Beberapa hari ini saya mendapat pesan, juga membaca beberapa status, mention, wall post yang pada intinya isinya serupa. Kalau diringkas bisa menjadi judul semacam “gerakan” yang berbunyi “GERAKAN ANTI GALAU”. Sungguh saya hanya tersenyum membacanya. Sebuah ajakan yang sepintas unik, dan mungkin saja maksudnya baik. Namun justru saya nilai salah. Pertama, terkesan kalau “Galau” itu sebuah perasaan yang menyimpang, salah atau mengganggu. Kedua, seperti ajakan yang menunjukkan kalau kita lupa bahwa yang namanya “galau” bukan baru muncul atau ngtren saat ini. Galau sudah ada sejak manusia lahir. Dan ketiga, Galau tak bisa dipisahkan dari keberadaan manusia. Eksistensi manusia justru salah satunya ditandai dengan hadirnya rasa galau pada suatu saat tertentu, dipicu oleh hal tertentu. Galau menunjukkan kalau manusia itu insan yang berjiwa dan punya rasa. Dengan kata lain memisahkan atau mencoret “galau” dari daftar sifat manusia sama artinya kita mengingkari keberadaan diri sendiri.
Jadi mengapa kita tak boleh galau ???. Karena galau lah manusia bisa berfikir. Karena galau lah banyak karya yang secara ajaib bisa tercipta. Lalu mengapa sebagian dari kita seperti memandang aneh kepada sesama yang kita anggap sedang galau ?. Akhirnya saya menemukan salah satu alasannya.
Social networking, entah itu facebook, twitter, tumblr, hello atau yang serupa ternyata menjadi alasan mengapa “Gerakan Anti Galau” itu dirasa harus ada. Adalah wajar ketika orang sedang merasa gundah, resah, sedih, kecewa, marah dan segenap rasa yang secara kumulatif disebut galau, lantas mencurahkan segalanya itu dalam bentuk tulisan status fb, twitter dan lain-lain.
“Daya jelajah” media jejaring sosial yang begitu luas dan cepat membuat ekspresi galau itu mudah sekali menyebar. Dan bukan hanya dari beberapa orang saja. Di saat yang sama mungkin ada ratusan orang yang galau secara bersamaan, maka bisa dipastikan time line di jejaring sosial pun berubah bak “tempat sampah” yang dipenuhi satu macam barang yang sama yakni “Galau”. Orang pun kemudian terganggu dan merasa risih dengan berbagai alasan. Rasa terganggu itu pun wajar. Namun dengan “Gerakan Anti Galau” hal itu menjadi tak wajar.
Sesungguhnya harus disadari ketika kita terjun ke dalam media jejaring sosial ada beberapa konsekuensi yang harus kita terima. Itulah media jejaring sosial yang kebetulan mampu merekam sekaligus mengabarkan ekspresi banyak orang. Lagipula andai terganggu kita bisa saja meremove orang yang punya kebiasaan “nyampah” itu dari daftar teman kita, atau “unfollow” saja. Tapi itu pun hanya sebuah pilihan.
Di sisi lain orang yang biasa atau sering tak sengaja menuliskan ekpresi galaunya di jejaring sosial juga perlu membatasi diri. Kontrol terbaik ada pada dirinya sendiri. Sisi mana yang pantas dan wajar untuk dibagi, dan sisi mana yang terlalu beresiko jika dishare melalui jejaring sosial.
Alasan “Gerakan Anti Galau” yang menyebutkan bahwa hanya Tuhan lah tempat sebaik-baiknya kita mengadu memang benar, kita pun pasti setuju, tapi hal itu salah tempat untuk dikampanyekan di sini. Jejaring sosial tak harus dijadikan alasan mengapa kemudian orang dilarang galau.
“Galau” TIDAKLAH SAMA dengan “Labil”. Orang yang ditimpa kegalauan justru menunjukkan sifat manusiawinya. Orang yang tak pernah galau bisa jadi hatinya telah membatu, nuraninya sudah mengeras. Adakah orang yang seperti demikian ?. Saya ragu untuk menjawab “ada”. Orang yang mengaku “mati rasa” sekalipun pasti mengalami kegalauan. Mati rasa itu pun salah satu bentuk kegalauan. Masalahnya adalah dengan cara apa dan seperti apa orang mengekspresikan kegalauannya. Secara sederhana adalah “apa yang dilakukan orang ketika galau”. Seberapa tahan nurani dan hatinya mengekang kegalauan agar tidak menjurus pada sebuah fenomena yang disebut “Labil’. Itulah yang membedakan “galau” dan “labil”. Dan manusia mungkin makhluk yang sudah galau sejak lahir.
Membatasi diri dalam mengeluh melalui jejaring sosial itu baik. Pengendalian diri sendiri itu penting. Tapi melarang seseorang untuk tak galau rasanya kok lebay ya...
Komentar
Posting Komentar