Usai Ramadhan kemarin, beberapa hari setelah Idul Fitri banyak kabar datang dari orang-orang di sekitar saya. Pertama seorang adik mengirim pesan ke handphone. Sedetik, dua detik, tiga detik saya membacanya. Kaget. Itulah perasaan pertama yang ada. Namun detik kelima, keenam dan seterusnya saya tersenyum. Adik ini esok akan menjalankan akad nikah dengan laki-laki belahan jiwanya. Mengapa saya terkejut ?. Karena selama berteman dengannya saya tidaklah tahu bagaimana dia merenda kasih dengan seseorang. Tahu-tahu undangan dan permohonan doa itu muncul di layar HP jadul saya. Selamaaat !.
Kedua, seminggu yang lalu, seorang adik dalam pesan sms dia bertanya apakah saya bisa membantunya membuatkan desain undangan pernikahannya. Apa ini ??. Saya kembali tercengang untuk beberapa detik. Memang janji suci telah dia terima dari kekasih hatinya usai Ramadhan kemarin. Tapi tetap saja saya terkejut membaca smsnya itu. Undangan ??. Cepat sekali...^^b. Selamaaaat ya !!!!.
Dan “surprise” lain pun datang. Kali ini bukan “selamat” yang ingin saya katakan. Seorang teman mengirim kabar yang dalam beberapa detik masih tak saya percaya. Tak ada lagi rasa ceria di bunyi pesannya. Saat bertemu pun senyum yang biasa mengembang itu seakan lenyap ditekuk muram di wajah. Hubungannya dengan seseorang telah berakhir. Tanpa kabar berita semua itu terjadi dan mengejutkannya. Kekasihnya bertunangan dengan yang lain. Cukupkah itu yang mengguncang batinnya ?. Ternyata tidak, dia hancur lebih berkeping karena selama itu dia hanya sebuah pemeran ketiga dalam sebuah permainan hati yang bernama “perselingkuhan”. Saya terkejut karena saya tahu keduanya. Rasanya tak mungkin pasangan teman saya itu bermain hati.
Banyak orang beranggapan tak apa “mencurangi” pasangan selagi pasangannya tak tahu. Memang bisa jadi tak ada yang tahu, tapi semua hanya masalah waktu.
Selingkuh, atau saya lebih suka memakai istilah Mendua, bak mesin yang tak pernah kehabisan bahan bakar. Bak virus oportunis yang sekali masuk ke dalam jasad hidup, yang setiap kali manusia lengah dia sudah berkembang cepat hingga menyebabkan penyakit hati. Sebagian juga mempersonifikasi mendua sebagai candu di mana orang sebenarnya sudah tahu bahwa hal itu adalah hal yang keji, namun pada akhirnya mereka juga sering jadi salah satu pemerannya. Bak candu pula, mereka menikmati setiap cerita yang mereka renda dalam mendua.
Saya punya pengalaman berteman baik, sangat baik, dengan seorang dokter. Saya biasa memanggilnya mas karena usianya memang jauh di atas saya. Perkenalan kami terjadi saat dia masih menyelesaikan koas-nya. Dari dia pula kemudian saya untuk pertama kali menyaksikan sendiri bagaimana sebuah perselingkuhan bisa menjadi sebuah cerita jaring laba-laba yang dimulai dari satu titik yang kecil tapi lama-lama kelamaan berkembang karena si laba-laba terlanjur asyik memenuhi kebutuhannya merenda jaring itu.
Pernah dia berkata sebenarnya tak ingin mempermainkan hati ketiga kekasihnya. Namun atas nama cinta dia pun tak kuasa ketika godaan itu datang dan mengalahkan keinginannya mengakhiri “cinta jaring laba-laba” nya. Saya hanya bisa menggangguk dalam hati. Jujur saja, sebagai seorang “senior” dia adalah kakak yang baik. Tapi sebagai contoh dalam menjalin kasih, saya tak bisa berikan jempol padanya waktu itu. Selingkuh, apapun alasannya. Seberapun kadarnya, tetaplah salah satu hal paling keji dan bentuk penganiayaan terhadap cinta. Tapi suatu hari ia berujar di hadapan saya akan benar-benar berubah. Dan janji itu ia tepati. Tak lama berselang sms masuk ke HP saya. Ia akan mengikat janji di masjid dan meminta saya hadir menemaninya. Siang harinya di Wisma Kagama selamatan itu digelar.
Lantas mengapa seseorang secara sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja bisa sering dengan mudahnya mendua ?. Tak cukupkah hanya dengan satu orang yang “resmi” ?.
“Takkan datang orang ketiga kecuali sengaja diundang”. Maka boleh jadi fenomena selingkuh muncul karena obsesi seseorang untuk meraih sebuah idealisme dalam cinta, apapun bentuknya.
Tak ada orang yang sempurna dan baik dalam banyak hal. Mereka yang selingkuh bukan tak mengerti tentang ini. Semua orang pun mungkin mengerti akan hal ini. Selingkuh, hal yang harusnya tak ada di kamus mereka yang mengatasnamakan cinta sebagai hal yang suci. Walau seringkali mereka mendua atas nama cinta, sebenarnya mereka tak berhak membawa kata cinta dalam cerita cinta mendua.
Lalu apakah selingkuh hanya pantas diberikan kepada mereka yang sudah berumah tangga, sepasang suami istri yang terikat janji setia lalu mencacati janji tersebut ?. Atau mereka yang masih dalam masa “mengenal” dan memahami satu sama lain lalu membuat janji baru dengan yang lain dengan mengingkari janji sebelumnya, layak disebut selingkuh ?. Seberapa kuatkah godaan selingkuh hingga kita sering mendengar orang-orang terpelajar, para pejabat hingga seorang yang dihormati karena pengetahuan agamanya justru terseret dalam permainan terlarang ini ?. Bagaimana sebenarnya mesin selingkuh bekerja ?. Wajar atau tabukah permainan hati yang satu ini ?.
Jawabnya bisa beragam. Yang jelas selingkuh adalah virus oportunis yang tak pilih korbannya. Bisa laki-laki, banyak pula yang wanita. Bisa pejabat, bisa pula seorang pedagang sayur. Bisa preman, bahkan kadang juga seorang pemimpin agama. Namun yang pasti “impian” menyempurnakan “idealisme cinta” bisa jadi adalah sebab utama di balik beragam alasan orang mendua. Dan seringkali juga satu penyesalan belum cukup bagi seseorang mengerti bahwa “selingkuh tak membawa bahagia”. Sering harus dengan lebih dari satu kali penyesalan sampai orang kemudian bebas dari virus oportunis tersebut.
Bagaikan orang yang hendak menata sebuah karangan bunga, sering tak cukup menyusunnya dengan hanya satu macam bunga. Apalagi jika akhirnya diketahui ada yang kurang atau salah dengan karangan tersebut, dia akan mengganti dengan bunga yang lain. Namun tak selalu demikian, karena kadang seseorang justru memilih menyisipkan bunga lain dalam karangan tersebut untuk melengkapi keindahan seperti yang dia inginkan. Dia tak membuang bunga yang pertama namun menambahkan bunga lain sebagai “aksesoris”.
Ada yang beranggapan pencarian cinta adalah sesuatu yang harus selalu dicoba. Bisa jadi benar namun tak bisa diterima jika kemudian cinta menjadi sebuah percobaan seperti mempertaruhkan hati seseorang di meja pesakitan. Selingkuh lebih pantas disebut sebagai permainan hati ketimbang sebuah pencarian cinta sejati.
Ada juga yang berangkat dari keyakinan bahwa jodoh masih akan menjadi sebuah rahasia yang tak satu orang pun tahu sampai benar-benar ditemukan. Sadar atau atau tak sadar, hal ini sering menjadi latar belakang seseorang untuk selingkuh dan menganggapnya sebagai hal yang wajar daripada berganti – ganti pasangan. Padahal keduanya sama – sama mencederai makna cinta. Bagi orang-orang tertentu, tentu saja yang memilihnya, selingkuh menjadi sebuah cara untuk “menyeleksi” satu di antara beberapa pilihan hati. Ups...benarkah ?. Beberapa kasus ternyata membenarkannya.
Mendua, sebuah fenomena yang membuat cinta seperti terasa manis dijalani walau pada akhirnya hanya akan menghadirkan penyesalan, luka dan sakit hati. Jika tak bagi pelakunya maka bagi mereka yang diselingkuhi atau seringkali untuk mereka yang dijadikan orang ketiga. Karena menjadi orang ketiga bukanlah hal yang membanggakan.
Cerita Cinta memang tak selalu milik dua orang. Seringkali muncul pemeran ketiga yang seharusnya tak ada dalam cinta. Pemeran yang sengaja diundang meski orangnya tak pernah mengharapkan dirinya dijadikan pilihan. Meski kadang ia terlambat mengerti telah menjadi bagian dari sebuah permainan hati yang membuat pelangi cinta tak lagi indah, berselimut dusta.
Ketika seseorang berikrar telah jatuh dan mencinta, seharusnya dia membeli sepaket cinta beserta kesetiaannya. Hanya saja banyak orang yang terlalu mudah “merasa” jatuh cinta namun tak sepenuhnya sanggup setia. Tak salah jika ada yang mengatakan bahwa godaan terbesar dalam cinta berasal dari dalam diri sendiri. Karena godaan termanis pun takkan tega menghampiri mereka yang setia. Dan orang ketiga takkan datang jika memang tak sengaja diundang.
Cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan mekar tanpa ditentukan oleh musim. Sebuah cerita yang kisahnya sukar untuk diakhiri bahkan disaat semuanya tampak sudah berakhir. Cinta membuat seseorang menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Namun cinta juga yang bisa membuat seseorang takut mengakui sebuah kenyataan. CINTA MEMANG (seringkali) MENAKUTKAN. Katanya (berusaha) Jatuh Cinta itu Biasa, (berusaha) Setia baru Luar Biasa.
Komentar
Posting Komentar