Selamat malam. Saya baru saja bangun setelah pukul 19.30 tadi memutuskan istirahat. Segelas teh hangat menemani saya menulis ini (pria baik-baik minumnya teh).
Sore ini menghabiskan separuh senja di kampus dengan terlibat berbagai obrolan ringan hingga sedang dengan beberapa kawan mahasiswa. Sebagian masih kecil sih, alias masih berwujud mahasiswa dengan label : mahasiswa baru, mahasiswa pertengahan, “mahasiswa puber” artinya mahasiswa yang dalam masa penuh semangat hingga mahasiswa dengan idealisme membara khas anak muda. Dan semua tahapan itu sepertinya sudah pernah saya alami. Tentu saja saya masih muda dong.
Obrolan ringan mulai dari tema seseorang yang mengaku sebagai Nabi di Afrika, orang yang membuat peta surga karna mengaku pernah beberapa kali ke surga, tentang sebuah situs Na9a yang baru saya tahu berisi gambar-gambar humor. Dan obrolan kelas sedang tentang rencana kenaikan BBM hingga keluhan seorang atau dua orang mahasiswi tentang sebuah peristiwa dan tata cara yang berlaku di kampusnya, yang menurutnya sangat tidak enak dan itu ia keluhkan.
Hal terakhir mungkin yang paling menarik untuk dituliskan di sini. Meski bagi saya bukan hal yang baru. Bukan sesuatu yang baru saja terjadi kali ini di kampus ini.
Jika kita mengeluhkan sesuatu ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Bisa jadi karena sebuah ketidakadilan atau hanya sekedar ketidakpuasan. Faktor lainnya adalah perangai kita yang memang selalu merasa tidak puas hingga mengharapkan semua berjalan seperti keinginan kita. Kombinasi antara ketiga faktor itu sering terjadi. Dan itu bagi saya manusiawi. Dengan catatan tak terlalu sering atau memang sudah sepantasnya kita mengeluhkan sebuah hal yang bobrok.
Tentang ketidakadilan (bukan dalam konteks keadilan rakyat), sampai saat ini saya meyakini sebuah ungkapan bahwa “sebenarnya tidak mungkin ada sebuah keadilan untuk dua hal sekaligus dalam saat yang bersamaan”. Keadilan memang harus diusahakan tapi tetap ada keterbatasannya. Jadi manusia tak mungkin akan mendapatkan banyak hal sekaligus yang menyenangkan dirinya dalam setiap waktu. Itulah yang pada akhirnya akan memunculkan faktor yang kedua yakni “Ketidakpuasan”. Nah ini bisa jadi tergantung dari karakter orang. Ada tipe orang yang “nerimo”, ada juga yang “militan” karna tidak mudah puas. Ada juga tipe antara. Artinya orang yang karna sesuatu tidak merasa puas dia lalu mencoba lagi, sesekali mengeluh tapi kalau tetap tidak berhasil dia akan mau menerima. Sedangkan tipe ketiga yakni ketidakpuasan yang disebabkan karena memang dasarnya perangai orangnya yang egois dan mengharapkan segala sesuatu berjalan seperti apa yang membuatnya nyaman. Lalu kita termasuk yang mana ?. Sungguh hanya diri kita sendiri yang paling tahu bagaimana sebenarnya kita.
Dalam kehidupan kampus, posisi mahasiswa dengan pihak universita atau fakultas yang secara hierarki jelas lebih tinggi, seringkali menimbulkan “bentrokan”. Hal ini tak bisa dihindari karena itulah hukum yang berlaku. Pembuat kebijakan pasti akan selalu berhadapan dengan obyek dan subyek yang dikenai kebijakan. Pembuat kebijakan menentukan A. Sementara mahasiswa merasa A kurang menguntungkan bagi mereka. Padahal kadangkala maksud keduanya baik, yakni ingin mencapai tujuan yang sama, sebut saja C. Tapi dasarnya memang mahasiswa (seolah) ditakdirkan sebagai kaum pembela yang kritis, seringkali terlalu mudah dan cepat menilai sebuah hal. Mahasiswa adalah kaum cerdas tapi harus diakui semangat dan gairah pembela mereka kadang lebih duluan bertindak dibanding telaah logika otak. Saya berpendapat demikian karena saya pernah mengalaminya. Dan itu sekali lagi bisa dipahami. Asal jangan kebablasan.
Dalam konteks obrolan tadi sore, saya jadi ingat sebuah peristiwa 1, 5 tahun lalu saat KIK mulai diberlakukan di UGM. Beberapa minggu sebelum peraturan itu dilaksanakan arus penolakan dari sebagian masyarakat kampus tak bisa ditolak. Sebagian adik-adik saya juga terang-terangan menolak dengan argumentasi dan alasan keberatan mereka.
Jujur, waktu itu saya adalah salah satu yang di dalam lubuk hatinya mendukung KIK sebagai upaya mengatur ulang ketertiban kampus. Maka waktu itu, sore hari juga saya terlibat obrolan santai dengan beberapa kawan, baik yang setuju maupun yang tidak, dan kebanyakan memang tidak setuju dengan KIK.
Saat itu saya mengatakan kepada mereka bahwa KIK bukan hal baru di lingkungan kampus Indonesia. Bahwa kartu kendaraan atau pembatasan lalu lintas di kampus sebenarnya sudah lebih dulu diterapkan di sejumlah kampus ternama. Saya berkata demikian karena mengalami dan melihatnya sendiri di Universitas Brawijaya. Teman saya di UI dan IPB juga mengaku mereka sudah lama mengalami itu. Jadi dalam hal KIK, apapun itu namanya, UGM sebenarnya “ketinggalan”. Dan kebijakan “pengetatan” arus kendaraan itu terbukti baik menjaga ketertiban di kampus-kampus itu. Dan bagi saya memang sudah sewajarnya area kampus tidak terlalu mudah dilalui kendaraan umum atau pelintas jalan yang tidak berkepentingan.
Pada waktu itu seorang adik dengan semangat berargumen “lho tapi kan UGM kampus rakyat, masa orang luar saja nggak boleh masuk, harus bayar ?”. Kata siapa KIK membuat orang jadi nggak bisa masuk kampus ?. Dan apa hubungannya kampus kerakyatan dengan lalu lintas orang ?. Apakah kita mau kalau kita punya rumah, lalu sembarang orang bebas keluar masuk tanpa kita tanya maksud dan tujuannya ?”.
Keluhan dan penolakan terus saja terjadi sampai dengan ditetapkan masa uji coba. Saya salut dengan semangat teman-teman yang menolak, konteksnya adalah mereka memperjuangan dan mempertanyakan sebuah kebijakan baru yang serta merta mendobrak zona nyaman mereka dan saya mengakui bahwa tanpa KIK waktu memang rasanya lebih nyaman. Tapi apakah rasa nyaman itu sesuatu yang baik ?.
Saat itu saya langsung mendaftar KIK dan ternyata tidak dikenakan biaya karena pembuatannya masih dalam masa sosialisasi. Sementara banyak teman-teman yang tetap menolak meski tiap hari harus rela dompetnya “dipalak” oleh petugas portal. Mereka tentu tidak bisa menolak. Apa mereka mau menyalahkan petugas portal yang hanya menjalankan instruksi. Apa mereka mau memilih tidak masuk kampus, bolos penelitian dan sebagainya ?.
Saya ingat betul beberapa hari kemudian mengatakan ini pada beberapa teman itu : “Kalau saya sih lebih baik diterima dulu saat ini. Sambil kita mengawasi dan memberi waktu apakah KIK ini lebih banyak merugikan atau menguntungkan. Kalau nanti lebih banyak merugikan saya setuju kita menolaknya. Tapi apa salahnya kita buat KIK dulu. Tentang ke mana dan berapa uangnya itu biar yang lain memeriksa. Kalau saya sih berfikir akan rugi kalau tiap hari keluar banyak uang untuk bayar portal. Lagipula apa kita mau penelitian kita terganggu hanya karna harus jalan kaki dan telat pindah lab antar fakultas karna tidak bisa pakai motor tanpa KIK ?. Sementara kita tahu anak Biologi mobilitas penelitiannya sering begitu tinggi”.
Sebagian teman-teman terutama anak BEM waktu itu tetap gigih menolak. Saya pun memahami. Begitulah gairah dan semangat pembela mereka yang saya katakan tadi kadang lebih cepat keluar daripada telaah logika. Dan toh pada akhirnya seberapapun kerasnya penolakan itu, KIK tetap diberlakukan dan saya berani bertaruh kalau sebagian atau malah seluruh yang waktu itu menolak kini telah mempunyai KIK. Dan mungkin sebagian dari mereka di dalam lubuk hatinya akhirnya mengakui bahwa KIK memang berguna. Lalu apa perjuangan penolakan mereka itu artinya sia-sia ?. Tentu tidak. Saya malah sering merasa iri dengan mereka yang punya semangat dan gairah luar biasa.
Ketidakpuasan atau ketidakadilan yang menyebabkan kita mengeluh bisa jadi karena kita terlalu cepat memutuskan “itu tidak adil” dan terlampau dini memutuskan “saya tidak puas” tanpa sempat terlebih dahulu mencoba mengambil sisi baiknya.
Sore ini mahasiswi itu berpendapat bahwa dia merasakan ketidakadilan karena sudah jungkir balik, galau lahir batin, berdarah-darah sampai air keringat katanya bercampur dengan air liur, hanya demi mengejar deadline proposal grant dana penelitian yang jatuh Senin ini. Namun kenyataannya parah, setidaknya itu menurut dia, deadline ternyata diundur Rabu. “Oh Tuhan, ini tidak adil !!”. Begitu keluhnya.
Saya menanggapi keluhannya tadi dengan senyuman. Bukan bentuk pengejekan, karena memang beginilah gaya saya setiap menghadapi sebuah curhatan serupa. Saya berfikir kalau saya menanggapi dengan rona wajah yang serius, berarti saya mengamini keluhannya. Sementara bagi saya si mahasiswi itu hanya terlalu cepat menyimpulkan. Bukan sesuatu yang salah, hanya terlalu cepat merasa tidak adil hingga dia merasa tidak puas.
Adil ??. Memang apa itu adil ??. Sampai sekarang saya selalu susah mendefinisikannya. Maka kita tinggalkan saja kata adil ini.
Bukan bermaksud menyuruh menjadi generasi penurut yang harus nerimo dan pasrah begitu saja, tapi saya merasa bahwa dalam lingkungan sekolah atau kampus, setiap orang di dalamnya otomatis mempunyai peran sepaket dengan hak, kewajiban dan “takdir” nya masing-masing. Saya masih kekeuh berpendapat bahwa dalam hubungan dosen vs mahasiswa, bagaimanapun mahasiswa “harus” siap selalu untuk mengalah. Dalam konteks mahasiswa vs pimpinan kampus, mahasiswa juga harus siap menerima apapun kebijakan yang diterapkan.
Sekali lagi bukan artinya kita harus diam begitu saja, pasrah dikenai kebijakan. Perjuangan dan “penolakan” tetap perlu kita lakukan. Tapi kita juga perlu mengerti peran dan kedudukan kita sebagai mahasiswa. Bahwa aksesnya terbatas, apalagi akses untuk mempengaruhi kebijakan, lebih-lebih akses untuk mengusulkan kebijakan.
Saya juga ingat beberapa tahun lalu sekelompok mahasiswa mengusulkan bahwa dalam pemilihan dekan mahasiswa juga diberikan hak suara. Saya kaget dan jujur saja tertawa saat mendengar itu. Bukan mengecilkan peran mahasiswa, berarti saya meremehkan diri sendiri dong ??. Tapi karena logika nya susah dicari. Untuk memilih dekan diperlukan salah satunya pengertian dan pandangan yang utuh tentang riwayat, karakter dan kapabilitas dosen. Dan itu cuma dimiliki oleh sesama dosen atau rekan kerja. Sementara mahasiswa sering hanya “mengenal” dosen dari beberapa pertemuan saja, itupun di kelas, itupun hanya 1 semester, itupun sering kita terlalu cepat memberi penilaian pada mereka. Jadi atas dasar apa mahasiswa bisa menjadi pemilih yang baik dalam pemilihan dekan ??. Itu hanya menambah beban kita, bukan ?.
Kembali ke konteks si mahasiswi tadi. Andai saja sisi positif nya diambil, sungguh beruntung dia karena di saat yang lain berjuang menyelesaikan proposalnya, dia telah selesai itu. Maka dia punya lebih banyak waktu itu mengerjakan tugas yang lain. Dan kalau ia tetap berpendapat bahwa itu tak adil, sekali lagi saya menyerah untuk mendefinisikan kata “adil”. Jika memang telah dibuat dengan sungguh-sungguh dan maksimal, maka seharusnya tidak perlu khawatir proposalnya akan kalah oleh pesaingnya, meski dikerjakan dengan waktu yang lebih pendek.
Jika hendak masuk ke rumah orang, kita harus siap dengan tata cara di rumah itu. Kadang malah harus siap ditolak atau kalau naas salah rumah. Seperti halnya kalau kita masuk rumah makan, siap dengan harganya, siap kehabisan atau siap ditolak masuk (pengalaman banget kayanya yang ini..&*$(&(*)()$).
Menurut saya hanya itu yang bisa dilakukan. Tak boleh ada sesal. Tapi rasa tidak adil itu memang wajar dirasakan. Tapi mau diapakan lagi ?. Kalau kata KAHITNA “mau dikatakan apalagi ?”. Satu yang perlu diingat sekali lagi adalah posisi dan peran kita sebagai apa. Seorang pengusul dana/grant harus siap menerima apapun “aturan” dari pihak penyedia dana. Itu HARUS. Meski kadang itu sebuah inkonsistensi yang merugikan.
Masalah waktu yang lebih anggaplah sebagai seni. Toh sudah dijalani. Apa kita mau mengulang waktu ?. Bisa ?. Masalah deadline yang diundur itulah kebijakannya. Apa kita harus menolak ?. Lho siapa kita ??. Saat ini kan mereka yang punya dana. Kalau tidak siap maka jangan harap kita berkesempatan diterima. Itu rule nya. Jadi bersabar dan ikuti saja dulu. Jika berhasil kau akan merasa senang. Dan jika tidak kau tidak akan mencari-cari alasan kegagalan itu. Tidak ada hal yang adil untuk banyak hal sekaligus dalam satu waktu.
Sekali lagi bukan berarti saya berpendapat kita harus jadi “generasi nerimo”, tapi diri kita adakalanya dibatasi oleh keadaan-keadaan sesuai peran yang sedang kita mainkan. Saat berperan sebagai bawahan kita harus siap menerima “derita” dari atasan. Saat berperan sebagai “pemimpin” kita harus terima diprotes oleh bawahan.
Perjuangan manusia pada akhirnya ada batasnya. Dan batas itu seringkali berasal dari diri kita sendiri, sebagai apa kita dan di mana kita. Percayalah bahwa dunia ini Tuhan ciptakan bukan untuk menuhi seluruh hasrat kita, bukan untuk menampung segenap manusia dengan segenap idealismenya. Dunia tidak menerima manusia bulat utuh dengan keinginannya. Dunia hanya menerima manusia yang toleran, mau berkompromi dan tidak selalu menuntuk “keadilan” hanya karena merasa “tidak puas”.
Berperanlah seperti apa yang dunia inginkan dari kita. Bukan berperan dengan peran dan keinginan yang kita ciptakan sendiri.
Semoga bermanfaat. Silakan ditolak jika anda tidak sependapat karena memang setiap tulisan saya tidak pernah meminta kesepakatan.
Komentar
Posting Komentar