Kembali. Untuk ke sekian kalinya Gadis berada di meja itu.
Pukul 23.00. Yang kosong bukan hanya mejanya, tapi seisi kafe itu juga. Hanya terlihat Gadis dan beberapa pelayan di sana yang tengah sibuk membereskan meja. Kafe memang baru akan tutup jam 1 nanti, tapi biasanya jam 12 tempat itu sudah sepi. Dan malam ini malah di luar kebiasaan, selepas Isya tadi malam pengunjung yang datang tak sebanyak biasanya.
Seperti waktu-waktu lalu, Gadis memilih meja yang sama, tepat di sudut ruang, dari pintu masuk langsung banting langkah ke kanan, lurus, mentok, paling pojok. Meja itu adalah tempat yang sama seperti 3 tahun lalu ketika pertama kali mereka datang bersama
.
Mereka ?.
Benar – benar diluar kebiasaan. Kafe menjadi ramai menjelang pukul 12 malam, satu per satu orang datang. Ada yang benar-benar datang sendiri. Ada juga yang berpasangan, laki-laki dan perempuan, laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan sesamanya. Tapi lebih banyak yang datang berombongan, empat hingga lima orang sekaligus.
Ada apa ?.
Gadis tersenyum kecil saat melihat reklame di ujung jalan itu. Bingkai kaca besar di sisi tempat nya duduk membuat hampir semua pemandangan jalan menjadi telanjang baginya. Malam ini ternyata ada konser Westlife, boyband internasional. Dan kafe ini cukup dekat dari venue konser itu. Pasti orang-orang ini kelaparan sepenuh jiwa setelah nonton dan teriak-teriak semalaman !!!
Ditemani secangkir coklat susu hangat dan musik klasik yang mengalun perlahan, Gadis memperhatikan satu per satu pengunjung yang masuk. Sebenarnya tak ada yang menarik perhatiannya. Tapi mau bagaimana lagi !. Tempatnya duduk adalah meja yang paling strategis untuk memata-matai seisi ruang.
Sejam berlalu. Gadis sudah memanggil pelayan tiga kali. Sebanyak itu pula gelasnya berganti. Hingga akhirnya seorang pemuda datang membuka pintu. Sebentar dia berhenti di ujung pintu, melihat sekeliling mencari tahu mungkinkah ada bangku kosong tersisa untuknya.
Gadis !!. Seketika jantungnya berdegup kencang, meloncat-loncat ke sana kemari. Aliran darahnya deras tak terbendung, seperti banjir ke mana-mana. Dan kini hatinya yang menghangat. Bahkan jika jujur matanya pun ingin mendelik sebulat-bulatnya.
Dia.
Laki-laki itu berjalan menuju sebuah meja. Dan karena kafe itu sudah nyaris penuh, dia pun berjalan menyisir melewati barisan meja paling pinggir. Melewati Gadis juga. Hanya lewat. Sama sekali tak melihat ke perempuan itu.
Gadis !!!. Oh Tuhan. Apa ini ?. Jelaskan padaku. Apakah nyata ataukah fatamorgana ?.
Dia ???.
Mengapa hanya lewat begitu saja ??. Meja ini tak kosong, ada penghuninya, apa kau tak melihatnya ??. Ke mana matamu ??. Aku di sini.
Gadis melepaskan dengan cepat nafasnya yang tertahan ketika laki-laki itu berjalan ke arahnya tadi. Namun saat itu juga hatinya yang menghangat menjadi mengeras. Sakit. Mungkinkah laki-laki itu lupa padanya. Wanita yang 3 tahun lalu mengantarnya ke bandara dan memberinya sebuah kalung. Lihatlah, kalung itu bahkan masih dia pakai saat ini !!.
Laki-laki sudah menemukan tempatnya sendiri. Di sebuah meja, nyaris tepat di tengah-tengah ruangan dia duduk. Namun tak peduli tempatnya, Gadis masih sanggup melihatnya dengan jelas bagiakan orang itu tepat di hadapannya.
Satu demi satu pengunjung meninggalkan kafe. Kalau mengikuti kebiasaan maka setengah jam lagi kafe akan tutup.
Gadis masih duduk terdiam membisu. Tatapannya kaku ke satu arah. Tak bergese satu senti pun. Dalam binar matanya dia sampaikan banyak kalimat, coba dia kirimkan ke satu arah. Berharap laki-laki itu akan dapat menerimanya lalu menatapnya juga. Tapi nihil.
Gadis. Dalam hatinya berpikir untuk menyapanya, lalu duduk di sampingnya. Tapi nyatanya bibirnya masih tertutup rapat. Kakinya pun tak bergerak. Diam. Membeku.
Gadis. Wanita itu masih mengamati sosok yang sama dengan mata yang mulai lembab. Laki-laki itu sibuk dengan telepon genggamnya. Sesekali diteguknya cangkir di depannya. Tak lama kemudian dia bangkit.
Gadis!!. Oh Tuhan !! Jangan biarkan dia pergi dulu !!.
Kaki yang tadi membeku kini mendadak lari kesetanan. Sedetik Gadis berdiri dia sudah berlari hingga melabrak pintu kafe. Bunyinya keras saat dua daun pintu itu saling bertabrakan.
Gadis. Dia setengah membungkuk. Kedua tangannya bertopang pada kakinya. Nafasnya yang tinggal setengah membuatnya tak sanggup lagi berdiri. Dia jatuh terduduk di sana. Dan laki-laki itu sudah tak ada.
Gadis. Semenit tak sampai wanita itu sudah berdiri kembali. Kali ini dia berjalan dengan cepat. Matanya dia lempar ke segala arah seolah berusaha mengumpulkan semua jejak yang mungkin tertinggal. Dan ketemu !!!. Laki-laki itu di sana. Di ujung jalan.
Angin tiba-tiba membeku. Kawanan serangga pun terdiam. Tapi bulan di atas sana semakin bulat ketika sebuah teriakan membelah langit malam itu. Gadis. Dengan sekuat tenaga dia memanggil laki-laki itu. Dia tak ingin laki-laki itu pergi lagi, tak mau dia kehilangan lagi, tak ingin dia menjalani perpisahan lagi.
Gadis. Dia berhenti. Dan laki-laki di sebelah sana, tanpa tahu kapan persisnya sudah berbalik badan. Kini mereka berhadapan. Seolah mengerti arti pertemuan, jalanan di antara keduanya pun kosong. Tepat di atasnya rembulan membulat penuh.
Gadis. Sebutir air mata menuruni pipinya. Butiran itu lalu jatuh di aspal. Tapi seakan itu hanya air mata pemanasan, kini kedua pipinya telah dibanjiri air. Dan sekali lagi nama itu dia teriakan sekuat tenaga. Sungguh-sungguh sekuat tenaga hingga hatinya pun ikut menjerit. Terlalu kerasnya hingga kedua matanya ikut terpejam.
Gadis. Laki-laki itu memeluknya. Tapi tangisnya malah semakin keras. Terlalu keras hingga malaikat malam itu tak sanggup mendengar kalimat yang terucap malam itu. Kalimat yang jika direkam dan diputar ulang, sang malaikat akan mendengarkannya sebagai sebuah bisikan lirih berbunyi : “Aku sudah mencarimu kemana-mana. Takkan pernah kulepaskan pelukan ini lagi. Takkan pernah ku biarkan jarak memisahkan kita lagi. Takkan pernah.”
…………………………………………………………………………………....................................
Gadis. Wanita itu terbangun. Tersentak. “Maaf Non, kafe sudah mau tutup. Terima kasih atas kunjungannya”.
Gadis. Ternyata semua hanya mimpi. Wanita itu tersadar bahwa ternyata dia masih menantinya. Menanti ??. Ternyata bukan. Dia harus berjuang mencarinya lagi. Mungkin yang lain.
Gadis. Dia berjalan di bawah sinar rembulan yang malam itu diam-diam ikut bergerak mengikutinya. Dan tanpa dia ketahui pula, malaikat di sampingnya telah menangis. Bukan karena lupa tak membawa alat perekam. Tapi karena tak sanggup menyentuh wanita di sisinya. Tak sanggup menghapus air mata itu.
“masih kurasakan dekapanmu malam itu
tak akan pernah kulupa tatap mata cintamu
tanpa kata-katamu, tiada tanda-tanda
...namun kurasa cukup ku menunggu
semua rasa tlah hilang
sekarang aku tersadar
cinta yang kutunggu tak kunjung datang ”
(original story by Gandes Sitoresmi)
Komentar
Posting Komentar