekarang. Pada semua
cerita tersebut pembaca diajak merenungkan dan mensyukurinya sebagai pelajaran
baik. Namun sayang, pesan itu menurut saya tak sempurna tersampaikan karena
beberapa alasan yang sudah saya sebutkan di atas. Mungkin memang
dibutuhkan beberapa kali perenungan untuk bisa menangkap pesan cerita-cerita
dalam kisah Berjuta Rasanya. Tapi orang bisa keburu capek sebelum bisa
memaknainya. Syukurlah kebosanan-kebosanan yang muncul dari dongeng yang
terlalu kental di beberapa bagian itu terselamatkan oleh kalimat-kalimat mutiara
cinta yang manis.
Tere Liye
mungkin memang lebih mengena di kisah-kisah tentang kehidupan keluarga dan kasih
sayang yang terbina di dalamnya. Bukan tentang kisah cinta aku, kau dan dia.
Usai membaca buku inipun saya tak merasakan "remuk" seperti yang dituliskan di
dalam testimoni buku ini. Meskipun demikian Berjuta Rasanya tetap menarik
diambil sebagai teman beristirahat, pengantar tidur atau penyerta perjalanan.
Tapi saya belum akan merekomendasikan buku ini kepada teman-teman saya. Buku
ini masih kalah asyik dan mengena dibanding kumpulan cerpen cinta milik KAHITNA “Di
Antara Kebahagiaan, Cinta dan Perselingkuhan”.
Komentar
Posting Komentar